Sebuah resensi dan ulasan dari buku yang dikarang Mangaradja Onggang Parlindungan. Telah dimuat di Rakyat Merdeka
Penulis : Mangaradja Onggang Parlindunga
Penerbit : LkiS
Tebal : iv + 692 hal
Setelah sempat terkubur lama, terbiaskan oleh kesimpangsiuran yang terjadi di dalam tradisi oral di Indonesia, maka perlahan kisah Tuanku Rao mulai kembali meruak bangkit dari kelamnya sejarah. Adalah Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP) yang mulai menuliskan sejarah petualangan laskar paderi itu di tanah Batak.
Kisah ini mulai terkuak pasca-pemberontakan PKI di tahun 1928. Setelah Belanda mengobrak abrik Klenteng Sam Po Kong dengan dalih pencarian fakta kebenaran sejarah Raden Fatah (Sultan Demak). Dari sana Residen Poortman berhasil menjarah salinan kitab-kitab tua yang berisikan sejarah tentang nusa antara. Salah satu salinan tersebut mengisahkan kehebatan pertempuran paderi antar tahun 1816-1833.
Tahun 1964 keluarlah buku yang menggemparkan sejarah di tanah Batak dan Sumatera Barat. Menjadi gempar karena dibalik sejarah penyebaran islam terselip fakta yang menyatakan bahwa masuknya islam di tanah Batak lewat jalan kekerasan.
Berdasarkan beberapa catatan yang dikulik dari Willem Iskandar, Guru Batak, Sutan Martua Radja dan Residen Poortman (controleur Belanda yang terakhir di Sipirok, 1905), MOP bermaksud menghadiahkan riwayat keluarganya dari garis keturunan Tuanku Lelo (Idris Nasution) kepada “Sonny Boy”.
Namun ketika buku tersebut beredar, muncullah polemik dari kalangan sejarawan, terutama Haji Abdul Karim Amrullah (Hamka). Dengan mengeluarkan sebuah buku berjudul “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao” yang terbit pada tahun 1970, Hamka mencoba menggiring pandangan orang mengenai ‘dongeng MOP’.
Kepada “Sonny Boy”, MOP berkisah, peristiwa pembersihan paganisme di tanah Batak dimulai dari gerakan Aliran Mazhab Hambali di Kamang, Agam, Minangkabau. Kala itu, pentolan aliran dibawah pimpinan Tuanku Nan Renceh menyingkirkan kaum-kaum adat yang masih menganut Tantra Shaivite Mahayana dari agama Buddha
Dalam bukunya “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak” yang pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Tanjung Pengharapan, MOP mengatakan, delapan harimau (Harimau Nan Salapan) telah berhasil merubah tatanan masyarakat adat di Minangkabau.
Akhirnya dengan ‘bantuan’ beberapa pemuda pribumi seperti Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Hamonangan Harahap (Tuanku Tambusai), Mansur Marpaung (Tuanku Asahan), Jatenggar Siregar (Tuanku Ali Sakti), serta Idris Nasution (Tengku Lelo, sekaligus nenek moyang MOP), Tuanku Nan Renceh memutuskan pelebaran islamisasi ke tanah Batak.
Satu persatu pertahanan yang dibangun laskar Batak berhasil direbut tentara paderi. Sejumlah pembantaian (menurut MOP) dilakukan oleh laskar-laskar paderi yang datang dibawah pimpinan Peto Syarif (Imam Bonjol) dan Tuanku Nan Renceh. Dengan mudahnya, Tuanku Rao dan Tuanku Lelo -yang alumnus tentara kavaleri Turki ketika pertempuran dengan Napoleon berkecamuk- dapat merebut benteng dan mengusir laskar Batak di Sipirok, Tapanuli Selatan.
MOP menggambarkan kekejaman tentara paderi di tanah Batak. Pada 19 Ramadhan-4 Syawal 1233 H, pembersihan yang dilakukan Tuanku Rao dan Tuanku Lelo begitu hebat. Ribuan rumah dibakar, perempuan ditangkapi, dan the best ones mesti diantarkan untuk Big Boss: Tuanku Lelo. Penduduk lelaki dipancung karena mempertahankan perempuan mereka (hlm. 231).
