Rabu, 02 Maret 2011

J E P A N G

Oleh Hujan Tarigan:


(Untuk Sahabatku, Momoi, Rista dan Brewok. Kita masih berjuang mengenyahkan kutukan itu kawan!)
Dimuat Pertama kali di Oase Kompas


Aku sudah muak hidup miskin. Sudah muak! Muak sekali. Muak banget. Sampai pernah terlintas di kepalaku untuk mengakhirinya dengan membobol toko spare part milik Koh A Seng di jalan Ranupane itu! Najis!

Sejak matahari terbit sampai hari berganti, usaha yang kukerjakan tetap tak mampu mengangkat kehidupanku dari liang kemiskinan. Aku tetap papa. Dan bengkel itu! Dan bengkel itu tetaplah bengkel milik Mas Tarjo. Dan aku tetap saja buruhnya yang sejak pagi hingga malam selalu kotor belepotan oli. Sial! Lima tahun! Siapa yang bisa bayangkan? Sejak aku duduk di bangku STM, aku sudah bekerja di sana. Dan hingga hari ini, statusku hanya montir biasa, dengan gaji yang hanya cukup membayar utang piutangku di warung Mba Mien.

"Jadi? Saya tinggal tandatangan saja, Pak?" tanyaku suatu waktu kepada Pak Paijan. Lelaki itu mengangguk.
"Iya di sana," kata dia sambil terus menyapu keringat yang terus mengucur dari pori-pori dahi.
Ini tahap terakhir. Dan setelah menandatangani pernyataan ini, maka hidupku akan berubah. Ini satu-satunya kesempatanku untuk mengubah takdirku; keluar dari kubangan kemiskinan yang merendamku dalam kehinaan.


Dengan tanpa ragu aku mulai menggores tandatangan di halaman yang sudah disediakan Pak Paijan. Sementara gelombang demonstran terus berdatangan membanjiri halaman gedung tempat aku dan Pak Paijan berdiam .
"Wah, mereka datang lagi! Gawat!" ujar Pak Paijan bangkit dan menghampiri jendela. Dari lantai dua, aku mendengar suara para demonstran, Mereka mengeluh, mereka memaki.

Pak Paijan segera memanggil staf yang lain masuk ke dalam ruangan.
"Telepon kantor pusat. Di sini kita didemo lagi," perintah dia kepada seorang stafnya.
"Wah, hari ini massanya lebih banyak, Mas Hujan," ujar Pak Paijan sambil kembali menyapu dahinya. Wajahnya tegang dan semakin pucat. Aku masih diam saja, duduk sambil terus mendengarkan berbagai macam teriakan demonstran.

Aku sudah muak hidup miskin. Dan seperti keyakinanku hingga saat ini, kemiskinanku bukanlah sebuah takdir yang begitu saja turun dari langit. Ada sistim yang membentuk kemiskinanku secara terstruktur. "Kita sudah bosan miskin! Rakyat mau nasi! Hancurkan kekuatan OrBa sampai ke akar-akarnya sekarang juga!" dengan jelas aku dapat menangkap kalimat itu dari lantai dua, gedung Departemen Sosial, di kotaku.

"Bagaimana menurut Mas Hujan, apakah demonstrasi, seperti yang dilakukan mahasiswa di Jakarta bisa mengubah nasib negeri kita?" ujar Pak Paijan sambil menghampiriku dan mengambil berkas yang telah kutandatangani.
Aku diam. Sambil terus cengengesan tak jelas.

"Jan, ini bukan soal politik. ini soal pandangan hidup," ujar Saiman kepadaku beberapa hari sebelum aku diwawancarai.
"Yah, aku tahu. Aku miskin. dan yang menyebabkan kemiskinanku adalah Orde Baru!" kataku. "Aku tak mengerti soal politik. yang aku tahu, sekarang aku harus ke Jepang. Hijrah! Dan kesempatan itu sudah ada di tanganku!" kataku.
"Ah.. kau. Bagaimana kau bisa pergi, sementara di sini semua orang tengah melawan! Menuntut pengadilan!"
"Aku tak melarikan diri. Aku berjuang. Aku selalu berjuang!" kataku. Saiman diam. Pemuda yang sehari-harinya aktif di langgar itu menarik nafasnya.
"Lusa akan ada demo besar-besaran di Depsos. kita mendesak agar departemen itu mau melanjutkan aspirasi kita ke DPR di Jakarta. Orde Baru harus tumbang!" ujar Saiman.
"Lusa? Gila! Aku tak bisa!"
"Ah... kau! Bagaimana mungkin kau tak bisa?"
"Itu hari wawancara terakhirku! Kau yang gila Man! Mana mungkin aku menolak tiket perubahan nasibku!"
"Wawancara bagaimana?"
"Mitsubishi menerimaku sebagai mahasiswa magang! Kau mengertilah!"
"Bah!"
"Iya kawan. Aku salah satu dari lima orang yang lulus ke Jepang!" kataku setengah berteriak. Saiman menggeleng. Entah bagaimana dia meraba perasaanku.
"Kau? Kau ke Jepang, kawan?" kata dia lagi. Aku mengangguk. "Satu langkah lagi, dan aku akan terbebas dari kutukan kemiskinan!" kataku dengan senyum kemenangan.

***

“Jadi bagaimana Mas Hujan menanggapi demo ini,” ulang Pak Paijan. Aku tersentak kaget.
“Ah, bagaimana Pak?” ulangku gelagapan.
“Iya. Soal demo,” kata dia lagi. Sambil terus mengelap keringatnya yang semakin siang semakin deras turun menerjang.
“Demo sih demo Pak, tapi maunya ingat waktu dan tempat,” kataku sekenanya. Dia seperti kaget.
“Saya kira Mas Hujan menjawabnya dengan serius,” sambung dia. Aku terdiam.

Seingatku, aku selalu serius dalam hidup. Buktinya, demi ke Jepang, aku rela banting tulang untuk mendapatkan uang agar bisa belajar bahasa jepang. Aku serius dengan mampu mengalahkan ribuan pesaing. Aku serius. Bahkan hingga siang itu.

“Baiklah, Mas Hujan. Agaknya suasana mulai tak kondusif. Pokoknya persiapkan saja semua keperluan. Nanti kami akan hubungi Sampeyan. Kami akan memersiapkan semua kebutuhan Mas Hujan. Sampai bertemu di Jakarta,” ujar Pak Paijan terburu-buru, sambil memersilakan aku untuk meninggalkan ruanganya.

***

“Jadi kau ikut kan?” tanya Saiman. Aku belum bereaksi.
“Kau harus ambil bagian dalam gerakan ini,” kata Saiman lagi.
“Pasti,”
“Mantab, kalau begitu kau akan turun kan?”
“Entahlah, mungkin setelah wawancara,” kataku.

***

“Adili Penguasa Orba dan anteknya!” teriak seorang demonstran dengan salon di tangan.
Sepanjang anak tangga yang ku turuni, mataku tak lepas dari aksi segerombol massa yang telah mengepung gedung tempat aku diwawancarai.
“Itu Saiman!” pekikku. Sambil terus menempal pandanganku kepada sesosok pemuda yang terus berorasi di tengah kerumunan massa.
“Saiman!” panggilku sambil berusaha menerobos barikade polisi yang memborder demonstran.
“Hujan!” sambut Saiman dengan senyum ditahan. “Ini,” kata dia sambil menyerahkan pengeras suara yang dia pegang kepadaku.
Ku gulung lengan kemejaku. Ku geser letak tas yang kusandang di bahu kiri. Lantas aku menerima pengeras suara yang disodorkan Saiman…
“Merdeka!” pekik ku mengawali orasi.

***
 Hingga hari ini, demo masih terus berlangsung di kota kami. Banjir massa juga tumpah ruah di halaman pendopo kantor gubernur. Di depan kampus. Di pasar ikan, dimana-mana. Massa terus berjejal, meneriakkan kelaparan dan pengadilan!

Hari ini aku tak ikut ke mana pun. aku betul-betul muak dengan pekerjan ini. Sejak pagi, aku sudah mandi oli di bengkel milik Mas Tarjo. Membongkar-pasang mesin. Mengganti spare part, yang kadang-kadang bila habis, aku harus membelinya di toko Koh A Seng. Menjemukan.

Impian ke Jepang memang sudah musnah. Musnah setelah Presiden Abdurrahman Wahid resmi membubarkan Depsos yang telah menjanjikanku magang di perusahaan besar milik Mitsubishi.

“Kau harus turun besok,” kata Saiman, malam tadi.
“Tidak, aku harus mengganti oli dari mobil Mitsubishi ini,” kataku dengan suara tercekat. Berat.

 Palmerah, 16 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.