Berita Medan Bisnis
Warung Diskusi Bersama (WDB) yang digelar, Sabtu, 5 Februari 2011 di Ruang Pameran, Taman Budaya Sumatera Utara lalu, terasa hangat. Kali ini penyelenggara yang dikordinatori Ojak Manalu, menghadirkan Ilham Wahyudi, penulis muda, yang karya-karyanya saat ini mulai bermunculan di sejumlah media nasional, antara lain; Suara Pembaruan, Bali Post dan Suara Karya di samping media lokal tentunya. Kepada peserta diskusi yang juga didominasi penulis-penulis muda, Ilham diminta membagikan pengalaman tentang proses kreatifnya. Hadir sebagai pembanding Hasan Al Banna serta dipandu oleh Arif Tarigan. Ilham Wahyudi pun bertutur, bahwa pertama kali terjun di bidang seni, ia menggeluti film-film independen pada tahun 2002. Kemudian ia bergabung bersama Dlick Theater Team pimpinan Yondik Tanto. Dan pada 2004, ia lalu merambah bidang penulisan hingga saat ini.
Di Medan, karya-karya Ilham cukup menarik, khususnya puisi. Ia tidak hanya "nyentrik" memilih diksi, tapi juga sensitif menggarap tema. Tema-tema keseharian itu, ia gubah sedemikian menarik dan kadang unik, tanpa meninggalkan esensi yang hendak disampaikan. Ilham juga mempertimbangkan bentuk (tipografi) puisinya. Bentuk-bentuk puisinya ada yang mengerucut, piramida dan sesekali zigzag. Meski begitu, puisi-puisinya cenderung naratif. Tidak seperti puisi tipografis lain, semisal milik Sutardji yang minimalis dan mantrais.
Puisi-puisi Ilham adalah bangunan dari sejumlah estetika; makna, bentuk, ritme dan persajakan. Di tanah air, ada kemiripan puisi-puisinya dengan puisi beberapa penyair lain. Dari segi semiotika seperti juga diakuinya, ia dipengaruhi Acep Zamzam Noor, Agus Noor yang keduanya terpengaruh Afrizal Malna. Sedangkan soal pengungkapan, mirip puisi Saut Sitompul dan Joko Pinurbo dengan kesederhanaan filsafatnya. Berikut salah satu puisinya yang berjudul, 12 Pas yang Tak Terlupakan Itu
Pertandingan pun berakhir. Bangku-bangku berterbangan. Batu terkapar di mana-mana. Pagar pembatas menciumi rumput-rumput. Stadion seperti habis dijarah kemarahan. Dan keesokan hari, koran-koran berteriak "penghianat", pemain bernomor punggung 10 mati di kamar hotel. (Medan. 2010)
Sebagian besar puisi yang ia tulis terjadi secara spontan serta berasal dari tema-tema sederhana.. "Pengaruh itu baru ada setelah puisi-puisi selesai ditulis," katanya. Diskusi mulai menghangat ketika forum terjabak dengan kata terpengaruh dan meniru. "Saya kira tak ada penyair yang tidak terpengaruh oleh penyair lain, sebab itu juga merupakan bagian dari proses penciptaan. Siapakah pemilik kata "hujan" "airmata" "rapuh"? WS. Rendra juga terpengaruh Federico GarcĂa Lorca, penyair asal Spanyol itu. Dia sendiri mengakui, bukan hanya karya, tapi proses penciptaan yang nantinya berkaitan dengan karakter yang bisa saja mengalami imitasi yang sifanya konstruksi atau malah inovasi," Dalam dunia seni, itu sesuatu yang lumrah. Karena seni, selain penciptaan juga penyempurnaan," jelas Jones Gultom, salah seorang peserta.
"Di negara maju, karya sastra dibukukan dulu baru dibahas di koran-koran, bukan sebaliknya, sehingga idealisme penulisnya tetap terjaga. Beberapa puisi Ilham sering membenturkan teori semiotika. Akibatnya, logika estetika kadang terbaikan. Contohnya puisi berjudul "Seperti Hujan yang Tak Sempat Tumpah".
Judulnya saja sudah kontradiktif, kata Saiful, peserta lainnya. Ilham lalu menjelaskan bahwa di puisi itu ia bermain metafor. Hujan ia maknai sebagai airmata dan "tumpah" tak lain menetes. Tentu penafsiran adalah sesuatu yang bebas tafsir dan hak setiap orang. Serupa ketika pengarang mesti terpengaruh atau memengaruhi sekelilingnya, yang tak lain mengisyaratkan internalitasnya dirinya itu. (Jones Gultom)
Warung Diskusi Bersama (WDB) yang digelar, Sabtu, 5 Februari 2011 di Ruang Pameran, Taman Budaya Sumatera Utara lalu, terasa hangat. Kali ini penyelenggara yang dikordinatori Ojak Manalu, menghadirkan Ilham Wahyudi, penulis muda, yang karya-karyanya saat ini mulai bermunculan di sejumlah media nasional, antara lain; Suara Pembaruan, Bali Post dan Suara Karya di samping media lokal tentunya. Kepada peserta diskusi yang juga didominasi penulis-penulis muda, Ilham diminta membagikan pengalaman tentang proses kreatifnya. Hadir sebagai pembanding Hasan Al Banna serta dipandu oleh Arif Tarigan. Ilham Wahyudi pun bertutur, bahwa pertama kali terjun di bidang seni, ia menggeluti film-film independen pada tahun 2002. Kemudian ia bergabung bersama Dlick Theater Team pimpinan Yondik Tanto. Dan pada 2004, ia lalu merambah bidang penulisan hingga saat ini.
Di Medan, karya-karya Ilham cukup menarik, khususnya puisi. Ia tidak hanya "nyentrik" memilih diksi, tapi juga sensitif menggarap tema. Tema-tema keseharian itu, ia gubah sedemikian menarik dan kadang unik, tanpa meninggalkan esensi yang hendak disampaikan. Ilham juga mempertimbangkan bentuk (tipografi) puisinya. Bentuk-bentuk puisinya ada yang mengerucut, piramida dan sesekali zigzag. Meski begitu, puisi-puisinya cenderung naratif. Tidak seperti puisi tipografis lain, semisal milik Sutardji yang minimalis dan mantrais.
Puisi-puisi Ilham adalah bangunan dari sejumlah estetika; makna, bentuk, ritme dan persajakan. Di tanah air, ada kemiripan puisi-puisinya dengan puisi beberapa penyair lain. Dari segi semiotika seperti juga diakuinya, ia dipengaruhi Acep Zamzam Noor, Agus Noor yang keduanya terpengaruh Afrizal Malna. Sedangkan soal pengungkapan, mirip puisi Saut Sitompul dan Joko Pinurbo dengan kesederhanaan filsafatnya. Berikut salah satu puisinya yang berjudul, 12 Pas yang Tak Terlupakan Itu
Pertandingan pun berakhir. Bangku-bangku berterbangan. Batu terkapar di mana-mana. Pagar pembatas menciumi rumput-rumput. Stadion seperti habis dijarah kemarahan. Dan keesokan hari, koran-koran berteriak "penghianat", pemain bernomor punggung 10 mati di kamar hotel. (Medan. 2010)
Sebagian besar puisi yang ia tulis terjadi secara spontan serta berasal dari tema-tema sederhana.. "Pengaruh itu baru ada setelah puisi-puisi selesai ditulis," katanya. Diskusi mulai menghangat ketika forum terjabak dengan kata terpengaruh dan meniru. "Saya kira tak ada penyair yang tidak terpengaruh oleh penyair lain, sebab itu juga merupakan bagian dari proses penciptaan. Siapakah pemilik kata "hujan" "airmata" "rapuh"? WS. Rendra juga terpengaruh Federico GarcĂa Lorca, penyair asal Spanyol itu. Dia sendiri mengakui, bukan hanya karya, tapi proses penciptaan yang nantinya berkaitan dengan karakter yang bisa saja mengalami imitasi yang sifanya konstruksi atau malah inovasi," Dalam dunia seni, itu sesuatu yang lumrah. Karena seni, selain penciptaan juga penyempurnaan," jelas Jones Gultom, salah seorang peserta.
Peserta lain, Hujan Tarigan, menekankan bahwa berkarya adalah yang utama daripada menyoalkan hal-hal teknis. Soal proses itu kemudian ditimpali yang lain. Yulhasni salah satunya. Menurutnya, kejujuran adalah sesuatu yang absolut dan mesti dimiliki penyair (seniman) dalam berkarya. Tanpanya, sebuah karyanya hanya akan sekedar gagah-gagahan. Diskusi kian meluas, manakala Darma mengurai kelemahan sastra ketika masih harus menggantungkan dirinya semata-mata pada media, terutama koran. Menurutnya fenomena ini lazim terjadi di negara-negara miskin dan berkembang. Perkembangan sastra akan sangat lambat, mengingat sifat koran justru sering mengekang kebebasan penulis.
"Di negara maju, karya sastra dibukukan dulu baru dibahas di koran-koran, bukan sebaliknya, sehingga idealisme penulisnya tetap terjaga. Beberapa puisi Ilham sering membenturkan teori semiotika. Akibatnya, logika estetika kadang terbaikan. Contohnya puisi berjudul "Seperti Hujan yang Tak Sempat Tumpah".
Judulnya saja sudah kontradiktif, kata Saiful, peserta lainnya. Ilham lalu menjelaskan bahwa di puisi itu ia bermain metafor. Hujan ia maknai sebagai airmata dan "tumpah" tak lain menetes. Tentu penafsiran adalah sesuatu yang bebas tafsir dan hak setiap orang. Serupa ketika pengarang mesti terpengaruh atau memengaruhi sekelilingnya, yang tak lain mengisyaratkan internalitasnya dirinya itu. (Jones Gultom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan