Senin, 28 Februari 2011

A m e l i a

Oleh :  Hujan Tarigan

(Untuk Sahabatku: Aldevina yang mengajarkanku tentang Indonesia)


Amelia
Ini soal cinta yang tak kesampaian. Karena sekat dan tembok tinggi dibangun oleh pelaku sekaligus korban…

Saiman, lelaki suku jawa, usia 25, besar di lingkungan santri dan kuat beragama. Abahnya, Kyai Mustafa adalah ulama yang cukup disegani, baik sebagai ulama, tokoh masyarakat maupun sebagai mantri sunat.

Mestinya, di usia perak itu, Saiman harus mengikuti jejak Rasulullah, menikah! Namun agaknya lelaki yang tak lulus perguruan tinggi ini belum juga menemukan tambatan hati. Dia paham betul, seluruh keluarga sudah mendesak untuk membuka lebar lembar baru hidupnya.

Sutini, Darmi, Sulastri, Ngatemi dan Surti telah disodorkan padanya. Namun Saiman bergeming. Dia tak bisa memilih satu diantara mereka.

“Sutini, terlalu kolot. Tak bisa diajak maju, seumur hidupnya hanya Quran dan hadis dia pahami. Aku tak bisa menghabiskan hari-hariku untuk terus membicarakan perintah Tuhan. Aku manusia. Aku butuh dosa,”

“Darmi?”

“Dia cantik. Anak pak lurah lagi. Kaya, kembang desa, dan banyak dipuja pemuda. Aku tak menyangkal, bila dia menjadi istriku, seluruh pemuda di desa kita akan gigit jari semua. Kalau semua pemuda gigit jari, puncaknya, mereka bisa kesal dan marah. Aku tak mau banyak musuh. Lagi pula, aku tak mau habiskan waktuku untuk mengawalnya dan ribut dengan semua lelaki yang memandang birahi padanya. Aku pencemburu. Abah mau, saya ribut dengan tetangga setiap hari?”

“Ah, mengada-ada. Kalau Sulastri, bagaimana?”

“Sulastri ya?” Saiman menarik nafas sejenak. “Sulastri itu manis. Santun dan berpandangan luas. Dia jebolan Filsafat UGM. Cerdas. Aku akui itu. Tapi… dia terlalu cerdas untukku. Aku tak bisa menerima pasangan yang lebih cerdas dariku. Aku calon kepala keluarga, mestinya, aku lebih tahu, dibanding istriku. meskipun soal sepele seujung kuku…”

“Sutini, Darmi, Sulastri… Kalau Ngatemi?”

“Ngatemi itu cantik. Rambutnya disemir merah. Giginya berkawat. Seperti artis ibukota. Tak jarang pula, sekali dua kali aku melihatnya mengenakan pakaian serba pendek. Berbaju pendek, rok pendek, celana pendek. Rambutnya pun pendek. Aku tak suka perempuan berambut pendek. Apalagi rambut merah, apalagi, gigi yang sudah bagus, dipakaikan kawat. Namanya Ngatemi, tetapi dipanggil Cindy… mohon ampun, saya tidak bisa Bah,”

“Yang santri sudah, yang seperti artis juga sudah. Tapi kamu tak mau juga. Soal si Cindy berpakaian serba pendek, itu tugasmu sebagai lelaki untuk menjadi imam baginya,”

“Aduh, tidak bisa Bah,”

    Kyai Mustafa menggelengkan kepala. Dia habis akal untuk membujuk Saiman agar mau melepas masa lajangnya dan ikut langkah Rasulullah, menikah di usia 25.

“Nah.. kalau Surti?”
“Surti?”
“Surti anak Pak Mulyo.  Yang tinggal di wetan itu…”
“Oh.. Surti yang itu. Wah. Saya mau Bah. Tapi dia kan sudah jadi calon istri si Tejo, Santri pondokan Abah,”
“Nanti Abah, bilang ke Tejo, biar kamu yang menikah dengan Surti,”

Saiman Diam. Surti memang, kurang lebih mendekati harapannya. Taat, namun tak membatasi dirinya terlalu ketat. Cerdas tapi memberi celah kepada orang lain untuk tetap terlihat cerdas. Modern, tapi tidak seperti Cindy. Pendek kata, Saiman suka. Tapi Surti tunangan Tejo. Dan Tejo adalah teman baiknya. Tidak, Saiman tak mau merusak mimpi indah sahabatnya.

“Ampun Bah. Tidak bisa,” jawab Saiman dengan wajah kuyu. Abah menatap anak lelaki satu-satunya itu.

Usia 25 lebih 40 hari, Saiman memutuskan hijrah ke ibukota. Dia hendak menguji mental dan iman di Jakarta serta kalau bisa, juga mencari perempuan yang cocok menjadi penjaga rumah di hatinya.

Dengan bermodalkan taqwa dan doa kedua orang tua, lelaki itu berangkat naik kereta, kemudian turun di stasiun Jatinegara.

Kota yang panas dengan manusianya yang beringas. Demikianlah pendapat awal Saiman, setelah tiga bulan bermukim di ibukota. Sampai saat itu, imannya belum goyah. Ketakwaannya tak jua luntur. Saiman sekarang bekerja di sebuah pabrik konveksi. Pergaulannya dengan buruh-buruh yang kebanyakan kaum urban merubah sudut pandangnya. Bahkan dalam soal mencari perempuan.

    Suatu ketika di bulan kelima dia menjadi warga ibukota, Saiman mulai uring-uringan. Rutinitasnya sebagai buruh konveksi mulai terganggu dengan kecurangan-kecurangan yang terjadi yang dilakukan pihak pabrik. Pelan tapi pasti, pemuda puritan itu berubah menjadi demonstran. Bicaranya berapi-api, dan selalu tentang keadilan. Quran dan Hadis menjadi patokan Saiman bicara tentang humanisme universal.

Jenuh. Lelaki itu mulai jenuh dengan aktivitasnya. Untuk menghilangkan kejenuhan itu, Saiman membeli kamera. Sebuah kamera saku yang dibeli dari hasil upahnya menjadi buruh. Saiman mulai suka memotret. Bahkan untuk hobi baru itu, Saiman kerap lupa pada perintah Tuhan untuk menegakkan lima waktu.

Saiman terus berburu, setiap moment. Setiap kejadian dia abadikan hanya untuk mengusir kejenuhan. Aksi di pabrik, demo di depan istana, pesta pernikahan rekan, Saiman muncul sebagai juru pengabadian.

“Aku jatuh cinta,” kata Saiman di sela-sela jam makan siang.
“Ha? Saiman bisa jatuh cinta juga?”
“Ya bisalah. Marx,  Guevarra dan Ali Sariati sampai Ghandi, bahkan Obama pun punya cinta. Terus apa yang salah?”
“Bukan.. bukan begitu,” ujar Togar, sambil menahan geli.
“Jadi siapa perempuan itu? Siapa perempuan yang bisa melelehkan hatimu yang keras bak batu?”

Saiman berdiri dari duduknya.
“Kau ingat, perempuan yang di museum tempo hari?”
“Perempuan yang mana?”
“Perempuan yang menari Bali,”
“Bah… si Rani? Kukira, kau tak suka dengan perempuan bergaya kebarat-baratan…”
“Bukan. Bukan di,”
“Jadi?”
“Temannya menari…”
“Amelia?” tanya Togar. Saiman mengangguk sambil tersenyum, bola matanya berbinar.
“Amelia?” ulang Togar. “Tapi dia Cina!”
“Terus kenapa?”
“Kau yang bilang, kalau calon istrimu itu mestilah ngendonesia,”
“Ah, kau tak mengerti,”
“Kau yang bilang. Aku cuma mereview apa yang pernah kau sampaikan,”
“Sudahlah,”
“Bagaimana sudah? Si Amelia itu berambut pendek. Disemir pula. Dan dandanannya, kurang lebih seperti si Rani. Memang sih dia tak senorak si Rani. Tapi coba kau pikir. Kelihatannya dia cukup cerdas. Melibihi engkau. Terus bagaimana kau sikapi hal itu?”
“Agak berat sih. Tapi semua bisa dikondisikan. Atas nama cinta, aku bisa menerima, meski hanya setengah…”
“Menerima setengah-setengah. Hahah… nampaknya kau mulai depresi. Baiknya kau cari hobi baru lagi,” ujar Togar sambil beranjak kembali menuju pabrik.

Menjelang usia 26, hujan desakan untuk segera melangsungkan perkawinan terus berdatangan dari kampung. Saiman bingung. Dia semakin tak merasa nyaman dan yakin. Sementara hobi barunya, yang selalu menguntit kemanapun Amelia pergi terus berlangsung.

    Ratusan roll film sudah ludes, hanya untuk Amelia. Saiman tak bisa menikah, kalau tidak dengan pujaan hatinya. Dan itu Amelia, dara keturunan Tionghoa yang berambut pendek dan disemir merah. Semakin dalam mata kamera Saiman menancap pada rutinitas Amelia, semakin yakin pemuda itu, bahwa dia hanya memilih perempuan yang wajahnya tidak lebih cantik dari Sutini, Darmi, Sulastri, Ngatemi ataupun Surti.

Jepret! Kamera Saiman terus menjerat keabadian. Amelia berada di kerumunan pedagang kaki lima. Amelia sedang naik andong di lapangan Monas. Amelia menyingkap roknya. Amelia memakai topi. Amelia bersepatu kets merah. Amelia menguapi kacamata. Amelia pakai tengtop, Amelia termenung di dekat patung Ibu Kartini. Amelia memesan es kelapa muda di pingggir jalan. Deretan rapi gigi Amelia. Amelia membatik. Amelia menari tari Bali dan Amelia menjadi peserta aksi demonstrasi. Foto-foto itu disimpan rapi di dalam sebuah album yang diberi judul “DOKUMEN CIA, (Calon Ibu Anaka-anak). 100 % Rahasia”.

Namun keberanian pemuda kampung itu dalam urusan menyampaikan perasaannya kepada Amelia sungguh tak sebanding dengan nyalinya ketika menghadap pemilik modal di pabriknya. Siapa yang tak kenal Saiman? Macan pabrik, dan orator ulung. Satpam pun hanya bisa mematung setiap kali Saiman dan kawan-kawan mengelar aksi. Siapa yang tak kenal Saiman? Lelaki sekarang tapi sarat dengan pemikiran usang?

“Ada samudera yang membelah pulauku dan pulaunya,” kata Saiman kepada Togar di tengah jam makan siang.
“Kau sadar itu. Tapi kenapa kau tak coba membuat perahu. Kau penasaran ‘kan dengan pulau itu? Buatlah perahu.”
“Perahu yang bagaimana?”
“Ya perahumu. Hanya kau yang tahu,”

Malam itu, Saiman kembali istikaroh, meminta petujuk dari Allah. Berjam-jam dia munajat, hingga datang waktu subuh. Namun petunjuk tak juga didapatnya. Lantas, dengan putus asa. Dia mulai menulis surat kepada Abah. Begini surat itu.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Semoga sepeninggal surat ananda ini, Abah dan Umi selalu berada dalam ridhlo Illahi Robbi.

Abah, bersama ini, ananda kabarkan. Bahwa di sini, ananda sudah menemukan perempuat yang cocok untuk dijadikan istri. Namun begitu, untuk memastikannya, ananda minta tolong kepada Abah, agar Abah dan Umi datang dan membicarakan keinginan ananda kepada kedua orang tuanya.

Demikianlah, surat ananda. Semoga niat baik ini bisa diterima keluarga,

Sembah sujud ananda

ttd
Saiman bin Mustafa bin Hasyim al Bana..

NB: bersama ini ananda sertakan beberapa foto calon menantu Abah”

    Di kampung,  Kyai Mustafa membolak-balik geram secarik kertas kiriman Saiman.
    “Ya Allah, dosa apa yang telah hamba perbuat. Setan apa yang tengah mengikuti dan merasuki putra hamba…” sesal Kyai Mustafa.

###

Duapuluhenam tahun sudah. Saiman terus memotret. Kali ini dia mengabadikan Amelia yang tengah menari bersama burung Jatayu di langit biru. Lengkap dengan pakaian astronot dengan syal batik melilit di lehernya.

Binjai, 12 Desember 2009
Dimuat di http://oase.kompas.com/read/2010/01/14/00443158/A.m.e.l.i.a, Kamis, 14 Januari 2010 | 00:44 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.