Senin, 28 Februari 2011

Malam Pembalasan

Oleh Hujan Tarigan

 
Pratiwi memang cantik. Tak ada yang bisa pungkiri itu. Dari seratus lelaki yang ada di sekitar pemukiman kami, keseratusnya pasti sepakat, bahwa tak ada gadis lain yang lebih cantik dari Pratiwi.

Mestinya kecantikan Pratiwi yang penuh kebanggan itu, dapat membawanya masuk ke dalam kehidupan yang tenteram dan damai. Namun, tidak demikian kenyataannya. Belakangan, kecantikan perempuan yang tak lulus SMA itu malah mendatangkan bencana. Khusunya pada Saiman, kakak sulungnya.

Sudah kukatakan tadi, bahwa Pratiwi itu cantik. Dia lembut, berperangai halus. Dan tubuhnya begitu mengundang selera serta birahi bagi lelaki yang masa evolusi kebinatangannya tak tuntas. Termasuk aku. Walaupun kenyataannya aku sudah punya anak dari perkawinanku dengan Salmah, aku masih suka mencuri pandang ke arahnya. Bahkan, sialnya Pratiwi pun kerap hadir saat istriku menjalankan tugasnya sebagai istri. Faktanya adalah, dari seratus lelaki yang sudah menjadi suami di sekitar wilayahku tinggal, tak bisa lagi berdusta, dan harus mengakui, bahwa mereka kerap mengundang bayangan Pratiwi hadir saat mereka bersenggama. Dan aku, salah satu dari mereka itu.

Bagi haji Rohim, keelokan Pratiwi tentu saja menjadi kebanggan tersendiri. Sebab dia memiliki sebuah kembang yang selalu diincar lelaki. Bukan saja, dari kalangan kelas atas, bahkan Supri, tuan takur dari kampung sebelah pun pernah melamar Pratiwi.
Untuk urusan lamaran itu, haji Rohim biasa mengembalikan persoalan kepada Pratiwi, puan si empunya badan.

Hujan lamaran berdatangan. Namun Pratiwi selalu mengelak dengan alasan yang tampaknya sengaja dibuat-buat.

Mestinya kecantikan Pratiwi mendatangkan kedamaian bagi keluarga haji Rohim. Namun, tampaknya tidak. Belakangan, sebuah persoalan muncul dari kampung sebelah dan merangsek masuk ke halaman kampung kami. Benarlah, bahwa kecantikan Pratiwi telah mendatangkan malapetaka. Dan Saiman, kakak sulungnya mesti membayar mahal untuk kecantikan adik bungsunya.

“Aku sudah tak sabar untuk menghabisinya!” ujar Kusnadi, jawara yang namanya kesohor di sepuluh desa. Sambil mengasah parangnya, lelaki itu tak henti-hentinya mengutuki haji Rohim dan anaknya Saiman. “bila malam ini, niatku tak juga diluluskannya, apa boleh buat, parang ini yang akan berbicara,”

Kemarahan Kusnadi sudah tak dapat dibendung lagi. Sudah dua kali kedatangan jagoan pasar itu ke rumah haji Rohim, tak mendatangkan hasil. Bahkan untuk kali kedua kedatangannya, Kusnadi sempat bersitegang dengan Saiman.

“Kalau bukan karena kau calon iparku, sudah kuremukkan tempurung kepalamu dengan balok,” ancam Kusnadi. Saiman yang ketika itu menghadang niat Kusnadi, cuma berdiri di depan pagar. Nafasnya sesak. Meski dia sadar Kusnadi bukan lawannya, tapi untuk marwah keluarga, Saiman siap melakukan apa saja. Termasuk kemungkinan yang paling buruk.

“Datanglah lagi ke mari. Kalau kau bernyali, jagoan kampung!”

Robert, anak Pak Edwar, adalah pengusaha tempe di kampung sebelah. Dibanding aku dia memang jauh lebih tampan. Robert lulusan teknik mesin di Osaka, Jepang. Kepadaku, lelaki yang belakangan suka nongkrong di warung milik haji Rohim itu mengaku, bahwa dia jatuh hati pada Pratiwi.

