Tampilkan postingan dengan label Warta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Warta. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Juli 2015

Bedah Bunga Dawa

 Akhirnya, setelah lama tertimbun di ubun-ubun, Komunitas Peduli Bahasa Ibu (KPBI) melanjutkan cita-cita yang setelah empat tahun tertunda. Pada Kamis, 23 Juli, bertepatan dengan Hari Anak Nasional, Buku Antologi Puisi Karo Indonesia "Bunga Dawa" Karya Tariganu dibedah oleh para pakar bahasa dan budaya di Gedung Medan Club, Jalan RA. Kartini No. 36 Medan.

Rabu, 17 Desember 2014

Mengintip Komunitas Freemasonry di Betawi

Tak ada prasasti yang mencatat dengan pasti tentang kedatangan kelompok Yahudi-Freemason ke tanah Betawi. Satu yang perlu diyakini, bahwa setelah Batavia disulap menjadi kota pelabuhan dan pusat perputaran uang, semua penduduk dunia tergoda datang ke sana. Sekadar mencari peruntungan dan mengembangkan modal, atau bahkan mengembangkan idiologi spiritual.

Begitulah, yang tercatat, pada awal abad ke-19, dalam sekejap mata Batavia sudah menjadi kota metropolitan yang sumpek, penuh penyakit, dan langganan banjir (keadaan yang persis sama dengan hari ini).

Van Deventer: Blunder Kerajaan Belanda

(STOVIA Jadi Embrio Indonesia)

“Dimanapun ada ketidakadilan di sanalah aku berada
 (Syech Lemah Abang)”

Suatu peristiwa mempertemukan si humanis C. van Deventer dan Pieter Brooshooft (wartawan koran De Locomotif), peritiwa itu adalah penderitaan rakyat Hindia Belanda dalam menjalani kehidupan. Potret penderitaan mereka kemudian dibawa ke negeri bawah air, Belanda. Potret itu pun cukup mendapat sorotan dari kaum etis. Tak pelak kebijakan Kerajaan Belanda atas koloninya menjadi bulan-bulanan para pemikir seperti van Deventer Cs.

Gelombang kritikan para kaum etis tersebut dijawab pada 17 September 1901 tatkala Wilhelmina naik tahta.

Senin, 29 September 2014

Bonfire of Liberties atawa Balada Negeri Tanpa Buku

“Ini barang terakhir yang bisa terselamatkan. Jagalah dan rawat. Kalau memungkinkan, perbanyak!” ujar lelaki itu sambil mengeluarkan bungkusan dari balik jaket kulitnya.
“Mau ke mana kau?”
“Menjemput maut!” jawab lelaki berjaket kulit sambil melangkah tergesa-gesa hingga akhirnya menghilang di temaram senja.

Jumat, 12 Juli 2013

Tanjung Gusta: Dari Jalan Listrik, Over Kapasitas Hingga Peredaran Narkoba


Oleh: Murti Latia

Konon, pada suatu jaman, orang akan bergidik begitu mendengar nama Jalan Listrik. Yang muncul pertama kali di kepala orang-orang di jaman itu mengenai Jalan Listrik adalah penjara.

Apa itu penjara? Penyiksaan, penghinaan sekaligus penghianatan kepada kemanusiaan.

Gedung yang didirikan pada masa Kolonial Belanda itu menjadi penampungan sekaligus bertemunya segala macam pelaku berbagai jenis kejahatan, mulai copet sampai ekstrimis (istilah populer yang kurang lebih hari ini akan sama dengan teroris).

Senin, 01 Juli 2013

Juara Konfederasi, Antara Kutukan dan Gengsi

Oleh: Murti Latia

Sepakbola adalah satu olah raga yang lekat dengan mitos dan tahayul.  Kemenangan dan kekalahan suatu tim dalam sebuah laga, kerap mendapat respon yang kadang kala malah menjurus ke mistik.

Kemenangan Brasil atau kekalahan Spanyol di ajang Piala Konfederasi yang baru usai itu, tentu menyisakan satu cerita lain di pinggir lapangan.

Apalagi kisah mengenai perhelatan Piala Konfederasi yang konon sarat dengan kutukan ini, tentu akan menjadi perbincangan menarik lain daripada seputar kegagahan Brasil mempecundangi Spanyol dengan tiga gol tak berbalas.

Radio Rimba Raya Mendukung Republik


:: Reportase

60 TAHUN IKUT INDONESIA
Radio Rimba Raya Mendukung Republik
Reporter: Tuahta Arief - Jakarta, 2005-08-07 08:57:45

Jam merek Vadex, buatan Swiss milik Ramly Melayu digantung di cangkul. Sejurus kemudian, dia mengetuk cangkul itu sebanyak lima kali. Setelah bunyi cangkul mereda, Ramly pun memekik: “Inilah Sumatera, radio Republik Indonesia...” tanpa menyebut posisinya mengudara.

Ramly Melayu dan para penyiar radio bawah tanah itu, saban hari di bulan Desember 1948, telah membuat Belanda ngamuk tak kepalang. Pasalnya, Belanda merasa telah menghancurkan seluruh radio Indonesia untuk memutus informasi dan melempangkan propaganda perang mereka sendiri. Ini dilakukan untuk mendukung Agresi Militer Belanda II.

Sabtu, 29 Juni 2013

Film Pendek Hujan Tarigan "Berapa Harga Sejengkal tanah"

Film pendek yang diangkat dari cerita pendek karya Hujan Tarigan, "Berapa Harga Sejengkal Tanah. Berkisah mengenai perdebatan dialektika pembangunan di tengah masyarakat tani. Film besutan sutradara Yusrizal ini diproduksi oleh UKM Sastra Kita, Universitas Bung Karno pada tahun 2008. Dibintani Deepee sebagai Saiman dan si penulis cerpen, Hujan Tarigan sebagai Rahmad.

Adu akting, aktivis kampus.

Pengambilan gambar dalam produksi film ini dilakukan di Desa Tulung Agung, Jawa Timur. Film ini adalah rangkaian tur UKM Satria ke Jawa Timur. Selain mengambil gambar, dalamkesempatan itu pula, UKM Satria menggelar pementasan drama dalam ajang Temu Teater Nusantara. naskah yang ditulis Hujan Tarigan itu berjudul "Simponi dalam Partitur Sunyi" Dimainkan oleh Depee, Alan stin serta Astri. Disutradarai oleh Alan Stin.























Membaca Saiman dalam Idealisme Kampung

Oleh: Jones Gultom

Judul Buku :Cerita Orang Kalah
Penerbit : Booknesia 2013
Penulis : Hujan Tarigan
Genre : Sastra (Kumpulan Cerpen)


Kumpulan cerpen “Cerita Orang Kalah” dibuka dengan cerita “Pemikul Mayat” yang sekilas tampak surealis. Ia berkisah tentang seorang bernama Saiman, yang meskipun telah mati, tapi tetap menginsipirasi masyarakat di kampungnya. Saiman layaknya sebuah mitos yang menggerakkan alam bawah sadar seseorang. Tokoh penceritanya adalah “aku”.

Minggu, 06 Maret 2011

WDB Menggugat Ilham

Berita Medan Bisnis

Warung Diskusi Bersama (WDB) yang digelar, Sabtu, 5 Februari 2011 di Ruang Pameran, Taman Budaya Sumatera Utara lalu, terasa hangat. Kali ini penyelenggara yang dikordinatori Ojak Manalu, menghadirkan Ilham Wahyudi, penulis muda, yang karya-karyanya saat ini mulai bermunculan di sejumlah media nasional, antara lain; Suara Pembaruan, Bali Post dan Suara Karya di samping media lokal tentunya. Kepada peserta diskusi yang juga didominasi penulis-penulis muda, Ilham diminta membagikan pengalaman tentang proses kreatifnya. Hadir sebagai pembanding Hasan Al Banna serta dipandu oleh Arif Tarigan. Ilham Wahyudi pun bertutur, bahwa pertama kali terjun di bidang seni, ia menggeluti film-film independen pada tahun 2002. Kemudian ia bergabung bersama Dlick Theater Team pimpinan Yondik Tanto. Dan pada 2004, ia lalu merambah bidang penulisan hingga saat ini.

Senin, 28 Februari 2011

Sepak Bola: Dari Amoral Hingga Produk Politik Abal-abal

Oleh Hujan Tarigan


Ulah Materazzi yang mencederai
agama universal...
Tidak ada permainan di atas bumi ini yang berevolusi demikian cepatnya, selain sepak bola. Agaknya ungkapan itu tak berlebihan bila disandangkan kepada satu-satunya olah raga yang mampu menghipnotis dan mempengaruhi peradaban di atas dunia.

Sejarah sepak bola modern diawali ketika perang antara Inggris dan Scotlandia berkecamuk. Dua “kampung” bersaudara itu terus bertempur meski pada 1305, legenda kemerdekaan Scot, William Wallace, telah dieksekusi mati kerajaan Inggris.

Suhu yang memanas di dua kubu itu tak begitu saja menghilangkan selera humor mereka. Masing-masing kelompok, Inggris dan Skotlandia kemudian saling mengolok lawannya dengan menendang-tendang potongan kepala serdadu musuh yang tewas. Kemudian potongan kepala itu diperebutkan secara brutal dan kasar yang boleh jadi bertujuan memanaskan kembali suasana peperangan.

