Senin, 28 Februari 2011

Menunggu Kentut Semar

Oleh: Hujan Tarigan

Semar masih mesem-mesem. Dielusnya perut bundarnya yang kian besar. Seminggu dia menahan sakit sebab tak bisa kentut. Angin berputar-putar tak bisa keluar. Nyerinya menusuk saraf di otak. Tak heran sepekan ini perilakunya ganjil. Dia mau menceritakan penderitaannya itu kepada anak-anaknya. Namun dia malu dan tahu, bercerita pun, tetap tak ada solusi. Sebab anak-anaknya tengah sibuk merancang revolusi.

“Romo, kenapa? Belakangan kok terlihat aneh?” tanya Petruk. Namun Semar hanya bungkam, wajahnya merah. Sambil terus berusaha keras mengejan-kejan.
Di biliknya, pria bersusu itu kembali mengejan. Segenap tenaganya dikerahkan untuk mengeluarkan angin busuk yang sudah sepekan tak kunjung keluar.

“Stt.. jangan ganggu, Romo sedang tapa”
“Tapa apa Reng? Apa beliau sedang meramu kentut baru?”
“Iya aku kira memang begitu. Perang semakin dekat. Tentu Romo tengah menyiapkan formula baru untuk meracuni para Korawa,” timpal Bagong.

Percakapan ketiga punakawan sayup-sayup didengar Semar. Dia ingin murka, karena ketiga anaknya tak mengerti penderitaannya. Tapi bila dia murka, tentu dia punya alasan. Dan bila alasan itu dikemukakan, betapa sedih hati anak-anaknya yang ikut berjuang di bawah kibaran panji Pandawa. Sebab tentu akan melemahkan semangat juang. Tapi yang paling utama adalah, saat ini Semar tak bisa murka, sebab sepekan dia tak bisa kentut. Barang se-jumput.

Siang itu di bale-bale rumahnya, Semar mengasoh, dan tetap sambil terus mengejan. Muncul Petruk, Gareng dan Bagong. Ketiga tokoh tak penting itu melengkapi ketidakpentingan Semar dalam Baratayudha. Sambil cekikikan ketiga anaknya itu berbaris teratur menghampiri Romonya yang sedang terkapar menahan angin putar.

“Sudah tha? Seperti yang kubilang, untuk memenangkan perang ini, tak perlu menumpahkan darah. Kita masih punya Semar. Selagi masih ada Semar tak mungkin dunia berhenti berputar karena orang serakah dan tak penyabar,” kata Gareng.
“Samar, kowe bicara apa tha Reng?Ndak penting!” Tanya Petruk.
“Lha iya. Bukannya kita tak mau ikut bertempur kakang, tapi buat apa bertempur? Korawa dan Pandawa, serupa tapi tak sama. Siapapun pemenangnya kita tetap abdi istana,”

“Berubah pikiran? Kowe ndak setia dengan cita-cita Reng”
“Setia itu musti masuk akal tha Kang?apalagi setelah tadi aku mendengar pembicaraan antara Arjuna dan Krisna. Ini betul-betul nggak masuk akal,” ujar Gareng. Bagong sampai saat itu hanya mendengar dengan baik perbincangan saudaranya.
“Seluruh tentara dan senjata paling canggih sudah diimpor. Tegal Kuruk Setra sudah dipesan untuk dijadikan arena pertempuran. Terus, alasan mereka bertempur cuma karena masalah sepele, masalah harga diri…ini kan nggak masuk akal. Kalau tadi bertempur untuk perluasan daerah atau kepentingan ekonomi, itu baru masuk akalku. Para tokoh penting itu malah berpikir untuk berperang justru karena hal-hal yang nggak penting. Duh rek, jadi pusing e,”
“Yang ndak penting itu, misalnya, perang karena sinar matahari tak rata dibagi. Itu Reng,” debat Petruk. “Justru harga diri itu yang penting. Lagi pula ndak perlu kowe ikut-ikut mumet, toh perang ini tetap akan dilangsungkan, tempat sudah dipesan. Pusing nda pusing, pokoknya perang!”
“Ya ndak bisa, kalau ini mengganjal pikiranku, aku takut nanti pikiranku ini menjadikan kesetiaanku menjadi tanggung. Apa kata dunia, kalau setia cuma setengah-setengah. Harus masuk akal lah,”
“Sudah, masuk atau tidak di akal, kita tetap menang, masih ada kentut Semar. Nuklir paling dahsyat yang pernah diciptakan, masih kalah dahsyat dengan kentut Romo, betul kan Romo?” potong Bagong sambil mengalihkan pembicaraan kepada Semar yang masih mesem-mesem.
“Betul, biar seluruh umat manusia kentut disaat bersamaan dan mengeluarkan aroma dan suara beraneka warna, tetap tak bisa mengalahkan kentut jagoan kita,” kata Petruk.
“Edan, tapi Korawa punya Adipati Karna, Cakranya-pun tak terkalahkan, bahkan oleh kesaktian Krisna!” Bagong cemas.
“Saktian mana Krisna atau kentut Semar? Hayo…?"