Ditahun 1819, kerajaan Batak dibawah kepemimpinan Sorimangaraja X tak dapat menghindari laju islamisasi yang dilakukan Tuanku Rao Cs. Perangtanding pun terjadi antara Sorimangaraja X yang adalah paman Pongkinangolngolan sendiri. Namun dalam pertandingan itu yang menjadi algojo kematian Sorimangaraja X adalah Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti). Dengan terbunuhnya Sorimangaradja X tuntas sudah dendam sejarah klan Siregar terhadap klan Sorimangaraja yang sudah terjadi sejak pembantaian Raja Oloan Sorba Dibanua (kakek moyang Sinambela) terhadap marga Siregar.
Pemberontakan Tuanku Rao Hingga Peletakan Gelar Jatengger Siregar
Pongkinangolngolan bergelar Tuanku Rao adalah putra Batak asli. Menurut MOP, dia adalah putra hasil perkawinan sumbang antara Sori Singamangaradja IX dengan saudara perempuan Sorimangaraja X, Gana Sinambela.
Perkawinan sedarah dan semarga tersebut kemudian diketahui oleh pendeta agung di tanah Batak. Sehingga ketika itu bagi siapa pun yang melakukan incest harus dihukum dan hasil dari incest tersebut harus dibunuh. Sorimangaraja X kemudian terpaksa membunuh keponakannya Pongkinangolngolan dengan cara menenggelamkan di Danau Toba. Konon dari sanalah percikan dendam Tuanku Rao terhadap Ugamo Malim (Parmalim) terpantik.
Sepulang dari Mekkah, Tuanku Rao yang diislamkan dengan nama Umar Katab (Katab bila dibaca dari belakang: Batak) diutus Tuanku Nan Renceh untuk memimpin 11 ribu tentara infantri dan kavaleri ke Muarasipongi. Bersama Tuanku Lelo dan beberapa putra Batak lainnya yang telah islam, Tuanku Rao melakukan serangkaian pembersihan di Muarasipongi.
Pada tahun 1820, invasi paderi terhenti karena berjangkitnya kolera dan pes. Kematian yang disebabkan oleh penyakit itu membuat Tuanku Rao menarik pasukannya dari tanah Batak.
Dengan ditariknya pasukan, berarti menghentikan pengislaman di tanah Batak.
Bersama sekitar 30 ribu pasukannya yang tersisa, Tuanku Rao dipaksa bertahan di tanah Batak untuk menahan gempuran tentara Belanda. Perintah yang datang dari Tuanku Imam Bonjol -yang menggantikan posisi Tuanku Nan Renceh- tersebut membuat Tuanku Rao marah. Akhirnya Tuanku Rao membangkan perintah Tuanku Imam Bonjol serta memutuskan menyelamatkan sisa pasukannya kembali ke selatan.
Ternyata, bukan saja Tuanku Rao yang melakukan pembangkangan. Bersamanya, enam panglima paderi asal Batak, yakni Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Asahan, Tuanku Junjungan, Tuanku Mandailing serta Tuanku Ali Sakti ikut melakukan hal serupa.
MOP juga menulis, selama pembersihan paganisme di tanah Batak, Jatengger Siregar telah menahan diri dari rasa kesal yang sudah dilakukan tentara paderi terhadap rakyat Batak. Namun, demi dendam sejarah, dia melakukannya. Alhasil setelah Sorimangaraja X tewas dipenggalnya, Jatengger langsung melepaskan gelarnya. (hlm. 253)
Sebelum tewas dalam pertempuran Air Bangis (sekitar 5 September 1821, hlm 277), Tuanku Rao sempat berhubungan kembali dengan pasukan Bonjol untuk menahan gempuran dan serangan Belanda. Tak punya pilihan lain, Tuanku Rao yang terus terdesak ke selatan oleh gempuran Belanda terpaksa melawan untuk bertahan.
Perlawanan yang dilakukan Tuanku Rao sama seperti perlawanan yang dilakukan Peto Syarif atawa Imam Bonjol di Minangkabau. Dalam pertempuran di Bonjol, akhirnya pada tahun 1837 Peto Syarif berhasil ditangkap lewat sebuah perundingan yang digagas Belanda. Setelah 27 tahun kemudian, di Lotak, Minahasa, beliau wafat dalam pembuangan.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 Nopember 1973, Tuanku Imam Bonjol kemudian diberi gelar baru sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan. Namun agaknya, tidak demikian dengan Tuanku Rao.
Hingga kini gelar pahlawan tak kunjung dihadiahi untuk Tuanku Rao, salah seorang yang menghapus jaman kegelapan di tanah Batak yang ‘in splendid isolation’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan