*Chairil Gibran
Tulisan ini dapat disimak pula di website Chairil Gibran Ramadhan: www.stambulpanjak.blogspot.com

Dalam acara ini selain dilangsungkan diskusi, bazaar buku, dan pembacaan karya, diluncurkan pula dua buah buku terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) yang bekerja sama dengan DKJ, masing-masing: “Si Murai dan Orang Gila” (bunga rampai cerpen) dan “Empat Amanat Hujan” (bunga rampai puisi), yang pengumpulan bahan-bahannya dilakukan melalui sebuah sayembara dengan seleksi yang dilakukan Eka Kurniawan selaku kurator pada cerpen, dan Zeffry Alkatiri selaku kurator pada puisi. Acara dibuka Firman Ichsan selaku Ketua DKJ, dihadiri kalangan birokrasi, akademisi, wartawan, pengamat sastra, dan tentunya para sastrawan itu sendiri. Acara berlangsung meriah, elegan dan sukses.
Dari karya-karya di atas, “Si Murai” tercatat sebagai cerpen terpendek: Hanya dua halaman. Dan “Orang Gila”, yang dipuji habis-habisan Ibnu Wahyudi, (sastrawan dan juga dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (d/h Fakultas Sastra), terbilang merupakan cerpen yang paling mendalam penjiwaannya, layaknya cerpen itu ditulis oleh seorang gila. Atas kedua keunikan ini, tidaklah salah jika keduanya kemudian dijadikan sebagai cerpen utama. Kedua nama ini pun terbilang unik. Nona Devi atau Siti Deviyani misalnya, di halaman akhir buku sedikit sekali biodata yang bisa kita ketahui tentang dirinya. Sedangkan Laora Arkeman, yang pernah menjadi editor tamu pada antologi cerpen untuk pasar internasional “Menagerie 5” (The Lontar Foundation, 2003) dan termasuk pelit berkarya, termasuk comeback dengan sangat mengejutkan dalam dunia sastra nasional.
Namun secara isi, “Si Murai dan Orang Gila” bukanlah tanpa cacat. Seperti yang dikeluhkan salah seorang penanya pada saat diskusi peluncurannya, buku ini “kaya” akan kesalahan pada hal-hal teknis yang seharusnya merupakan tanggungjawab penuh penyunting. Belum lagi kesimpulan penyunting yang mengatakan bahwa “komunitas-komunitas ini berhasil melahirkan potensi-potensi terbaiknya”. Meski ajang “Panggung Sastra Komunitas” bertema “Komunitas sebagai Basis Pertumbuhan Sastra”, perlu diketahui betul bahwa tidak semua penulis di dalam buku ini terlibat sebagai pendiri, pengurus, atau hanya anggota dari sebuah komunitas sastra sekalipun. Ada penulis-penulis yang tidak pernah bersinggungan dengan komunitas sastra manapun alias lebih gemar berjuang sendiri(an) termasuk juga menyendiri di dunia sepi. Merekalah yang berhasil menembuskan karya-karyanya ke berbagai media nasional ataupun bahkan tampil dalam sebuah buku antologi tunggal ataupun gabungan, di tingkat nasional atau internasional, tanpa membawa embel-embel nama komunitas manapun dan semata lantaran menjadi “presiden, menteri, dan rakyat” suatu komunitas sastra. Atau dengan kata lain, karya para “penyendiri” ini ditampilkan semata hanya karena kekuatan karya. Bukan kedekatan personal dengan pengelola rubrik sastra, atau antara pihak penerbit dengan gemerlap nama komunitas sastra, atau yang diterbitkan sendiri oleh komunitas sastra sebagai penunjuk bahwa eksistensi bahwa komunitas mereka mampu menerbitkan buku dan penulis-penulis anggotanya mampu berkarya.
Ataukah “komunitas” yang dimaksudkan penyunting di sini tidak hanya terbatas pada “komunitas sastra” tetapi juga “komunitas suku” atau “komunitas pemikiran”?
Akhirul kalam, semoga kemunculan nama-nama di dalam buku “tutup tahun” DKJ ini dapat menjadi pem(a)icu mereka untuk terus berkarya dalam dunia kesusastraan nasional, memberi “rasa” dan “nuansa” pada negeri ini. Ini kemestian, demi menjaga “Si Murai dan Orang Gila” tidak sekedar menjadi penambah memorabilia dalam jejak langkah mereka. Karena sesungguhnya kesetiaan mereka atas kekayaan bathin yang dimiliki, dan kemudian merangkaikannya dalam kata-kata tulisan, turut memberi warna dalam kekayaan dunia budaya kita. Dan di sisi lain, jejak mereka dalam jalan setapak menuju puncak mestinya juga menjadi jalur aman yang dilalui “para pendaki” lain, meski jalur-jalur yang belum terbuka begitu memberi mereka peluang untuk terus melangkah sampai di tujuan.
Tabe!
* Chairil Gibran Ramadhan, mantan wartawan, kini sastrawan, eseis, dan editor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan