Oleh Hujan Tarigan
Ulah Materazzi yang mencederai agama universal... |
Tidak ada permainan di atas bumi ini yang berevolusi demikian cepatnya, selain sepak bola. Agaknya ungkapan itu tak berlebihan bila disandangkan kepada satu-satunya olah raga yang mampu menghipnotis dan mempengaruhi peradaban di atas dunia.
Sejarah sepak bola modern diawali ketika perang antara Inggris dan Scotlandia berkecamuk. Dua “kampung” bersaudara itu terus bertempur meski pada 1305, legenda kemerdekaan Scot, William Wallace, telah dieksekusi mati kerajaan Inggris.
Suhu yang memanas di dua kubu itu tak begitu saja menghilangkan selera humor mereka. Masing-masing kelompok, Inggris dan Skotlandia kemudian saling mengolok lawannya dengan menendang-tendang potongan kepala serdadu musuh yang tewas. Kemudian potongan kepala itu diperebutkan secara brutal dan kasar yang boleh jadi bertujuan memanaskan kembali suasana peperangan.
Ditentang, Ditantang
Pada masa Edward III (1331) berkuasa, perang di Timur Inggris mulai mereda Edward III lebih tertarik meneruskan perang 100 tahun dengan tetangganya, Perancis. Bagi para serdadu yang ditarik mundur ke tanah air, kebiasaan mereka menendang kepala mayat musuh, dan memperebutkannya di tanah lapang, ikut dibawa pulang dan dikembangkan di antara gang-gang yang sempit. Olah raga yang ketika itu dipandang tak lebih hina dari para gladiator di arena, mulai mendapat sorotan. Pasalnya, kebiasaan serdadu pulang kandang itu mulai ditiru oleh warga yang boleh jadi tak mengerti maksud kegiatan dari memperebutkan potongan kepala manusia.
Kecaman bermunculan dari kelompok humanis dan keagamaan. Edward III kelimpungan menghadapi kritik dan desakan yang membanjir di halaman istananya. Di tengah polemik pro-kontra, akhirnya Edward III mengambil keputusan melarang “olah raga” itu berkembang. Tak main-main, Edward III malah menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan “fenomena perang” itu sampai ke pelosok desa. Padahal, ketika itu sebagian warga sudah mengganti “bola” dengan benda yang lebih mudah bergulir, dengan kadar kebundaran yang hampir sempurna mendekati bola yang kita pakai hari ini. Anyaman bambu dan buntalan kain serta kantung kemih babi sudah menjadi pengganti “bola” ketika itu.
Pada 1424, King James I, Raja Skotlandia, mengikuti kebijakan yang diberlakukan di negeri seterunya, Inggris. Bahkan dengan tegas, James I mengeluarkan undang-undang pelarangan kegiatan menendang bola. Kurang lebih, raja Skotlandia beralasan kebijakan pelarangannya berawal dari kian merosotnya persatuan rakyat Skotlandia akibat dari olah raga brutal itu. Di kampung Sir William Wallace itu, fenomena menendang bola menciptakan krisis integral. Bila di negeri imperialis Inggris, “sepak bola” mampu menjadi jembatan pemersatu rakyat arus bawah, namun ancaman kekuasaan bagi istana Edward III, tidak demikian dengan Skotlandia. Di negeri Highlander yang masih dipenuhi baron atawa tuan tanah itu, kebiasaan “menendang bola” justru mendatangkan persaingan. Praktek kekerasan kerap terjadi ketika memperebutkan bola yang sudah tak lagi berasal dari potongan kepala mayat manusia. Tak jarang juga antar baron mengadu kekuatannya dengan mempertandingkan kelompok buruh tani yang dimiliki demi sebuah gengsi. Maka, atas nama persatuan dan kesatuan, King James I mengeluarkan undang-undang pelarangan menendang bola.
Sampai di titik itu, kebiasaan menendang “bola” mampu menembus dinding decision maker. Mencuri perhatian publik, hingga menjadi “papan catur” politik.
Kekuatan baru bernama sepak bola tak lagi bisa dibendung istana. The Anatomy Of Abuses yang ditulis Philip Stubbes tahun 1583 merekam kekerasan yang terjadi dalam memperebutkan bola. “Ratusan orang mati dalam satu pertandingan ini,” lapor Stubbes dalam bukunya. Namun kengerian yang digambarkan Stubbes dihiraukan saja oleh penganut mazhab tendang bola. Olah raga itu terus bergulir ke seantero dunia. Merangsek ke pelosok desa dan mengepung kota.
Menendang bola pun menggejala. Bukan sekadar olah raga dan melepas keisengan, pada perkembangannya sepak bola menjadi komoditas bagi para politikus dan ekonom. Para politikus dan reformis di zaman medieval juga memperkenalkan sepak bola sebagai media pengembangan gagasan dan ide-ide pemberontakan. Mereka yakini, bahwa kekuatan politik yang digalang bersama, antara kelompok borjuis dan rakya jelata, mampu mengalahkan kekuasaan monarki yang absolut.
Tim, yang terdiri dari susunan pemain adalah tafsir dari instrumen politik yang harus dilakoni masing-masing kelas. Para reformis agung dan berasal dari kelompok borjuis kecil di zaman awal-awal aufklaarung, biasa menempatkan diri sebagai pemain sayap dan bertahan. Sementara sebagai tim pemukul dan penyerang adalah kelompok rakyat jelata. Sedangkan bola yang diperebutkan ditafsirkan sebagai cita-cita perjuangan penyatuan kedua kelas untuk menggusur kekuasaan absolut kerajaan.
Dengan demikian, sepak bola bukan saja olah raga untuk bersenang-senang, tetapi juga alat agitasi dan tafsir politik di jaman pertengahan. Saya jadi teringat pada pernyataan (kalau pun bisa dinyatakan sebagai pernyataan) presiden ketiga Indonesia yang seorang teknokrat. Habibie bingung dengan para pemain sepak bola. “Dua kelompok, 22 orang memperebutkan satu bola. Mengapa tidak dibagi saja kepada setiap orang yang bermain, masing-masing satu bola,” demikian kira-kira kata Habibie seingat saya.
Maka tumbuh suburlah, sepak bola. Seiring menuanya dunia yang ditandai terkikisnya kekuatan monarki, sepak bola semakin populer. Meski kenyataannya, hingga memasuki awal 1800 an permainan ini belum memiliki aturan yang saklek, namun sepak bola sudah berhasil masuk ke halaman universitas dan akademi di Inggris. Dan tumbuh subur di tempat itu.
Tahun 1815, Eton College, sebuah kampus ternama di Inggris mencoba membuat aturan permainan sepak bola. Aturan ini berkembang dan diterapkan di banyak perguruan tinggi, dimodifikasi hingga dikenal dengan nama Cambridge Rules tahun 1848.
Revolusi sepak bola kembali terjadi ketika pada tanggal 26 Oktober 1863, sebelas klub dan sekolah London mengirimkan perwakilannya untuk sebuah pertemuan di Freemanson’s Tavern untuk mengkukuhkan satu peraturan mendasar untuk aturan permainan yang akan mereka mainkan. Dari pertemuan ini kemudian lahir The Football Association. Kekuatan kelompok ini semakin konkret hingga membuat gerah penggemar rugby, sejenis olah raga yang disukai kaum borjuis atas dan popular di kalangan kaum pelajar Inggris.
Dua bulan hidup bersama, para ruger (sebutan bagi penganut mazhab rugby) memutuskan untuk berpisah dengan para soccer (sebutan penganut mazhab The Football Association. Kata soccer merujuk pada pendukung Association, yang kemudian melarang menggunakan tangan dalam sepak bola)
Enam tahun berikutnya, yakni di tahun 1869, The Football Association resmi memutuskan untuk tidak menggunakan tangan saat bermain sepak bola. Dan itu adalah awal aturan handsball dalam sepak bola. (Sekian) [hta]
MENCATAT BOLA DUNIA Dimuat di Rakyat Merdeka Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan