Rabu, 17 Desember 2014

Jahitan

Oleh: Hujan Tarigan

Saiman suka menolong orang. Sifat itu sudah hidup dan menghidupi  penjahit baju itu. Akibatnya, bisnis yang dikelolanya sepanjang 10 tahun berjalan lambat seperti bekicot. Siang malam dia menjahit dan nyaris tak pernah kenal dengan istilah liburan. Orderan banyak, klien umumnya merasa puas dengan hasil kerja Saiman. Terutama, bagi mereka yang berkantong cekak. Saiman menjadi pilihan utama karena tak pernah pusing dan bertekak mengenai  tarif jasanya.


Kebaikan Saiman itu tentu saja dimanfaatkan mereka yang memang senang memanfaatkan kebaikan orang lain. Tak heran, bila akhirnya Saiman menjadi penjahit favorit warga di kota kami yang umumnya memang berada di golongan menengah gelisah. 

Di kota kami, Saiman bukanlah satu-satunya penjahit. Tentu saja ada penjahit lain. Tak semua pesanan bisa digarap Saiman. Biasanya, warga yang tak bernasib baik akan menjadikan penjahit lain itu sebagai pilihan keduanya. Sedang Saiman, terus menggoyangkan tungkai kakinya, menggenjot mesin jahit sendirian.

Sepanjang 10 tahun belakangan, lelaki itu mudah didapati di rumahnya yang tak seberapa lapang. Saiman benar-benar orang yang disibukkan dengan sifat baiknya itu. Akhirnya sebagian warga di kota kami memasukkannya ke dalam golongan orang yang bodoh. Bayangkan, 10 tahun tanpa henti memolah pattern, lelaki itu hanya bisa memiiliki sepetak rumah produksi berukuran 4x5 meter yang dikelola sendirian. Benar-benar sendirian.

“Ayolah Man, kau ambil kredit dari bank. Perbesar tokomu ini dan rekrutlah beberapa pegawai. Sayang betul, karyamu ini top collection. Mestinya kau bisa berproduksi lebih banyak lagi, ” saran Karto sahabatnya yang hari itu datang berkunjung. Namun agaknya Saiman tetap asik dengan pekerjaannya. Tangannya yang lincah menari, membentuk garis empire. 

“Coba kau lihat Ajo Deni di ujung gang sana. Dalam tiga bulan dia sudah berhasil mengembangkan bisnisnya,” ujar karto sambil memalingkan wajahnya ke jalanan. 
“Dia boleh berkembang dalam tiga bulan. Tapi orang tetap mengutamakan aku,” balas Saiman. Matanya masih terfokus pada kain yang ada di tangannya. Sementara kacamatanya menggantung di ujung hidung.
“Kau jangan bodoh, kemurahhatianmu itu tak bisa mendatangkan apa-apa. Coba kau lihat, sepuluh tahun menjahit sendirian, tak punya kesempatan menikmati diri dan… dan kau memang masih sendirian. Kita semakin tua, apa kau bisa hidup dengan terus menolong orang? Apakah kau pernah berpikir kalau orang-orang pernah berpikir seperti kau memikirkan orang-orang itu?” tanya Karto. Saiman menghentikan pekerjaannya. Sempat hening sebentar, akhirnya Saiman menjawab Karto. “Karto, kau baru saja memikirkanku. Dan aku berterima kasih untuk itu,” kata Saiman tersenyum.  
“Saiman, kawanku. Kurasa-rasa cukuplah sudah kau menabung pahala. Kita hidup di atas tanah. Sebagai temanmu, aku berharap kau menggunakan akal sehatmu. Oh, aku lupa, kau tak pernah memiliki akal sehat…” kata Karto sambil membelakangi Saiman. Lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya. Saiman kembali melanjutkan garis empirenya.

***
Di kota kami, ada sebuah rumah yang hangat menerima kunjungan orang-orang. Namun begitu, tak banyak cerita yang didapat dari rumah itu, meski hampir seluruh warga pernah menginjakkan kaki ke sana dan menerima kehangatan si pemiliknya. Rumah itu milik Saiman. Penjahit nomor wahid. 

Secara umum, warga hanya mampu menukil perca-perca cerita setiap kali pulang dari tempat itu. Khusunya kaum ibu di kota kami. Mereka selalu mendapatkan perasaan yang ajaib bila berkunjung dan bertamu ke rumah yang sekaligus dijadikan toko itu. 

Sekali dua kali, mereka mencoba bersikap kurang ajar pada Saiman, hanya untuk membuktikan sebuah kesimpulan dari jahitan perca-perca informasi yang mereka dapat dari setiap kepulangan mereka mengunjungi toko Saiman.  Pernah suatu kali Mpok Siti yang memesan sepotong maxi dress, mengangkat roknya tinggi-tinggi ketika Saiman mengukur pinggang perempuan itu. Tentu saja, ibu tiga anak itu melakukannya dengan niat menggoda Saiman. Demikian pula dengan Hera, Sumarsih, Vina, Asmita dan beberapa perempuan lain yang namanya terpaksa kurahasiakan. Godaan mereka hanya menghasilkan sebuah kesimpulan, bahwa Saiman adalah lelaki yang bernasib malang. 

Sekarang, apa yang kami, warga kota ini harus lakukan untuk Saiman yang malang? Kami tak bisa membiarkannya menghabiskan waktu dengan sendirian, sementara kami terus tumbuh, anak-anak kami semakin membesar. Dan Ajo Deni terus menaikkan tarif jasanya, karena  Saiman semakin kelimpungan menerima pesanan.

***
“Dia itu lelaki yang aneh,” kata Asmita.
“Aku yakin sekali dia tak normal”ujar Sumarsih.
“Bagus dong, artinya, suami-suami kita tak perlu curiga setiap kali kita berlama-lama di sana untuk mencuri kemampuan menjahit Saiman,” potong Mpok Siti.  Warung Hera ramai membicarakan Saiman ketika itu. Silih berganti ibu-ibu menunjukkan aneka rasa yang selama ini mereka simpan.
“Entahlah, aku bingung. Setiap kali datang ke tempat itu dan memperhatikannya bekerja, aku merasa aku bisa melakukannya di rumah. Namun setiba di rumah, ketika aku memegang gunting dan duduk di depan mesin jahit kabinetku, aku mendadak lupa. Aku tak tau apa yang harus kukerjakan,” keluh Vina. Pengakuan istri Karto itu pun diamini yang hadir di warung Hera.
“Tidak ada yang bisa membantunya. Saiman semakin lambat. Dan kita tak bisa mengerjakan apa yang dikerjakannya. Oh, aku harus memaksa suamiku lebih giat lagi mencari uang untuk dibuang ke Ajo Deni,” sesal seorang perempuan.
“Kita harus segera mencarikannya pasangan!” usul Hera. Semua terhenyak. Saiman memang masih membujang. Hanya saja…
“Ah, gila! Ide itu sesat! Tidak bisa! Itu tidak bisa dibenarkan!” teriak Mpok Siti. Apa jadinya kota ini bila ada penghuninya yang bercinta dengan sesame jenis! “ 
Warung milik Hera tiba-tiba pecah oleh silang pendapat. “Aduhhhhhhh!!!! Pusingggggg!” teriak si pemilik warung.

***
Saiman tak pernah peduli untuk hal apapun kecuali menyelesaikan pesanan jahitan. Pagi hari dia sudah terbangun dan dia akan tidur bila mesin jahitnya macet, benang habis atau tangannya tertusuk jarum. Semua itu dia lakukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya, menolong warga yang datang dan membutuhkan pertolongannya.  Saiman tak berpikir, kalau tokonya harus berkembang seperti yang dikatakan Karto tempo hari. Pikiran dia pendek. Lelaki itu hidup untuk hari ini. Hingga sepuluh tahun lewat, dan Saiman semakin bertambah matang. 

Untuk ukuran perempuan yang ada di kota kami, Saiman masuk dalam golongan pria yang beruntung karena dianugerahi fisik yang sempurna. Tubuhnya tinggi dan besar seperti bintang film Hollywood. Padat dan berisi. Kalian tak akan menyangka kalau lelaki 40 tahunan itu adalah penjahit yang sehariannya duduk di belakang mesin jahit dan tak melakukan pekerjaan berat sehingga menyebabkan dadanya membidang, dan otot lengan terlihat kokoh.

Belum lagi wajahnya yang bisa dikatakan membuat kami lelaki di kota ini pantas iri. Serta brewoknya yang tak terawat itu justru menjauhkannya dari persangkaan-persangkaan kami yang menganggapnya sebagai lelaki yang malang.

“Mas, ini adikku, mau minta dibuatkan handkerchief dress,” kata Hera suatu ketika. Saiman menghentikan jahitannya. Sambil membetulkan letak kacamata, Saiman melihat Hera yang datang dengan menggandeng seorang perempuan. 
“Iya, mari,” sambutnya dingin seperti biasa.

***
Di kota kami, Saiman memiliki keluarga. Bisa dikatakan begitu, karena Karto adalah orang yang membawa Siaman ke kota ini dan mengenalkanya kepada kami. Karto adalah sahabat kental Saiman.  Lelaki itu banyak membantu Saiman dalam tahap-tahap awal bisnis jahitan Saiman.

Begitu pun, tak banyak juga cerita yang keluar dari mulut Karto mengenai Saiman.  Termasuk Vina, istri Karto. Perempuan itu malah pernah menyangka, suaminya masuk ke dalam golongan sebangsa Saiman.

“Gila! Kau bicara apa? Saiman itu seperti aku, dia normal! Dia penyuka lain jenis!” damprat Karto suatu kali ketika Vina sang istri mulai gerah dengan omongan tetanggan yang menuding kedekatan Karto dan Saiman patut dicurigai.
“Kalau dia normal, kenapa tak ada perempuan di sampingnya?” tanya Vina
“Vina, kalau aku tak normal, kenapa harus ada kau di sampingku? Ayo jawab…”
“Barangkali aku hanya alibi!” isak Vina
“Ya Tuhan, Vinaaaaaa!”

***
Suatu sore, di luar kebiasaan, Saiman menutup tokonya. Dengan tergesa-gesa, lelaki itu berjalan ke rumah Karto. 
“Karto, apa kau mau mendengar kisahku?” bisik Saiman. Vina yang ketika itu melintas di hadapan kedua lelaki itu pun mangkel. Kau tak akan habis pikir  bila kau menemukan istrimu cemburu pada sahabatmu. Dan itulah yang dialami Karto.
“Apa istriku boleh ikut mendengarnya?” tanya Karto sambil memainkan matanya. Saiman diam sesaat. Dia ragu. Tapi, dia tak sanggup lagi untuk menahan cerita yang akan kubagikan ini. 
“Sebulan ini aku menjadi galau. Sebab sebulan lalu, aku bermimpi aneh,” ujar Saiman membuka kisah.
“Teruskan,”
“Di dalam mimpiku, aku melihat diriku berdiri di tepi sungai. Sungainya tidak terlalu luas dan tampak dangkal. Namun memiliki arus yang deras,”
“Iya, lalu?”
“Di seberang sungai  itu ada seorang perempuan sedang turun dan tampaknya sedang mencuci. Lalu, tiba-tiba kain yang sedang dicucinya lepas dan hanyut. Perempuan itu mengejar kainnya…” ujar Saiman  terpotong. Karto dan Vina masih khidmat mendengarkan kisah lelaki yang nyaris tak pernah meninggalkan tempatnya selama sepuluh tahun.
“Agaknya perempuan itu menginjak batu berlumut, hingga akhirnya dia pun terjatuh dan ikut hanyut. Dia meminta tolong kepada orang di seberang. Tapi tak ada yang menolongnya. Hingga akhirnya, di dalam mimpi itu, aku melihat diriku melompat dan berupaya menolong perempuan itu. Dan akhirnya perempuan itu berhasil kuselamatkan….sayangnya aku yang hanyut…”
“Lalu?” potong  Vina dengan semangat. Maklum, ini adalah pengalaman ajaib yang didapatnya sepanjang mengenal Saiman. 
“Aku terbangun” kata Saiman dingin.
“Terus?” tanya Karto. Saiman diam. Begitu pula Vina.
“Aku tak tau apa itu,” kata Saiman.
“Hm…” desis Karto sambil memegang dagunya. “Menurutku ini serius. Ini petanda,”
“Petanda apa, Karto?”
“Kau harus tinggalkan hobimu  menolong orang…” potong Karto.
“Apa maksudmu?” tanya Saiman.
“Tak semua orang bisa kau tolong. Buktinya perempuan itu selamat, tapi kau malah hanyut…”
“Ah, sudah, tak perlu ke sana pembicaraannya. Terus terang aku bukan datang karena mimpi itu. Mimpi itu soal lain,” kata Saiman
“Bah! Apapula ini?” tanya Karto
“Yang merusak pikiranku bukan mimpi itu. Tapi…”
“Tapi apa?” 
“Ada seorang perempuan kurang ajar yang berani masuk ke dalam mimpiku,” kata Saiman dengan suara pelan. Vina mendekat. 
“Terus?” tanya Vina. “Siapa perempuan kurang ajar itu? Siapa perempuan yang telah membuatmu jadi galau selama sebulan belakangan?” 
“Aku tak kenal siapa perempuan yang kutolong di dalam mimpiku itu, tapi serasanya aku pernah melihatnya muncul di tokoku”
“Siapa, Man… Ayo, siapa?” desak Karto.
“Serasanya, dia adalah adik perempuan Hera yang pernah memesan handkerchief dress beberapa waktu lalu,” lanjut Saiman. Karto dan istrinya pun terdiam.

***
Pagi ini, di warungnya Hera termenung. Desakan ibu-ibu di kota kami membuatnya tampak lemas dan tak kuasa mengangkat wajah.
“Sudahlah Hera, bagaimana pun Saiman itu telah menolong kita. Walau dia aneh, tapi aku yakin dia normal. Dia akan perlakukan adikmu sebagaimana lelaki memperlakukan perempuan,” kata Mpok Siti.
“Betul Hera. Apa kau tak kasihan, melihat Saiman hidup sendirian. Dan hanya ditemani bayang-bayang adikmu di dalam mimpinya?” timpal Asmita.
“Entahlah. Apa aku sanggup mengorbankan adikku untuk melayani warga kota ini. Saiman itu terlampau baik. Dan kita semua memanfaatkan kebaikannya.” bisik Hera.

***
Pagi ini Saiman tak membuka tokonya. Dia tampak berlaku aneh sekali. Rambutnya ditata rapih,  bulu-bulu di wajahnya dicukur bersih. Dengan pakaian yang dijahitnya sendiri, lelaki itu bersiap pergi ke suatu tempat. 

Saiman yang kita lihat hari ini berjalan melintasi gang kumuh adalah Saiman yang baru. Saiman yang percaya pada tafsir mimpi Karto, bahwa tak semua orang bisa ditolong. Sebab itu, sejak semalaman dia sudah pikirkan untuk rencana mengambil pinjaman ke bank. Membesarkan tokonya, menambah alat produksinya. Mempekerjakan orang upahan, kemudian pergi melamar adik perempuan Hera. 

Binjai 29/11/2015


*Dimuat pertama kali di Rakyat Merdeka Online














  










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.