Minggu, 27 Februari 2011

Nyanyian Piso Surit

Oleh : Hujan Tarigan

 (Pro Mba Nurul dan untuk perempuanku yang selalu menyanyi untukku…)
Beginilah akhirnya; aku berdiam diri, duduk menghadap laut yang telah memisahkan aku, 1.402 kilometer dari kampung halamanku, tersesat, terdampar di tanah orang, kesepian dikeheningan riuh kenderaan berseliweran, merayap dalam kehampaan ruang yang bertabur pendaran cahaya lampu aneka warna. Duduk, sendiri, mendengar keteng-keteng dan irama perkolong-kolong di kepalaku, sambil mengingat sebuah tempat mengingat suatu waktu…
 ***
 “Kau masih mau ke sana?” kata Teger. Aku masih diam, sambil terus menarik dalam tembakau Siantar. “Kuharap kau bisa berpikir sehat, Jan,”lanjut dia. Aku masih diam, terus memandangi poster Metallica yang terpajang di dinding kamarnya. “Kalau kau tak mau meminjamkan aku uang, tak apa. Tak jadi masalah. Tapi jangan sekali-kali kau mencoba merusak caraku memandang hidup,” kataku sengit sambil beranjak dari dudukku dan melempar pandang padanya.


“Jangan kau begitu. Tak ada maksudku untuk memberikanmu kuliah. Itu hidupmu, itu pilihanmu, hanya saja, aku memberikanmu soal gambaran lain,”
“Gambaran soal apa? Perjodohan ini? adat istiadat yang usang ini?” kataku ketus sambil berpindah posisi menghadap ke pintu. “Terserah, kau mau berkata apa soal adat. Aku tak mau lagi berdebat. Tapi coba kau ingat, coba kau pikirkan, soal masa depan keberlangsungan hidupmu,”
“Ah…. Kau tau apa? Yang menjalani hidupku itu, ya aku. Kau cuma tahu soal kulitnya, tapi tak pernah paham soal intinya,”kataku bosan. Teger diam. Aku membuka pintu kamarnya dan berlalu, melaju bersama waktu.

 Deru ombak masih mengantarkanku pada setiap penggalan-penggalan kisah dan cerita haru biru.
Sebiru air laut yang perlahan mulai gelap dan senyap. gelap. Nada panggil itu terus mengiang di telingaku. Sudah delapan kali, putus, dan kusambung dengan kembali menekan angka yang sama; Dinda. Dimana Dinda? “Halo, sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan,”kata Dinda menyambut telponku.
 “Iya, tak ada lagi yang perlu dbicarakan. Aku cuma mau melanjutkan,”sambungku. “Melanjutkan? Soal apa? Soal rencana orang-orang kampung itu? Orang-orang yang sudah demikian berkuasa pada hidupmu, sehingga aku tak bisa menerjemahkan kebodohanmu atau kepura-puraanmu? Aku capek, Hujan. Aku capek,” ujar Dinda. “Tolong, jangan matikan teleponnya, please,” kataku menghiba.
“Tidak, sudah tak ada lagi yang perlu diluruskan, tak perlu kita lanjutkan,”
“Maaf..”
 “Mudah sekali bagimu mengatakan maaf. Seolah kau bisa menghapus sakitku dengan maafmu. Andai 1001 kali pun kau meminta maaf dariku, tidak. Tidak mungkin, Hujan. Tak akan kulupakan sakit ini,” kata dia langsung menutup telepon. Tut…tut…tut… Angin laut merambat masuk, menyusup pori-pori kulitku yang kian layu. Aku memejamkan mata, musik di kepalaku semakin jelas kedengaran. Semakin jelas pula tari-tarian sepasang pemuda-pemudi menari di ujung mataku.

