Rabu, 17 Desember 2014

Van Deventer: Blunder Kerajaan Belanda

(STOVIA Jadi Embrio Indonesia)

“Dimanapun ada ketidakadilan di sanalah aku berada
 (Syech Lemah Abang)”

Suatu peristiwa mempertemukan si humanis C. van Deventer dan Pieter Brooshooft (wartawan koran De Locomotif), peritiwa itu adalah penderitaan rakyat Hindia Belanda dalam menjalani kehidupan. Potret penderitaan mereka kemudian dibawa ke negeri bawah air, Belanda. Potret itu pun cukup mendapat sorotan dari kaum etis. Tak pelak kebijakan Kerajaan Belanda atas koloninya menjadi bulan-bulanan para pemikir seperti van Deventer Cs.

Gelombang kritikan para kaum etis tersebut dijawab pada 17 September 1901 tatkala Wilhelmina naik tahta.



Dalam pidatonya Wilhelmina menegaskan, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:

1. irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk pertanian
2. emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigrasi
3. memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).

Banyak yang percaya bahwa kebijakan baru politik Belanda ini ada hubungannya dengan dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini. (dan itu diyakini dalam sejarah Indonesia)

Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

Selain dalam bidang pendidikan, kebijakan politik etis telah menghasilkan usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa pribumi, seperti misalnya pembuatan irigasi, pendirian bank-kredit untuk rakyat, subsidi untuk industri pribumi dan kerajinan tangan. Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. 

Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

Dan Kuntum Itu Merekah Jua
Tahun 1908, ketika pejabat pangreh praja (pamong praja) justeru memikirkan kepentingan diri sendiri dan jabatan, serta rela menindas bangsa sendiri, sekelompok pelajar tengah asik berdiskusi di perpustakaan School tot Opleding van Inlandsche Arsten (Stovia). Diskusi itu lah yang menjadi awal dari kesepakatan persatuan bangsa-bangsa yang ketika itu masih dalam cengkraman penjajahan Belanda. Beberapa pelajar tersebut yakni Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman kerap terlibat diskusi, perumusan serta cara memperbaiki keadaan anak bangsa. 

Pemuda-pemuda itu meyakini bahwa orang-orang lain mendirikan perkumpulan hanya untuk golongan sendiri dan tidak mau mengajak, bahkan tidak menerima keberadaan kelompok lain. Orang Jawa hanya berkumpul sesama penduduk Pulau Jawa. Perkumpulan ekslusif seperti Tiong Hoa Hwee Koan hanya untuk orang Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda. Para pemuda itu meyakini betul bahwa ketiadaan persatuan antara sesama anak jajahan adalah karena usaha dan politik devide et impera benar-benar sukses ditanamkan oleh Belanda di kepala rakyat. 

Soetomo Cs kemudian sampai pada sebuah kesimpulan, selagi zonder kesadaran untuk bersatu, tak mungkin Belanda dapat diusir dan rakyat menjadi maardjikers (orang merdeka). Akhirnya anak-anak muda itu mengambil sebuah langkah dan memprakarsai bentuk perjuangan baru; bersatu! 

Langkah selanjutnya, Soetomo menggagas untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda, dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif tetapi terbuka untuk siapa saja tanpa melihat kedudukan, kekayaan, atau pendidikannya.

Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura. Hal tersebut bukan berniat menjadikan Jawa sebagai pusat gerakan ekslusif, namun mereka menyadari tidak semua daerah jajahan Belanda bisa diketahui nasibnya. 

Hal itu dikarenakan Belanda telah menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie). Berbeda nasib, keadaan, sejarah, dan aspirasi suku-suku bangsa di luar Pulau Jawa dan Madura, menjadi alasan utama bagi Soetomo Cs untuk memutuskan berkonsentrasi di Jawa dan Madura.

Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka (pemuda). Maka lahirlah Boedi Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa "kaum tua"-lah yang harus memimpin Budi Utomo, sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan organisasi itu.

Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan "priayi" atau para bangsawan dari kalangan kraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.

Roda Berputar, Jaman Berkisar
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat pro-perjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruh Dekker-lah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. 

Maka muncul Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.

Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. 

Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum berpengalaman.

Nasionalisme Indonesia Makin Populis
Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme Indonesia makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut membiuat rakyat Hindia Belanda marah besar.

Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. 

Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.

Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa "nasionalisme Indonesia" tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian, nasionalisme terdapat pada orang Sumatera maupun Jawa, Makassar maupun Ambon.

Pendapat itu kemudian menjadi kontroversi dengan pendapat lain yang bahwa Budi Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan menolak suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota.

Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme "Indonesia" ada dan merupakan unsur yang paling penting. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.