Ketiga anak Semar terkekeh. Kekehnya kurang lebih seperti para aktor yang memerankan mereka dalam setiap panggung yang mementaskan kisah tak penting dan terkesan mengulur-ulur waktu, menanti kehadiran tokoh utama.

Tiba-tiba Semar bangkit dari duduknya. Berdiri dengan siaga. Tiba-tiba juga Petruk, Gareng dan Bagong berhenti tergelak. Berdiri dan ikut siaga.
“Ada apa Romo? Kok?” tanya Petruk.
“Dia mau datang…”kata Semar merasakan kehadiran sesuatu.
“Siapa Romo?”
“Dia…”
“Kanjeng Krisna, Romo?”
Semar diam patung. Ketiga punakawan lain berbaris kaku celingukan, mengedarkan mata, awas dengan kehadiran Krisna.
“Dia datang! Tak salah lagi… Awas, sembunyilah…” perintah Semar pada ketiga puteranya, sambil mendem mesem.
“Hah, Krisna datang, kowe sih Truk… guyonnya bawa-bawa nama Krisna,” gerutu Gareng sambil sibuk mencari persembunyian. Ketiganya berlarian bertabrakan.
“Jangan di sana!” perintah Semar ketika melihat tiga punakawan sembunyi di balik pendaringan.
“Aman kok Romo, di sini tak mungkit terlihat,” jawab Bagong.
“Jauh.. lebih jauh lagi…”
Ketiga punakawan kembali berlarian, kembali bertabrakan. Kemudian mereka memutuskan untuk nyemplung ke dasar perigi.
“Hei, bukan di sana, lebih jauh lagi… cepat dia datang…”
“Aduh biyung… kemana yang amannya Romo?”
“Yang paling aman. Aku mau kentut!”
“Walah dalah.. Romo mau kentut ya? Jangan sekarang Romo. Ditahan dulu. Yang sabar, perangnya empat hari lagi. Tulung… jangan sekarang!” rengek ketiga anaknya sambil mendekat.
“Menjauh kalian!” perintah Semar. Ketiganya kembali berlarian.. kembali bertabrakan. Tiba-tiba mata Semar gelap. Rembes matahari tak lagi dilihatnya. Dia pingsan. Semar pingsan!
“Kowe sih Truk, pakai melarang-larang. Kentut itu ‘kan kehendak alam. Keluar nanti atau sekarang sama saja,” Gareng menyalahkan Petruk. Sementara Bagong terus mengipas-kipas jelmaan Batara Narada itu agar siuman dari tidurnya.
“Kowe ndak ngerti, kalau kentutnya keluar sekarang, berarti akan mengurangi kadar kebusukannya. Artinya, aroma yang harusnya mampu melawan cakra Adipati Karna, jadi tak bisa mengalahkan. Kowe mau Hastina terus diduduki para Korawa?”
“Sudah berhenti ributnya. Romo sudah dua hari pingsan. Dan dua hari lagi perang akan diselanggarakan,” potong Bagong.
“Kowe sih Reng, jangan anggap perang itu nggak penting bagi orang nggak penting seperti kita. Perang itu penting. Dan kentut Semar lah yang bisa memenangkan perang tanding!”
“Semprul kowe, memang Petruk kebelet jadi raja! Kalau pun menang, kowe tetap pengasuh kuda istana, jangan harap jadi raja!”
“Awas, tak clurit kowe…” kata Petruk bangkit. Gareng pun bangkit dan siap balik kanan. Menghindari murka sang kakak.
“Ndak punya perasaan, keterlaluan! Aku sekarat, malah mau bunuh-bunuhan!" Semar sadar dia duduk bersandar.
“Reng, Truk, Semar sadar!” Seru Bangong.
“Berhenti dulu, nanti tak pites kowe.”

Dikisahkan dalam setiap lakon punakawan. Kentut semar adalah kentut paling dahsyat yang tak bisa disamakan oleh siapapun. Aroma tak terlihat namun terasa menyengat itu mampu menidurkan isi alam raya. Oleh karena itu, kentut ajaib hanya bisa dimiliki oleh orang besar dan sabar seperti Semar. Karena Semar adalah mahluk yang selalu berdiri di tengah. Berparas lelaki, namun memiliki susu bak perempuan. Berjambul dan berpantat besar. Jarinya selalu mengacung ke atas, tanda dia sepakat untuk selalu berada di dalam kebenaran. Dan kebenaran hanya ada ada di tengah. Tidak di dalam, tidak di luar, tidak di atas tidak di bawah. Tidak pula di kanan atau di kiri. Atau di depan dan belakang. Oleh itu Semar menjadi samar. Oleh karena dia samar, maka segala kebusukan berkumpul kepadanya dan kemudian dia keluarkan untuk menciptakan kebaikan. Dewa-dewa cukup adil menempatkan Semar dalam samar kebenaran. Tapi sekarang Semar cemas. Dia tak bisa kentut. Bukan untuk menciptakan kebaikan semesta alam. Tapi demi kesehatan dirinya pribadi. Oh Dewa, apa yang terjadi pada Super Semar?