“Bagaimana? Dia mau memberikanmu maaf?” tanya Teger menghampiriku. Aku melengos.
“Tidak. Bahkan bila aku terus meminta maaf, hingga 1001 kali pun, dia tak juga mau memaafkanku,”
“Dia bilang begitu?” “Iya”
 “Gila, sadis dia!” ujar Teger geram.
 “Tidak. Dia sudah benar,” kataku. “Aku memang pengecut,”
“Ah, perempuan. Sudahlah, sekarang tak ada lagi alasanmu untuk menolak rencana itu. sikap dia sudah menjelaskan, bahwa dia melepasmu, meski tak rela. Memang harus ada yang terkorbankan untuk kasus seperti ini,” ujar Teger sambil menjangkau bahuku. “Tak berperasaan,” gumam dia.
“Dan kau, dan semua sistem yang berlaku di adat ini, apa semuanya berperasaan? Apa memerhitungkan perasaanku?” kataku. Kulepaskan sandaran tangannya. “Bukan, Hujan. Bukan begitu artinya,”
 “Lantas, bagaimana? Aku sudah terlalu muak menghadapi sistem yang dibuat oleh orang-orang tak sekolah. Yang tak memelajari perasaan secara ilmiah. Taik kucing,” dampratku.

Angin laut semakin santer menusuk sumsum tulangku. Ketika Libertine membuka pintu. “Hujan, engkau belum tidur?” tanya dia sambil membungkus tubuhnya yang setengah telanjang dengan selimut tebal. Serenjak aku tersentak. Keteng-keteng masih bertalu di kepalaku.

“Kau belum tidur?”tanyaku membalas. Libertine mendekat dan duduk di pangkuanku.
 “Kenapa? Kau belum lelah mendengar musik itu?”tanya dia sambil mengelus rambutku.
“Iya, semakin kencang, dan menggodaku,” kataku sambil membuang senyum padanya.
“Tidurlah, nanti kau hanyut dibawa angin laut,” kata dia sambil bangkit, mencium bibirku lantas beranjak dan menghilang di balik pintu. Aku bukan mahluk pendosa yang lupa pada asalnya.
Aku bukan penghianat yang memainkan cinta seorang Dinda sesukaku saja. Aku tulus mencintai dia, merawat dia. Meski dia tetap menolak maaf dariku.

“Bagaimana? Kau tetap mau pergi?” tanya Teger menghampiri sambil membawakanku segelas air putih. Aku mengangguk pelan. “Aku tak bisa memaksakan perasaanku. Aku tak bisa hidup di balik semua keindahan yang palsu ini,”kataku. Dia diam. Dan menyodorkanku sebungkus rokok. Aku menerimanya.
 “Dengar kawan. Nenek moyang kita tak pernah membuat peraturan yang tak baik. Kau percayakan?”tanya dia. Aku membakar sebatang rokok, menghisapnya lantas menghembuskan susahku bersama asapnya. “Pernahkah kau berpikir sejenak, membuka sebuah kamar baru di kepalamu, hanya untuk merenungkan sisi postif yang tak pernah kau lihat dari balik semua rencana pertunanganmu dengan impal mu itu. Cobalah,” kata dia. Aku terus menghisap rokokku. “Kau yang bilang, kalau pusaka ini, semua peraturan dan kearifan nenek moyang kita harus terawat. Dan sekarang, ketika kesempatan itu datang, kau malah berpikir untuk mengingkarinya. Dan kau terus mengemis maaf dari perempuanmu, si Dinda yang tak berperasaan itu.” Lanjut dia.
“Apa maksudmu? Tahu apa kau soal perasaan perempuanku?”
“Maaf kawan, aku kasar. Tapi itu harus kukatakan. Dinda, perempuanmu itu, adalah perempuan paling sadis yang pernah dititipkan Debata di dunia ini,”
“Atas dasar apa kau sebut dia sadis? Atas dasar apa, kau menuduhku sebagai orang yang enggan berkorban?” “Pertama, dia tak pernah mau mengerti perasaanmu, kedua dia tak pernah mau mengerti perasaanmu dan ketiga, dia tak pernah mau mengerti perasaanmu,”
“Bah. Apa pula itu?” “Dan kau selalu mengagungkan dia, di sebuah tempat tersaklral, yang seorang dewa pun tak bisa menginjakkan kakinya di tempat itu. Laki-laki macam apa kau?”
“Teger, aku peringatkan kau!”
“Kenapa? Kau tak suka kata-kataku?” tanya dia. Aku terdiam. “Lagi pula apa yang salah dengan Eva? Kau sudah mengenalnya sejak kecil. Dia bukan siapa-siapa. Dia anak mama mu. Dia bisa mengerti kau. Lebih dari sistem adat yang selalu kau tentang itu.” “Apa jaminannya? “Kau selalu menanyakan jaminan padaku,” kilah Teger.
“Tentu. Kalau dia mengerti perasaanku, seharusnya, dia pun menolak rencana perjodohan ini. Tapi mengapa dia mau saja. Dasar perempuan gunung,” kataku.
 “Sudah terlalu lama kau tersilap dengan doktrinasi profesor-profesor botak yang mengajarkanmu soal ilmu yang menentang tata krama. Sehingga kau tak bisa melihat apa yang tersirat. Hujan dengar, setinggi dan setegak apapun ilmu yang kau pelajari di sekolahmu, juga tak pernah menjamin hidupmu di masa depan,”kata Teger.
“Aku puas dengan pilihanku. Dan aku siap dengan konsekuensinya,”
“Silakan. Itu hidupmu. Tapi bagaimana Eva? Dia pun tentu punya pilihan. Dan kau harus menghormati pilihannya,”
 “Biar dia memilih lelaki lain. Itu bukan urusanku.”
“Kau tak bisa begitu. Dia sudah memilih keputusan yang diberikan orang tuanya,”
 “Kalu begitu baguslah. Biar dia menangis sampai tua dan mati karena menderita. Aku tak mau menikah dengan dia. Aku tak punya cinta untuk dia. Titik,”
 “Sadis,”
 “Tersrerah kau mau bilang apa”
“Lucu,”
 “Apa? Kau bilang apa?”
 “Kau orang lucu diantara orang sadis yang pernah ku temui di setiap sudut dunia yang pernah kusinggahi,”kata dia sambil menahan tawanya. Sial, bagaimana mungkin aku ini lucu? Aku ini serius. Bukan badut yang selalu melucu. “Pertama, kau menolak rencana yang sudah diputuskan adat kita. Kedua, si Dinda, perempuan yang sudah kau sakiti hatinya, sudah memaki-makimu, bahkan di dalam tidurnya pun aku kira, dia memakimu. Kalau itu bukan lucu, lantas apa namanya?” Aku berdiri, menghirup nafas kebebsan dan mengintip ke dalam kamar.

 Libertine sudah kembali terlelap di dalam tidurnya. Wajah yang lembut. Pasrah. Wajah yang menerima apa adanya, bahwa tidur adalah sebuah keharusan dan bukan kebutuhan. Aku tak bisa memutuskan untuk tidur dan bergabung dalam mimpi Libertine. Sebab tidur bagiku adalah sebuah barang mewah dan mimpi adalah sensasi yang menyuguhkan tarian striptis yang paling binal. Dan keduanya mahal bagiku. Satu-satunya yang murah dan gratis adalah mendengarkan keteng-keteng di kepalaku.

“Ini, tabunganku selama setahun berlayar. Dan ini, jam tangan dari seorang tamu dari Saudi, jual saja,” kata Teger. “Apa maksudmu?”
“Kau tak bisa kucegah. Selamat menentukan hidupmu,” kata dia sambil menyerahkan sekantung rupiah bergepok-gepok. “Bagaimana aku membayarnya?”
“Terserah, bagaimana caramu. Kau selalu punya cara untuk memandang hidup dan kampung kita,”
 “Teger,”
 “Satu pesanku, kau tak bisa memerbaiki keadaan yang sudah hancur berantakan, kau hanya bisa memulai dari awal lagi. Jangan sia-siakan bantuanku ini untuk membeli mimpi yang tak mungkin kau beli,”
 “Kuingat itu,”kataku sambil menerima pemberian Teger.
“Ingatlah, bahwa suatu waktu, kau pernah menghadapi sebuah masalah berat yang kau sendiri yang membuat. Mungkin seiring waktu, kami di sini bisa melupakan kesalahanmu. Tapi, aku tak bisa memberi jaminan. Kau sendirilah yang menjamin itu semua,”kata dia, sambil berlalu, mengabur bersama laju waktu.

Angin laut terus menggigit tulangku yang kian senja dimakan usia. Sementara debur ombak perlahan redam bersama rindu dendam yang kubawa pergi kejam.
 “Halo, Dinda. Maafkan aku”kataku.
“Sudahlah, lupakan maafmu itu,” jawab suara di seberang telepon. “Besok aku menikah. Cukup sudah kau membuatku luka. Aku tak ingin mendengar suaramu yang merengek-rengek minta maaf dariku. Ini yang ke 1001 kalinya. Dan kuanggap cukuplah. Aku mau memulai lembaran baru dengan suamiku,” Aku henyak sesak. Bulir air mengalir dari mataku yang rabu melihat masa lalu.
“Dan maaf itu?”
 “Kenapa? Maafmu tak bisa merubah keputusanku dan kesepakatan keluargaku,”kata dia. Aku tak lagi bisa membendung kesal dan sesalku. Maka ku tumpahkan saja, seperti langit yang menumpahkan triliunan tetes air ke atas bumi. Membanjiri setiap pori-pori tanah, sehingga bumi menjadi gunungan endapan lumpur. Dimana kanak-kanak dan orang dewasa merayakan dengan menari di atasnya.
 “Sebelum aku menghilang, aku hanya mau mendengar kata maaf darimu, sekali saja,” bujukku remuk redam. “Perlukah bagimu untukku menjawabnya sebanyak 1001 kali?” tanya dia. Aku terdiam. Tak lagi menemukan kata-kata sakti yang bisa melumerkannya seperti es krim yang ditimpa suhu lembab.
“Kau masih sakit?”lanjutku dengan terbata-bata. “Cukup!”dia setengah berteriak. “Aku masih sakit. Rasanya masih sama seperti ketika aku memutuskan untuk…”kata-kataku terpotong sedu sedannya.
 “Berhenti, Hujan. Berhenti. Aku sudah puas dengan keputusanku. Ini hidupku,”
 “Itu hidupmu, bagaimana dengan hidupku?”timpalku. “Seharusnya kau tanyakan itu pada keluargamu sebelum kau memaksa aku untuk menentukan hidupku,”
“Aku menyesal, aku…” “Sudah 1001 kali pula itu kau katakan…,”kata dia menutup telpon dariku. Tut… tut… tut…. Itu telepon terakhir. Dan sejak itu aku tak mendengar suaranya lagi. Tak mendengar kesalnya yang menolak maaf dariku. Dan aku, tak pernah sekali pun mendengarkan dia mengabulkan maaf untukku. Itu telepon terakhir dariku. Sejak itu pula, aku tak lagi menghubunginya, walau hanya untuk bersapa.
 ***
Seperti dalam cerita beginilah akhirnya; aku berdiam diri, duduk menghadap laut yang telah memisahkan aku, 1.402 kilometer dari kampung halamanku, tersesat, terdampar di tanah orang, kesepian dikeheningan riuh kenderaan berseliweran, merayap dalam kehampaan ruang yang bertabur pendaran cahaya lampu aneka warna. Duduk, sendiri, mendengar keteng-keteng dan irama perkolong-kolong di kepalaku, sambil mengingat sebuah tempat; tanah airku.


Palmerah, 18 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.