Rabu, 17 Desember 2014

Mengintip Komunitas Freemasonry di Betawi

Tak ada prasasti yang mencatat dengan pasti tentang kedatangan kelompok Yahudi-Freemason ke tanah Betawi. Satu yang perlu diyakini, bahwa setelah Batavia disulap menjadi kota pelabuhan dan pusat perputaran uang, semua penduduk dunia tergoda datang ke sana. Sekadar mencari peruntungan dan mengembangkan modal, atau bahkan mengembangkan idiologi spiritual.

Begitulah, yang tercatat, pada awal abad ke-19, dalam sekejap mata Batavia sudah menjadi kota metropolitan yang sumpek, penuh penyakit, dan langganan banjir (keadaan yang persis sama dengan hari ini).


Alwi Shihab dalam tulisannya (dimuat di Republika, Minggu 6/8/2006) mengenai peta dan kosmologi Batavia awal abad ke-19 menuliskan, setelah Batavia menjadi padat, kemudian berbondong-bondong orang Belanda menempati tepi kali Ciliwung.



 Konon, warga Yahudi yang sudah  hadir sejak kolonial Belanda mulai membuka toko-toko di Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Risjwijk (Jl Veteran), dua kawasan elite di Batavia kala itu. 

Tersebutlah beberapa saudagar seperti Olislaeger, Goldenberg, Jacobson van den Berg, Ezekiel & Sons dan Goodwordh Company yang merupakan  pedagang-pedagang tangguh.

Kedatangan warga Yahudi kemudian bisa diterima dan dengan bebas berbaur dengan warga pribumi. Tampang mereka yang seperti Arab memudahkan usaha mereka menjadi lebih sukses dibandingkan dengan pengusaha asal Eropa atau Tionghoa.

Masih menurut Alwi Shihab, di masa kolonial, warga Yahudi ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan. Termasuk gubernur jenderal AWL Tjandra van Starkemborgh Stachouwer (1936-1942). Sedangkan Ali Shatrie (87) menyatakan bahwa kaum Yahudi di Indonesia memiliki persatuan yang kuat. 

Layaknya budaya Yahudi, maka setiap hari sabat (hari suci umat Yahudi), mereka berkumpul bersama di Vrijmetselarij, dalam bahasa Belanda Loge atau Loji, yang dalam bahasa Indonesia seringkali disebut sebagai "rumah setan".

Salah satu loji terbesar yang ada di batavia ketika itu adalah gedung Adhuc Stat alias Loji Bintang Timur yang terletak di Menteng, Jakarta Pusat (kini dipakai sebagai Gedung Bappenas). Dahulu, gedung ini dikenal masyarakat luas sebagai Gedung Setan, karena sering dipakai para anggota Mason sebagai tempat pemanggilan arwah orang mati oleh.

Loji-loji Freemasonry ternama di Nusantara tersebar di hampir semua wilayah di Indonesia seperti di Aceh, Medan, Padang, Palembang, Jawa, Sulawesi, dan sebagainya.

Dalam bukunya berjudul “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962”, yang edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Sinar Harapan, DR. TH. Stevens memaparkan tentang gerakan dan tokoh-tokoh Rreemasonry di Indonesia.

Dalam catatannya itu tersebutlah beberpa tokoh nasional Indonesia yang termasuk di dalam keanggotaan Freemasonry yang dilengkapi foto-foto ekslusif sebagai buktinya. 



Di antara nama yang tercatat itu, tertulislah, nama-nama terkenal seperti Sultan Hamengkubuwono VIII, RAS Soemitro Kolopaking Poerbonegoro, Paku Alam VIII, RM AAA Tjokroadikoesoemo, DR Radjiman Wedyodiningrat, Raden Saleh dan banyak pengurus organisasi Boedhi Oetomo. 

Pada tahun 1961, Soekarno melarang keberadaan gerakan Freemasonry di Indonesia. Pasalnya Soekarno beralasan gerkan itu tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.