Senin, 28 Februari 2011

Indonesia-Malaysia, Seteru Sejak Lama

(Tulisan ini dimuat di Kapasmerah edisi IX/2007)

 Oleh: Hujan Tarigan

rasa sayange rasa sayang sayange…
e negri Ambon jauh rasa sayang sayange…
jalan-jalan ke kota paris
lihat rumah berbaris-baris
biar mati di ujung keris
asal dapat si hitam manis

 rasa sayange rasa sayang sayange…
e negri Ambon jauh rasa sayang sayange…

SIAPA yang tak kenal lagu berpantun tersebut? Sejak duduk di bangku sekolah dasar kita pastinya telah ramah mengenal lagu daerah yang berasal dari pulau Maluku ini. Lagu pengantar pantun ini biasanya dibawakan muda-mudi pesisir pantai untuk mengisi waktunya selepas penat seharian bekerja. Belakangan dalam sebuah jingle di salah satu iklan Truly Malaysia, lagu tersebut muncul sebagai penghias, diikuti dengan klip dan cuplikan yang memperlihatkan keindahan serta keaneka ragaman Malaysia. Kok bisa?

Itulah yang sedang dipermasalahkan sekarang. Agaknya selisih tegang antara Negara Kita Tercinta ini dengan jiran serumpun, Malaysia tak pernah reda. Setelah pada awal tahun 1960-an Presiden Soekarno membuka front terhadap negara imperialis-kapitalis berikut bonekanya, hubungan Indonesia-Malaysia tak pernah benar-benar akur. Proyek pecah belah yang dilakukan negara barat atas negara bertetangga ini hingga kini telah menjadi sindrom baru yang menjangkiti warga. Sehingga acap kali setiap kali kita mendengar nama Malaysia yang pertama kali muncul di kepala kita adalah, kekejaman terhadap TKI, kecurangan dalam kepemilikan Sipadan-Ligitan, Ambalat, Kalimantan Utara, Konfrontasi, bla.. bla.. bla…

Demikian sebaliknya, setiap kali nama Indonesia disebutkan, sebagian besar warga Malaysia masih tetap prejudice.  Dalam kepala sebagian besar warga mereka, hanya ada satu kata untuk menggambarkan Indonesia: Kacau! Tentulah yang dimaksudkan dengan kacau adalah, segala kekacauan yang terjadi di negara mereka berasal dari orang yang mereka sebut dengan Indon.

Indonesia pantas kecewa dalam hal klaim-klaiman. Pasalnya ibarat saudara tua yang tengah berselisih dengan saudara muda, Indonesia selalu merugi atas apapun yang tengah disengketakan. Berawal dari rebutan Kalimantan Utara, Serawak, Kuching, Brunei hingga rebutan Sipadan-Ligitan. Seperti hutang sejarah, Indonesia yang konon pada masa Soeharto berkuasa pernah menjadi macan Asia Tenggara ini harus membayar mahal atas semua perselisihan. Tergulingnya Bung Karno dari tampuk kekuasaan pada tahun 1965 juga dipandang sebagian orang sebagai harga atas konfrontasi yang ternyata hingga kini tak kunjung usai.

Seolah hutang masih harus dibayar, Indonesia harus kalah dalam perebutan Pulau Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional pada 17 Desember 2002 lalu.

Dalam kekalahan yang masih terasa di hati “saudara tua” ini, The International Court of Justice (Mahkamah Internasional) memutuskan bahwa Malaysia memiliki hak dan kedaulatan atas Pulau Sipadan-Ligitan di Laut Sulawesi. Pulau yang terletak di perbatasan antara Kalimantan Timur dengan Sabah tersebut disinyalir telah lama terabaikan oleh Indonesia. Sehingga hal itu menguatkan alasan  kekalahan Indonesia di depan forum internasional. Memalukan!

Tak sampai disitu, ribuan pekerja migran asal Indonesia diperlakukan sangat kasar di negara yang selalu berguru pada Indonesia itu. Tak urung, sejak tahun 2000 hingga sekarang, kejahatan kemanusiaan yang dilakukan warga Malaysia terhadap pekerja migran khusunya dari Indonesia tak terhitung lagi. Kekerasan tidak hanya dilakukan terhadap pekerja ilegal. Acap kali pekerja dengan dokumen lengkap juga diakali. Mulai dari gaji yang ditahan hingga hukuman fisik berupa penyiksaan.

Lagi lagi, Pemerintah Indonesia tak bisa berbuat apa-apa. Kekerasan terhadap pekerja migran memang ada di depan mata. Namun apa daya, kemauan untuk menyelamatkan harga diri bangsa memang tak ada. Hingga akhirnya jutaan rakyat Indonesia yang sudah gemas dengan tingkah polah Malaysia kemudian merindukan sebuah jaman dengan slogan; Ganyang Malaysia!

Sayangnya, semangat dan sikap nasionalisme yang ditunjukkan rakyat tidak mendapat respon dari PRI. Sikap mengalah agaknya adalah identitas sejati orang Indonesia.

Lantas, setelah “kekalahan dalam konfrontasi, kekalahan dalam rebutan Sipadan-Ligitan, sekarang kita rebutan apa lagi? Tahu? Tempe? Kain batik? Indonesia kalah, (entah mengalah).

Yang jelas, hari ini emosi warga Indonesia kembali diusik. Lagu “Rasa Sayange” yang telah menjadi lagu penentram dan pengobat jiwa diklaim milik Malaysia. Bagaimana bisa terima?

Rasa Sayange atau Rasa Sayang Hey?

Para seniman di Maluku yang tergabung dalam Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (Pappri) sempat sibuk menghimpun kembali data lagu “Rasa Sayange”

Buce Tumaluweng (Ketua Pappri Maluku), seperti yang dikutip dari kapanlagi.com, menunjuk saksi Christina Manuputty yang lahir tahun 1920. Menurut Buce, Christina telah mendengar lagu “Rasa Sayange” sejak usia lima tahun. Lagu itu biasa dinyanyikan untuk mengantar tidur Christina.

Bukan Chritina saja, pencipta lagu dan penyanyi Beng Leiwakabebessy faktanya sempat mengiringi dengan gitar ketika Presiden Soekarno menyanyikan lagu itu di bandara Internasional Pattimura di Desa Laha, Kecamatan Teluk Ambon, tahun 1950.

Selain usaha Pappri Maluku untuk menggali sejarah “Rasa Sayange”, Perusahaan Percetakan Negara Lokananda Solo menemukan arsip rekaman lagu ”Rasa Sayange”. Menurut Kepala PPN Lokananta, Roektiningsih, lagu tersebut direkam pada 15 Agustus 1962. ”Sebagai souvenir Asian Games IV di Jakarta”.

Diketahuinya rekaman tersebut merupakan cendera mata tampak dari sampulnya yang ada tulisannya ”Souvenir from Indonesia, untuk “The Fourth Asian Games”.

Konon lagu itu direkam dan digandakan atas perintah dari Presiden RI waktu itu Ir. Soekarno kepada Menteri Penerangan R. Maladi.

Piringan hitam hasil rekaman Lokananda berisikan delapan buah lagu termasuk lagu “Rasa Sayange”. Yang menjadikan bukti otentik bahwa piringan hitam tersebut asli adalah nomor registernya SRL.253 dan SLR.254 yang ditulis lagu “Rasa Sayange”. Rekaman suara “Rasa Sayange” tersebut dinyanyikan Orkes Lokananda pimpinan Soepardi. Sedangkan lama durasi lagu adalah dua menit 20 detik.

Di sampul piringan hitam tersebut tertulis NN dalam kepengarangan “Rasa Sayange”. Hal itu artinya, lagu “Rasa Sayange” telah lama hadir dan mendarah daging. Sehingga tak bisa diketahui dengan pasti siapa pengarangnya.

Namun menurut Gubernur Maluku Albert Ralahalu, dia mempunyai informasi otentik bahwa pencipta lagu “Rasa Sayange” bernama Paulus Pea. Oleh karena informasi tersebut mendukung dan menguatkan bahwa “Rasa Sayange” adalah milik Indonesia, maka Pemerintah dituntut untuk segera menyelesaikan masalah ini. Jangan sampai “saudara tua” kalah (mengalah?) lagi.

Lengkaplah! Beranilah!

Sudah kuat ‘kan data kepemilikan lagu “Rasa Sayange”? Sekarang bagaimana sikap pemerintah atas klaim ngawur negeri jiran tersebut? Apakah Nasib “Rasa Sayange” bisa menjadi milik Indonesia, khusunya warga Maluku? Atau, “Rasa Sayange” akan menyusul pulau Sipadan dan Ligitan? Begitu mudah dan rapuhnya diplomasi dan kekuatan politik luar negeri Indonesia. Hingga ada banyak hal yang perlu dikuatirkan dari keadaan negara yang centang perenang ini.

Setelah “Rasa Sayange”, lalu apa? Apakah Soto juga akan diklaim? sehingga nantinya orang  Betawi akan kehilangan Soto Betawi kebanggaannya? Atau Sate? sehingga nantinya orang Padang tak bisa jual Sate Padang lagi? atau jangan-jangan buah duku? sehingga nantinya tak ada lagi duku Palembang, yang ada duku Malaysia. Kapan pemerintah Indonesia berani bersikap dan bersikap berani untuk membalas segala penghinaan yang dilakukan dunia luar? Wallahu alam bishawab!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.