Dua hari lagi perang besar akan dilangsungkan. Dimana Bisma akan mengiringi laju Korawa ke Kuruk Setra dan Krisna akan menjadi sais kereta perang Arjuna. Tapi perang tak kan semarak tanpa kehadiran Semar. Terlebih pada kentutnya yang mampu membuat seluruh professr terlihat bodoh dan aktifis lingkungan merasa tak berguna.
“Ayolah Romo, kita ke Pandita Drona. Tak apa-apa menyeberang asal untuk menang,” bujuk Petruk.
“Begitu pun, begitulah, Romo mesti sehat. Biar kebenaran menang dan mengelakkan korban jiwa jatuh lebih banyak. Romo mesti kentut sebelum tabuh perang didentangkan,”
“Ayolah Romo, segalanya halal, demi kebenaran!” bujuk Bagong.
“Semprul kowe semua! Aku nggak bisa kentut. Jangan dipaksa! Aku sendiri sudah memaksakannya! Tapi dia tak mau keluar juga! Mengerti kah kalian semua?"
“Sendiko Romo,” serempak anaknya menjawab dan menundukkan wajah.
“Dan kalau pun aku pergi ke Pandita Drona, itu bukan berarti aku mendukung Korawa untuk memenangkan Pandawa. Nggak Penting! Sungguh nggak penting itu! Yang penting adalah kesehatan. Karena kesehatan sebagian dari iman. Nggak ada urusan dengan politik atau kekuasaan. Hanya orang beriman yang bisa menempatkan kebenaran dalam atau di luar kekuasaan. Bawel, kalian semua bawel!”
Sakitnya tak tertahankan lagi. Maka pada malam itu juga Semar dan ketiga anaknya sepakat untuk minta pertolongan Drona, manusia paling licik dan picik dalam babat Baratayudha. Pangkal sekaligus muara perang saudara.
Dengan mengendap-endap, keempatnya berhasil masuk menyusup ke tenda Pandita Drona.

“Begitulah ceritanya. Jadi tolong Romo, Pandita,” ujar Bagong menutup ceritanya.
Drona termangu sambil tertawa menang di dalam hati.
“Akhirnya doaku selama ini dijawab Dewa. Semar tak bisa kentut dan itu artinya Pandawa kurang amunisi dalam perang ini” batin Drona.
“Baiklah. Aku buatkan ramuan mujarab, sekadar Semar bisa mengeluarkan angin putar. Tapi aku tak yakin, apakah ada efek samping dari ramuanku ini,”ujar Drona.
“Maksudnya?”
“Aku tak yakin, apakah kentut Semar bisa kembali pada sebelumnya,” ujar Drona.
“Ayo Pandita. Kembali atau tidak kepada semula, yang penting aku bisa kentut. Aku tak berpikir soal perang Korawa atau Pandawa. Ini jujur, Semar tak pernah berdusta,” ujar Semar memelas, sambil terus memegangi perutnya.
“Sebentar aku ambilkan ramuannya,”
Sepeninggal Drona, ketiga anak Semar berpolemik.
“Romo egois, mikirin diri sendiri daripada kehendak alam semesta,” ujar Gareng.
“Romo pro Status Quo, berpikir persis seperti kaum republikan,” ujar Petruk.
“Romo segera menjadi Semar Cemar, karena tak menjaga kesucian hati dan meminta demi kesehatan pribadi,” Bagong mengulas.
Semar mendem. Sambil merem, Semar mendem.
Empat puluh hari perang berkecamuk. Ribuan wira gugur, termasuk Drona. Sebagai penutup, Bima berhasil membantai Duryudana yang bersembunyi di dasar sebuah tegal.
Empat puluh hari perang berkelebat hebat. Tak ada perang seagung Baratayudha. Yang melahirkan sejumlah anmuerta. Tak ada perang sesadis Baratayudha yang telah memenggal darah daging berkeping-keping, binasa membinasa. Tak ada perang seindah Baratayudha yang telah menginspirasikan ribuan seniman untuk menghasilkan karya. Empat puluh hari. Dan Semar? Sampai perang ditutup dia tak kunjung kentut. Seperti dalam lakonnya Drona, sekali culas tetap culas. Drona memberikan ramuan palsu dengan harapan memenangkan peperangan. Faktanya adalah, Semar tak bisa ikut perang, karena dia mendem terus mengejan.

Tapi begitu pula lah, seperti lakonnya dalam segala pementasan, Semar tetap tak penting. Karena dia samar, maka dia tak dipentingkan. Namun dalam babat lain yang luput dari babat manapun yang pernah ditulis. Kelak segalanya akan jadi penting. Semar mendem. Dan di tahun 2012, dia akan kentut. Hollywood paham soal itu, namun keliru dalam menerjemahkan dan membaui kentut Semar. Tapi bagaimana pun lakonnya, itu tak penting. Sungguh tak penting.

Binjai, 6 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.