Sabtu, 29 Juni 2013

Membaca Saiman dalam Idealisme Kampung

Oleh: Jones Gultom

Judul Buku :Cerita Orang Kalah
Penerbit : Booknesia 2013
Penulis : Hujan Tarigan
Genre : Sastra (Kumpulan Cerpen)


Kumpulan cerpen “Cerita Orang Kalah” dibuka dengan cerita “Pemikul Mayat” yang sekilas tampak surealis. Ia berkisah tentang seorang bernama Saiman, yang meskipun telah mati, tapi tetap menginsipirasi masyarakat di kampungnya. Saiman layaknya sebuah mitos yang menggerakkan alam bawah sadar seseorang. Tokoh penceritanya adalah “aku”.


Dikisahkan bagaimana masyarakat kampung yang selama ini bekerja sebagai petani, diserobot tanahnya oleh cukong-cukong kebun. Agaknya, Saiman tampil sebagai pembangkang. Bersama sahabatnya, “aku” dan Karto, ia menggerakkan para petani agar membangun kekuatan demi menolak kesewenang-wenangan. Dan kini Saiman sudah mati. Namun siapa menduga, justru kematiannya itulah menghidupkan semangat masyarakat. Melalui “aku” dan Karto, mitos Saiman dibangkitkan.

“Pemikul Mayat” menjadi menarik, karena banyak hal yang ingin diungkapkan penulisnya.  Salah satunya kritik sosial. Kritik sosial itu  dipertajam bahkan untuk hal-hal teknis yang mungkin menurut awam baik. Misalnya dikisahkan bagaimana para cukong sepakat untuk memecah belah kekompakan para petani dengan cara yang terkesan “santun”. Yakni dengan mendirikan sekolah-sekolah dan mengembangkan industri di kampung itu. Melalui lembaga pendidikan dan industrialisasi itu, modrenitas dengan individualismenya itu akan ditanamkan.

Konflik pun terjadi. Para cukung kebun mengerahkan algojo-algojonya. Karto dan sejumlah penduduk tertangkap. Tinggalah “Aku”. Berkeliaran dari kampung ke kampung. “Aku” hanya sendiri. Sebab sudah tak ada orang yang mau percaya dengan ceritaku. Dan tulang-belulang Saiman yang ikut bersamaku ini pun, tak berkisah lagi, begitu cerpen ini diakhiri.

Idealisme kampung-kota itu, semakin jelas pada cerpen “Berapa Harga Sejengkal Tanah”. Dikisahkan bagaimana adu pendapat yang cukup bernas antara dua orang sahabat, Rahmat dan Saiman. Rahmat yang berhasil di perantauan membujuk Saiman agar beralih profesi. Menurut Rahmat, sekarang ini menjadi petani tidak lagi menjanjikan apa-apa. Percakapan itu sangat dialogis. Bahkan dibumbui data-data logis dan pertimbangan-pertimbangan rasional.

Secara umum, cerpen-cerpen Hujan Tarigan didasari atas kritik terhadap modrenisme. Hujan  Tarigan memilih postmodrenisme sebagai spiritnya. Menariknya, Hujan Tarigan membahasakan “tarik-menarik” idealisme itu tidak dalam bahasa “hitam-putih”. Tetapi dengan argumen-argumen yang matang. Hal ini membuat cerpen-cerpen itu terasa “dewasa”.

Cerpen-cerpen Hujan Tarigan juga menjadi utuh, karena dengan konsisten memilih Saiman menjadi tokoh utama. Saiman diposisikan sebagai sosok rekaan yang cerdas dan bersahaja. Ia adalah representasi orang terpelajar yang melihat modrenitas bukanlah satu-satunya cara mengangkat derajat manusia. Sebaliknya, justru kampung dengan nilai-nilainya itu harus terjaga, terutama dari keserakahan masyarakat kota. Pada cerpen lain, nuansa lokalitas (Karo) hadir dengan dimensinya sendiri. Antara lain, Uis Gara dan Nyanyian Piso Surit yang juga sarat dengan kritik sosial.

Boleh jadi, judul kumpulan cerpen ini adalah kalimat satir yang sesungguhnya punya perspektif lain. Lebih dari itu, kehadiran cerita-cerita semacam ini jadi begitu penting, mengingat transisi kampung menjadi kota adalah persoalan paling mendasar di negeri ini. Pemaksaan kampung menjadi kota dengan segala janji manis itu, menyebabkan orang-orang kampung tidak lagi berdaulat atas tanah-airnya sendiri. Kita percaya, Saiman-Saiman itu masih ada dan mungkin sedang berada di antara para pembaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.