Indonesia-Malaysia, Seteru Sejak Lama

(Tulisan ini dimuat di Kapasmerah edisi IX/2007)

 Oleh: Hujan Tarigan

rasa sayange rasa sayang sayange…
e negri Ambon jauh rasa sayang sayange…
jalan-jalan ke kota paris
lihat rumah berbaris-baris
biar mati di ujung keris
asal dapat si hitam manis

 rasa sayange rasa sayang sayange…
e negri Ambon jauh rasa sayang sayange…

SIAPA yang tak kenal lagu berpantun tersebut? Sejak duduk di bangku sekolah dasar kita pastinya telah ramah mengenal lagu daerah yang berasal dari pulau Maluku ini. Lagu pengantar pantun ini biasanya dibawakan muda-mudi pesisir pantai untuk mengisi waktunya selepas penat seharian bekerja. Belakangan dalam sebuah jingle di salah satu iklan Truly Malaysia, lagu tersebut muncul sebagai penghias, diikuti dengan klip dan cuplikan yang memperlihatkan keindahan serta keaneka ragaman Malaysia. Kok bisa?

Dicari: Gaya Ospek (In)telek

Tulisan ini dimuat di Kapasmerah edisi X/2007

Oleh Hujan Tarigan

Djangan tiroe adegan memaloekan ini djikalau Anda
betoel-betoel seorang darpada intelectoeil 
MUSIM penerimaan mahasiswa baru tiba. Bagi mahasiswa senior, masa ini adalah masa-masa yang dinantikan. Pasalnya masa ini tidak sekedar menjadi ajang tebar pesona pada mahasiswa-mahasiswi baru, tetapi juga sebagai tempat unjuk kebolehan dan unjuk kekuasaan di kampus. Siapa pun, yang pernah menjadi mahasiswa pernah menjalani masa ini, entah itu Mapram, Ospek, P3T atau apalah namanya, namun tetap pada satu substansi: pengenalan mahasiswa baru terhadap lingkungan kampus.

Layaknya sebuah pisau, ospek kerap dinilai sebagai sebuah proses turn in di lingkungan kampus yang memiliki dua sisi. Banyaknya ekses negatif membuat banyak juga pihak yang menginginkan kegiatan ini dihapus

Bagi mahasiswa baru masa-masa ini adalah masa yang paling memberatkan. Pelonco dari senior terhadap junior terkadang dirasakan sangat keterlaluan. Mulai dari syarat-syarat tak lazim dalam masa tersebut, hingga hardikan dan perlakuan yang dinilai kejam didapatkan. Sehingga tak jarang dampak psikologis langsung dirasakan dari acara yang bertujuan membangun kekompakan ini. 

Tingki Ni Pidari, Tuanko Rao Hingga Rehabilitasi

Sebuah resensi dan ulasan dari buku yang dikarang Mangaradja Onggang Parlindungan. Telah dimuat di Rakyat Merdeka

Penulis :  Mangaradja Onggang Parlindunga
Penerbit :  LkiS
Tebal :  iv + 692 hal

Setelah sempat terkubur lama, terbiaskan oleh kesimpangsiuran yang terjadi di dalam tradisi oral di Indonesia, maka perlahan kisah Tuanku Rao mulai kembali meruak bangkit dari kelamnya sejarah. Adalah Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP) yang mulai menuliskan sejarah petualangan laskar paderi itu di tanah Batak.

Kisah ini mulai terkuak pasca-pemberontakan PKI di tahun 1928. Setelah Belanda mengobrak abrik Klenteng Sam Po Kong dengan dalih pencarian fakta kebenaran sejarah Raden Fatah (Sultan Demak). Dari sana Residen Poortman berhasil menjarah salinan kitab-kitab tua yang berisikan sejarah tentang nusa antara. Salah satu salinan tersebut mengisahkan kehebatan pertempuran paderi antar tahun 1816-1833.

Burung Dihabisi, Deni Hanya Mesem-mesem Sendiri

Oleh Hujan Tarigan


Ini tjeritera lama sekali dan pernah terdjadi di masa-masa kepemipinan goubernement Soetijoso atawa bang Jos  jang berkoeasa di Batavia atawa Djakarta. Ini tjerita tjoerahan hati seorang daripada lelaki jang hantjoer djiwanya ketika seekor daripada oenggasnja ikoet dibantai dalam operatie final solution memeangi viroes daripada floe boeroeng.  Simaklah naratie antara saja dan lelaki itoe.