“Waspada, Bung. Karena Kusnadi, jawara sini juga berniat memperistri Pratiwi,” nasehatku.
“Tak mengapa. Harga itu memang pantas untuk kecantikannya,”
“Bukan cuma Kusnadi, tapi juga Saiman,” lanjutku.
“Saiman? Kenapa dia? Bukankah dia ramah dan membuka diri kepada siapa saja yang ingin berteman?”
“Ya, dia memang terbuka. Tapi untuk Pratiwi? Dengar kawan, Pratiwi itu adalah tiket emasnya,”
“Benarkah?”
Aku mengangguk. Lelaki itu tak bicara lagi. Seolah memahami, kemudian dia surut. Dipandanginya Pratiwi yang sedang mengaduk kopi. Kemudian dia menyerahkan uang kepadaku untuk kopi yang kami seruput.
“Tiba-tiba, aku punya rencana,” ujar dia beranjak dan menghilang di temaram senja.

***

Malam itu, Saiman pulang. Disandarkannya sepedanya di belakangan gedek. Sambil menyeka keringatnya, lelaki itu menghampiri Pratiwi adik semata wayangnya. Sang adik yang menyadari kehadiran Saiman, buru-buru beranjak dan membuatkan setengah gelas kopi kental.

“Aku sudah siap. Kuharap malam ini, jagoan kampung itu mampir dan minum di sini,” ujar Saiman.
“Hm, mau kau apakan dia?”tanyaku.
“Balas dendam,”
“Balas dendam? Dendam macam apa yang harus kau balas itu, kawan?”
“Pagi tadi, bapakku mendapat perlakuan yang kasar. Sepedanya dirusak. Bapakku ditendang. Aku pun dipukul. Bahkan mas Tarjo dan Pardi yang tengah asik mengopi, ikut kena getahnya. Kusnadi mengamuk kesetanan. Itu. Iihat saja,” kata Saiman sambil menunjukkan sebuah meja yang rusak.
“Gila…”

Aku pun bukannya tak pernah kesal kepada mahluk bernama Kusnadi itu. Dia kerap memeras kami sekeluarga. Tapi aku hanya diam. Aku tak dapat menahannya. Dan agaknya begitulah yang juga dirasakan penduduk kampung sini. Setiap kali Kusnadi datang, selalu bersama bencana. Tapi tak ada satu pun yang kuasa bertindak membalasnya. Lelaki di kampung kami, yang selalu tampak berlomba-lomba menjaga wibawa di hadapan Pratiwi, ternyata hanyalah sekelompok banci yang menutupi kelemahannya dengan memamerkan kekuatan di hadapan sesama banci. Naudzubillah!

“Neng yang cantik, kopi setengah gelas ya,” ujar mas Tarjo yang hadir di sana.
“Teh manis panas,” ujar Pardi yang juga datang bersama enam orang petani lain.

Mereka duduk di hadapan kami. Sesekali tampak olehku, Pardi menahan ngilu di sela-sela bincangnya. Sedikit kerepotan, Pratiwi memanggil kakak sulungnya untuk membantu membuat pesanan.

“Sebentar ya,” Saiman pamit padaku. Pemuda yang ramah itu beranjak ke arah Pratiwi.

Kopi dan gula diaduk. Marah dan resah dicampur. Saiman masih menunggu kehadiran Kusnadi.

Sejam kemudian, orang yang dinanti pun hadir. Dengan wajah yang disetel menyeramkan, Kusnadi memang membuat orang yang ada di warung itu benar-benar mencekam. Tak ada suara barang seketip pun ketika lelaki yang tubuhnya dipenuhi rajahan itu muncul dan mengambil duduk di sebuah meja. Semua hening. Saiman rungsing.

“Kopi, segelas,” pesan Kusnadi dengan suara yang menggelegar.

Menit pertama lewat, keadaan semakin gawat. Cemas mencekam dan menyelimuti warung milik haji Rohim. Di tempat dudukknya, Kusnadi memandang tajam ke arah pengunjung lain yang duduk dan terperangkap teror. Lelaki itu tengah menunggu pesanan kopinya.

“Jan,” panggil Robert, yang tiba-tiba muncul menggenggam botol minuman. Aku menoleh, lantas kembali menyadari kehadiran Kusnadi.
“Wow, ada Bung Kus di sini ya?” ujar lelaki itu sambil terus melangkahkan kaki, masuk ke warung dan mengambil duduk di sebelahku. “Shochu. Sake. Tuak!”
Masya Allah!

Merasa dikecilkan, Kusnadi bangkit dan menghampiri meja kami. Disingkapnya kemejanya, menyembullah gagang revolver yang biasa menjadi senjata andalan Kusnadi untuk meneror warga. Aku menelan ludah.

“Mari bung, bergabung dengan kami,” ajak Robert kepada Kusnadi. Lelaki yang diajak mendengus. Sambil terus menatap pada Pratiwi, dia menghampiri Robert.
“Untuk kesehatan, silakan Bung Kus tenggak duluan, kami sisanya pun jadi,” bujuk Robert. Kusnadi menerima botol minuman yang dibawa Robert. Sambil membaui sebentar, kemudian mahluk yang kerap membuat ulah itu menenggak isi botol.

“Maaf, jangan minum di sini, hormati kami,” tiba-tiba Saiman muncul dan mencoba mencegah Kusnadi.
“Siapa kau, berani-berani mencegahku?” Kusnadi menghentakkan botol yang sebagian isinya telah ditenggak.
“Aku yang punya warung ini. Peraturannya tidak boleh minum-minum memabukkan di sini,” Saiman meninggi.
“Aku jawara tiada tara. Kau mau apa?” gertak Kusnadi lagi.
“Melarangmu sebagai ketenuan aturan…” Saiman melemah.
“Tak ada aturan di sini. Akulah yang mengatur,” Kusnadi mengenangkan suaranya. Pengunjung lain terpaku, diam bisu.

Saiman surut ke belakang. Sambil memandangi pengunjung satu per satu, dia berharap mendapat pembelaan. Namun, seperti yang kukatakan sedari awal, lelaki di kampung ini lebih banci dari banci. Semuanya lebih memilih pasrah dan hanyut dalam teror Kusnadi. Sampai pada akhirnya, Saiman yang sejak sore sudah menumpuk kemarahannya, mendorong tubuh Kusnadi. Kusnadi yang sempoyongan berusaha menahan tubuhnya agar tak roboh. Kemudian dengan lambat dia mulai merogoh revolvernya yang terselip di pinggang. Saiman tak mau kalah langkah, dengan marah dia mencabut belati yang terselip di pinggang dan merebut revolver yang ada di balik jaket Kusnadi. Lampu padam! Terdengar suara Saiman meringis. Disusul dengan suara gelas pecah dan derak bangku. DOR! Bau mesiu menyeruak, menyelubungi warung. Lampu menyala. Pratiwi teriak histeris.

Kusnadi tewas mengenaskan. Kepalanya berlubang. Tiga belati menancap di pinggang, dada dan lehernya. Pecahan botol tuak ikut mengiringi kesempurnan kematian Kusnadi. Dan sendok makan. Sendok makan menancap tepat di bola matanya. Peristiwa itu cepat berlangsung. Kusnadi tewas dengan darah kental mengalir dari tubuhnya dan mulut berbusa

Hening. Cuma Saiman yang berdiri terakhir di hadapan bangkai Kusnadi. Nafasnya masih tersengal. Tangan kanannya menggam revolver dan tangan kirinya menghunus belati.

***

Pratiwi memang cantik. Tapi dia berduri. Tak ada yang salah dengannya. Duri itu memang dirancang untuk melindungi dirinya. Lelaki di kampung kami hanya bisa menikmati kecantikan Pratiwi dari luar pagar. Hingga pada akhirnya tanpa diperintah, semua menjadi duri bagi Pratiwi. Semua merasa terusik bila Pratiwi terancam dipetik tangan jahil Kusnadi. Malam itu, setelah Kusnadi mati, satu duri telah patah. Saiman mesti mempertanggungjawabkan kelelakiannya. Dan para banci yang menjadi duri malam itu, hingga kini masih bebas, keliaran, memuji kecantikan Pratiwi dari dekat. Aku salah satu dari mereka. Aku ikut menancapkan sendok pengaduk kopi di mata Kusnadi.


Marendal, 18 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.