Minggu, 27 Februari 2011

Rambung Merah

Oleh: Hujan Tarigan
 
(Untuk Ha Dee, Jose Gustavo, dan Iwan Komindo serta adik-adikku di UKM Satria)


 KAWAN, apa yang ada di kepalamu, kalau kusebutkan Rambung Merah, sebuah tanaman yang tumbuh di hutan di belakang kampung kami? Tentu kau akan menerjemahkan rambung merah itu sebagai tanaman rambung yang tak biasa. Bisa jadi yang kau bayangkan adalah pohon rambung yang benar-benar merah, berakar merah, berbatang merah, berdaun merah…
Bisa jadi kau akan membayangkan bahwa pohon itu bergetah merah. Atau bisa jadi yang lain yang aku tak pernah menyangka sebelumnya.
Begitulah, aku pun pernah tersesat dalam bayangan-bayangan dan sekelumit rekaan mengenai rambung merah, sebuah pohon besar yang sejak lima tahun lalu kembali ramai dikunjungi pejiarah.
Sialnya kawan, setelah lima tahun kesadaran berjiarah itu datang aku merasa tertipu oleh bayangan-bayanganku sendiri yang setelah sekian lama mencoba mengerti mengenai rambung merah. Rambung merah itu bukan pohon rambung ternyata! Dan itu membuatku bingung.

Bingung karena hampir sepanjang pengetahuanku mengenai cerita tentang tanaman itu, rambung merah adalah sebuah pohon rambung yang bisa jadi berwarna merah atau bergetah merah. Dan sialnya lagi, sialnya lagi ternyata sebagian orang-orang di kampung kami tahu kalau rambung merah bukan pohon rambung yang merah atau bergetah merah atau semacamnya.

Dan aku termasuk ke dalam kelompok sebagian yang tak memahami kalau rambung merah itu adalah sejenis pohon tualang biasa, yang tak merah apalagi bergetah merah. Jadi… aku ditipu entah oleh cerita, entah oleh hayalanku saja.

 Jadi apa pendapatmu setelah tahu kalau rambung merah adalah pohon tualang yang tidak berwarna merah apalagi bergetah merah?

Ya, itu jugalah yang kurasakan. Aku merasa segala cerita yang pernah kudengar dan kutahu mengenai rambung merah menjadi hambar dan tawar. Biasa saja. Tak ada apa-apa yang menarik untuk dikisahkan dan dibicarakan. Atau bisa juga dengan mengungkapkan sebuah kalimat untuk memaki diri sendiri atau orang lain yang tergabung di dalam kelompok yang sebagian tak tahu apa-apa mengenai fakta “kasihan kau”, “malangnya kau”, “bodohnya kau, karena menghabiskan waktu memikirkan rambung merah yang ternyata adalah pohon tualang,” bla..”, “bla..” dan “bla…”

 Tapi adalah benar bahwa rambung merah yang ternyata adalah pohon tualang itu mempunyai cerita yang ternyata tanpa kusadarai telah membuatku untuk memikirkan si rambung merah, paling tidak sebelum lima tahun lalu hingga hari ini.

 Coba kau simak penuturan Wak Leman yang mengaku penderes tertua yang pernah ada di kampung kami itu.

 “Jadi itulah yang menyebabkan rambung merah yang kita kenal sekarang menjadi satu-satunya tempat yang disakralkan orang-orang,” ujar dia sambil menyibak celannya yang penuh noktah getah.
 “Hmm, jadi begitu ya Wak?” tanyaku mengulang kisahnya. Dia mengangguk. Mulutnya komat kamit. Sementara tangannya asik mengurut-urut sebatang kretek yang urung juga disulut.
 “Tapi kan sebagian orang tahu kalau itu bukan pohon rambung, tetapi mengapa tetap ada cerita mengenai rambung merah yang keramat?” tanyaku sejurus kemudian.
 “Itulah ketidakpahaman orang yang mengaku paham kalau rambung merah bukanlah pohon rambung,” terang dia. Sampai di situ aku masih terus bertanya-tanya. Kira-kira apa yang akan dikatakan orang tua ini selanjutnya.
“Aku tahu siapa yang menyebarkan cerita itu. Semoga dia membusuk di tungku neraka!” kutuknya. Aku terpana.
 “Kau kenal Haji Zakaria?” kemudian dia bertanya.
 “Masya Allah! Kenapa Wak Leman sanggup mengutuknya? Dia kan orang baik?” tanyaku. Dia menggeram.
“Bukankah Haji Zakaria yang menyadarkan orang kampung mengenai dosa yang telah dipraktekkan orang kampung kita?” tanyaku lebih lanjut.
 “Itulah, karena kau bukan penderes lama di kampung ini, maka kau hanya mendengar sepotong-sepotong informasi,” desaknya sambil menyulut api pada rokoknya, sesaat asap mengumpul dan mengepul. Aku terbuai oleh ceritanya.

“Kalau kau sudi mendengar kebenaran mengenai perihal alasan Haji Zakaria yang menentang orang-orang datang dan membawa sesaji di bawah pohon rambung merah…”
Dia memutus kata-katanya. Aku penasaran dengan keabsahan cerita yang disampaikannya yang berarti fakta baru bagiku mengenai rambung merah yang ternyata bukan pohon rambung itu.
“Teruskan, Wak,” desakku sambil terus menghalau serbuan nyamuk yang sengit menghantam tubuhku.
 “Penipu itu bersyiar dan bersyair dengan menjual ayat Tuhan, demi Tuhan manapun, ini kukatakan!” katanya dengan emosi melegak-legak. Aku tak lagi membantah.
“Suatu hari dia datang kepada orang-orang kampung yang datang ke rambung merah untuk meletakkan sesaji,”
 “Subhanallah,”
“Lantas dia bilang, mintalah kepada Tuhan, getah-getah keluar hanya atas perintah-Nya,”
“Betul itu Wak, terus dimananya yang salah,” potongku. Dia berhenti sejenak, dan meletakkan kebencian yang jelas atas selaanku.
“Kau mau kulanjutkan tidak?”
“Ya tentu aku mau. Maafkan Wak, tapi kutimbang-timbang benar kata Haji Zakaria itu,”
“Iya, dia memang benar,” katanya kemudian. Aku sedikit lega.
 “Tapi ada alasan dia yang tidak dapat dibenarkan,” lanjutnya dan aku kembali bertanya-tanya. Dari tadi Wak Leman ini memang belum mengungkapkan alasan pasti Haji Zakaria yang melarang praktek kemusryikan di kampung kami pada suatu waktu.
“Rambung merah yang kau tahu itu, sebenarnya punya kepastian mengenai masa depan,”
“Masa Wak? Apa maksudnya?”
Dia mengangguk.
“Kau tahu, di pucuk rambung merah itu bertahta seonggok sarang lebah yang luar biasa banyak dan manisnya,” ujarnya. Aku tercengang menemukan hal baru dari mulut lelaki yang mengaku penderes tertua di kampung kami itu.
“Terus?”
“Haji Zakaria bersyiar agar penduduk tak lagi datang ke tempat itu untuk meminta apapun. Tapi, dia sendiri datang ke tempat itu dan mengolah madu rambung merah untuk diri sendiri hingga dia berhaji berkali-kali,”
“Astaghfirullah! Masa Wak?”
“Itulah, maka aku mengutuk haji brengsek itu! Dan agaknya sekarang penduduk yang sadar dengan tipuan Zakaria tentu juga mengutuknya,”

Kawan, dahulu, seperti yang pernah kudengar dari orang-orang tua di kampung, beberapa tahun rambung merah sempat tak lagi dikunjungi para pejiarah. Barangkali penduduk sudah tersadarkan atau terislamkan dengan baik dan benar. Namun setelah Haji Zakaria wafat, kebiasaan meminta dari rambung merah kembali. Penduduk kembali berbondong-bondong mendatangi rambung merah. Memberikan sesaji dan meminta berkah.

Tak masuk di akalku, dan tentunya tak masuk juga di akalmu mengenai Haji Zakaria yang oleh sebagian orang dikenal sebagai penyihir dan ahli tipu muslihat. Wallahualam bishawab, tapi aku memang pernah menyaksikan dengan kepalaku sendiri bagaimana dia menjual murah ayat-ayat Tuhan pada sebuah ceramah di langgar beberapa tahun sebelum kematiannya.

Ketika itu dia lagi-lagi berpesan kepada jamaah agar hidup berdampingan dan selalu berbagi. Tak ada yang salah dengan ceramahnya tapi ada yang salah pada prakteknya. Cukup lama aku menjadi buruh tani di ladang karetnya. Soal pembagian yang dia katakan kepada jamaah, sama sekali tak kurasakan. Atau usahanya yang curang dalam mencampur getah dengan air batre untuk menambah berat timbangan. Aku bersaksi untuk itu.