Genosida atas suatu ras terkuat kepada bangsa yang lemah. Jangan ditiru adegan ini kecuali atas perintah kepala daerah

 “Sekarang mau nyenangin diri sendiri saja susah. Dapat kerja susah, pelihara burung tak boleh.” kata Deni, sambil tersenyum satir. Lelaki pengangguran itu tampak kusut setelah seharian tidak melakukan apa-apa. Kalau dulu, dia biasa memakai kekosongan waktunya dengan bermain burung dara, tetatpi sekarang lelaki yang hanya tamatan SMEA itu cuma termangu-mangu di depan beranda rumahnya.


Djangan ditiroe, ketjoeali seidjin manteri!

Bermain burung adalah salah satu hal yang membuat Deni lupa pada keterhimpatan desakan keluarga. Memelihara burung dan memberi pakan kepada enam ekor burung dara peliharaannya adalah hal yang paling menghibur.

Lelaki yang punya banyak pengalaman kerja paruh waktu tersebut mengakui, sudah dua tahun lebih memiliki dan memelihara unggas. Unggas-unggas tersebut dia beli dari pasar burung Pramuka. Dua ekor diantaranya merupakan pemberian dari tetangganya.

Deni mengakui sempat tak ambil pusing ketika virus flu burung sempat menghantui lingkungan tempat dia tinggal. Malahan tahun lalu, daerah pinggiran rel, Pisangan Baru, Jakarta Timur sempat masuk ke dalam peta endemis virus H5N1.

“Tahun lalu sih memang ada yang kena flu burung di sini. Tetapi itu kan sudah selesai. Kita diberikan kelonggaran untuk memelihara burung. Dan juga burung kita diberi obat.”  kata  Deni sambil memainkan kepulan asap rokoknya.

Tahun ini, Pisangan Baru, Jakarta Timur kembali masuk ke dalam peta kawasan endemis virus H5N1. Namun agaknya meski sudah diminta kesediaannya untuk menyerahkan unggas-unggasnya, Deni tetap tak mau menyerahkan unggas-unggas miliknya. Bahkan dia mengaku tak takut dengan ancaman yang dikeluarkan pemerintah DKI Jakarta yang mengusir penduduk yang tidak mau menyerahkan unggas.

“Saya cuma punya unggas. Apa-apa tak ada. Masa sih, saya harus diusir hanya karena tak mau menyerahkan unggas saya?” tanya lelaki itu.

Deni mengaku tidak keberatan unggasnya diambil, asalkan unggasnya terbukti terjangkit wabah flu burung. Bila memang terbukti, dirinya sendiri yang akan menyerahkan burung-burung miliknya ke kelurahan. “Burung itu kan mahluk ciptaan Allah, kok diperlakukan seenaknya sendiri sih? Kalau memang mau melenyapkan virusnya, bukan begitu caranya,” kata Deni sambil menggerutu.

Sampai sekarang Deni masih terkenang dengan keenam burung kesayangannya. Bagi dia, tarian burung di waktu sore adalah pengusir kelelahan jiwa dari keputus asaan ekonomi yang menghimpit.

“Kalau mau adil, semua burung di Jakarta ini dihabisi, jangan ada yang tersisa. Termasuk mengeluarkan sertifikat burung yang boleh hidup. Kalau mengeluarkan surat itu tetap dilakukan, artinya orang miskin seperti saya memang tak pantas mendapatkan apa-apa, bahkan hiburan dari seekor burung,” kata dia sambil mesem-mesem sendiri.

Minggu, 27 Februari 2011

Si Murai dan Orang Gila” (Kepustakaan Populer Gramedia & Dewan Kesenian Jakarta, Desember 2010)


*Chairil Gibran
Tulisan ini dapat disimak pula di website Chairil Gibran Ramadhan:
www.stambulpanjak.blogspot.com

MENUTUP tahun 2010, pada 15 Desember lalu selama 12 jam lebih, dari pagi hingga malam, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Dewan Kesenian Jakarta dalam hal ini Komite Sastra DKJ yang diketuai Ahmadun Yosi Herfanda, menggelar hajatan “Panggung Sastra Komunitas” dengan tema “Komunitas sebagai Basis Pertumbuhan Sastra”.
     
Dalam acara ini selain dilangsungkan diskusi, bazaar buku, dan pembacaan karya, diluncurkan pula dua buah buku terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) yang bekerja sama dengan DKJ, masing-masing: “Si Murai dan Orang Gila” (bunga rampai cerpen) dan “Empat Amanat Hujan” (bunga rampai puisi), yang pengumpulan bahan-bahannya dilakukan melalui sebuah sayembara dengan seleksi yang dilakukan Eka Kurniawan selaku kurator pada cerpen, dan Zeffry Alkatiri selaku kurator pada puisi. Acara dibuka Firman Ichsan selaku Ketua DKJ, dihadiri kalangan birokrasi, akademisi, wartawan, pengamat sastra, dan tentunya para sastrawan itu sendiri. Acara berlangsung meriah, elegan dan sukses.

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.