Lantas, mengapa setelah kematian Haji Zakaria, rambung merah kembali didatangi pejiarah dan setelah kedatangan orang-orang dari kota, pohon rambung merah sekonyong-konyong kehilangan kesakralannya? Sehingga cerita mengenai identitas rambung merah yang ternyata pohon tualang bisa menyebar di kalangan penduduk dengan gampang dan diterima secara a la kadarnya?

“Jadi kau tetap mau tahu mengapa pohon tualang itu dipaksakan terkenal dengan sebutan rambung merah?”
“Benar Wak, tolong jelaskan padaku, biar aku lega,” kataku kepada Wak Leman. Dia berhenti sejenak.
“Waktu aku sebelia engkau, aku dan kawananku selalu menggelar rapat di bawah pohon tualang itu. Kami menginap dan menghabiskan sesaji yang dihidangkan penduduk di sana. Sayang kawananku tak bisa keluar dari penyergapan malam itu,”
“Wak Leman cerita apa?
“Enam belas orang rekanku tewas dibantai di situ. Mereka tak tahu apapun mengenai alasan kematian mereka. Tiba-tiba saja mereka harus mati, digiring dan hujani tembakan, aku luput dan memanjat pohon itu hingga ke pucuknya. Aku tak ikut mati. Karena aku mau tahu apa alasan maut mendatangi kami,” runut Wak Leman. Sementara daun-daun karet kering terus berjatuhan dari pohon rambung yang menandakan musim trek sudah dimulai.

“Setelah malam itu, aku turun dan menemukan undukan tanah tempat kawan-kawanku dikuburkan. Dengan luka menganga di paha, aku pergi masuk kampung dan bertemu Zakaria. Aku kisahkan kepadanya mengenai peristiwa itu. Aku ceritakan pula bahwa di pucuk pohon itu bertahta sarang madu,”
“Dan…?”
“Dan Zakaria berkata, itulah akibat kalian terlalu mengkultuskan pohon yang bertuan Tuhan itu. Apa yang kalian sadap di sana? Merah atau darah? Di masa depan, takkan ada lagi orang yang akan datang ke pohon tualang. Begitu dia sesumbar,”
“Aku mengerti. Pendek kata, Haji Zakaria mengubah tualang menjadi rambung merah, karena dia marah oleh kebiasaan penduduk. Lalu mengapa wak Leman dan kawan-kawan dihujani tembakan?”
“Karena kami PKI. Karena itu kami harus mati,” bisiknya.
Aku terhenyak. Seketika hutan jadi sepi dari nyanyi burung-burung.
“Bagaimana caranya agar ceritaku ini bisa dipahami penduduk kampung?” ujar dia bangkit.

Kawan, sekarang apa yang ada di kepalamu, kalau kusebutkan Rambung Merah, sebuah tanaman yang tumbuh di hutan di belakang kampung kami yang ternyata adalah pohon tualang?
Iya, sama. Aku pun merasakannya. Betapa gelap dunia oleh selubung rahasia yang sengaja dikisahkan untuk kepentingan sekelompok orang. Betapa tak adil cerita atas nasib orang-orang sepeti Wak Leman, dan tak bijaksana atas penghakiman yang akan diberikan kepada Haji Zakaria.

Wak Leman sudah mati dua tahun lalu. Dia mati setelah ceritanya didengar penduduk dan untuk membuktikan kisahnya, penduduk kemudian membongkar kuburan yang dimaksud Wak Leman. Enambelas kerangka manusia ditemukan dari sana. Tapi sekali lagi kukatakan padamu, cerita tinggal cerita yang tak dapat berbuat apa-apa namun bisa mendatangkan apa-apa.

Mungkin sekarang Wak Leman dan Haji Zakaria sudah duduk berdampingan di tempat yang berbeda di sisi Tuhan, sambil menunggu hari dibangkitkan dan melanjutkan perdebatan mereka di Persidangan Terakhir. Atau bisa saja mereka islah dan menerima apa adanya sebagai suatu kewajaran dan keharusan dialektika.
Mungkin keduanya akan tersenyum dengan manis pada akhirnya nanti ketika melangkahkan kaki ke surga. Mungkin juga keduanya membusuk di neraka. Semuanya mungkin. Seperti segala kemungkinan pikiranmu mengenai rambung merah yang ternyata pohon tualang.


Padang Tualang, 8 Pebruari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.