Oleh: Hujan Tarigan
KATTY masih menatap semburat cahaya yang temaram perlahan-lahan di barat. Tak ada saat yang paling damai dalam hidupnya, kecuali senja ini. Semuanya menjadi samar, semua menjadi nanar. Matanya sayu, setengah terpejam. Sudah tiga jam dia di sana, duduk sambil menatap malas ke laut lepas. Sambil mereka-reka tentang indahnya sebuah warna.
Suasana semakin sepi. Yang terdengar cuma suara nyanyian ikan-ikan dan terumbu karang di dalam pikiran perempuan itu. Begitu sepinya, sehingga debur ombak yang mempermainkan pasir putih di pantai tak terdengar. Katty telah sampai pada karyanya yang maha karya. Dia sudah bisa membayangkan sebuah warna. Diraihnya kembali kuas yang terkulai di atas palet. Tangannya mulai menarikan tarian aduk cat. Dengan penuh gairah, dia racik warna-warna, entah merah entah darah.
Ikan-ikan kecil mulai memakan plankton-plankton yang berenang-renang di sekitar terumbu karang. Ikan-ikan mungil yang hanya bisa memakan plankton. Dan terumbu karang terhibur dengan gerakan lincah ikan-ikan mungil yang berburu plankton. Katty menarik nafas. Dia sudah memulai sebuah goresan di atas kanvas.
***
Malam itu, dia masih duduk di tempat biasa, sambil menatap akuarium oval peninggalan orang tuanya. Satu-satunya benda yang masih terus dibawanya, kemana pun dia pergi.
“I see skies of blue, and clouds of white
The bright blessed day, dark sacred night
And I think to myself, what a wonderful world”
Katty menggeser duduknya. Didekatkannya wajahnya ke akuarium oval yang terletak tak jauh dari dari sofa. Dia mulai mengingat. Sesuatu, yang pernah ada dan pernah dirasakannya. Dia mulai mengingat ibu, sesosok perempuan lembut. Yang telah membelikannya sebuah akuarium berbentuk oval. Tak besar, tak pula kecil, cukup untuk hidup sekelompok ikan kecil yang berburu plankton di terumbu karang.
***
Senja semakin merah, seperti darah. Seperti warna-warna yang selalu dituangkan Katty ke dalam palet tua yang dibelinya di pasar Jatinegara. Tangannya semakin liar menari-nari di atas kanvas. Dicampurnya biru menjadi abu. Dioleskannya kuning benjadi bening. Hijau menjadi kemarau. Tak ada kehidupan. Tak ada ikan-ikan. Katty tidak sedang melukis. Dia sedang menangis.
Angin semakin kencang berhembus dari laut. Selendang Katty melambai-lambai oleh gelitik angin. Katty tak menghirau kepada sekelilingnya. “Aku harus berhasil menangkap warnanya... harus,” gumamnya pada diri sendiri.
***
Perempuan kecil itu masih duduk di atas sebuah dipan yang terbuat dari papan tersusun rapi berbahan jati. Tangan mungilnya masih terus menari-nari di atas kanvas. Dia mulai menggores pensilnya. Membuat sketsa, menggambar guratan-guratan cahaya. Katty kecil terus memainkan pensilnya di atas kain putih. Sementara neneknya masih sibuk mengawasi sang cucu yang sudah tak berayah ibu lagi.
“Nek warna langit itu apa?”
“Biru,”
“Biru itu seperti apa?”
“Biru itu seperti air laut,” terang nenek. Katty masih berusaha keras mengerti apa itu biru. Dalam pandangannya, langit dan laut adalah misteri permainan warna. Yang harus dipecahkan, diketahui kebenarannya.
***
Katty masih senyap memandang Akuarium oval pemberian ibunya tepat di hari ulang tahunnya yang ke sembilan.
“Ayah belikan ikan dan ibu belikan akuarium. Kalau nenek?” tanya Katty pada Nenek 20 tahun yang lalu.
“Ini dia,” seru nenek sambil memberikan bungkusan rapi berwarna biru.
“Kok aku diberi ini sih?” tanya Katty sambil membuka bungkusan. Sementara perlahan titik-titik air menetes, membasahi wajah nenek, ibu dan ayah.
***
Katty masih menggurat kanvas. Ditemani Louis Armstrong dan ikan-ikan kecil di dalam akuarium. Air matanya masih menetes, satu-satu jatuh membasahi pipinya yang tebal oleh permainan warna maskara. Sesekali dia masih menarik dalam tembakau Marlboronya.
Telpon berdering. Tangan Katty berhenti menari. Diletakkannya kuas dan diletakkannya rokok di atas asbak. Bergegas dia berjalan menuju meja.
“Hei, gimana? Sudah jam enamlimabelas. Kamu sudah siap belum?” sapa orang di ujung telepon.
“Sebentar, aku sedang dandan, tenang sajalah, aku pasti datang,” kata Katty.
“Awas lho jangan terlambat, semuanya sudah menunggu di auditorium. Maksud gue, semua penggila lukisan Lu sudah hadir. Bahkan tadi, Pak Gubernur sudah menanyakan Luka-Laut-mu,” balas orang di ujung telpon lagi.
“Iya, tenang aja, aku serahkan ke Kamu semuanya,”
“Pokoknya segera,”
“Iya, bawel,” tandas Katty. Telepon ditutup. Klak. Tut, tut, tut.
“Aku harus,” gumam Katty sambil menghampiri kembali kanvas yang telah diguratnya. Merah, entah senja entah darah
“The colors of the rainbow, so pretty in the sky
Are also on the faces, of people going by
I see friends shaking hands, sayin' "how do you do?"
They're really sayin'
I love you"
***
“Aku ingin ke laut Nek,” kata Katty kecil kepada neneknya. Nenek yang ketika itu sedang menjahit baju kesayangan Katty, terhenyak. Dipandangnya wajah polos Katty dengan mata berkaca-kaca.
“Aku mau jadi putri duyung, bertemu pangeran berkuda putih. Nenek pernah bilang, kalau putri duyung akhirnya akan hidup dengan pangeran.”
“Iya tapi tidak di dasar laut,” jawab nenek sambil mengelus rambut Katty yang tengah asik melukis.
“Kenapa Nek?”
“Karena mana ada manusia yang bisa hidup di sana,”
Katty berhenti melukis.
“Tapi nenek sendiri yang bilang kalau ayah dan ibu sekarang sudah senang di sana. Ayah dan ibu pergi ke laut kan?” ujar Katty sambil meneruskan lukisannya. Kali ini dia membuat sketsa, wajah ayah dan ibunya.
“Barangkali mereka sekarang sudah punya istana ya Nek? Aku ingin cepat besar, aku ingin segera menjadi putri duyung,” kata Katty polos. Disambarnya beberapa pasta pewarna. “Tolong pilihkan aku warna biru Nek,” nenek menuruti pinta Katty sambil menahan tumpahan air dari sepasang matanya yang dilapisi kacamata.
***
Selindap angin masuk melewati jendela. Dingin. Katty mematikan rokoknya. Disongsongnya jendela kamar yang setengah terbuka. Pukul enamtujuhbelas. Tapi mega masih semburat jingga di luar sana. Dia tergoda untuk keluar dan merayakan perburuan pada sentuhan terakhir lukisannya. Ini senja teragung, dimana laut begitu akrab dan hangat menyapanya lewat sepoi angin.
Ini senja teragung, dimana gelombang gemawan tertata rapi berderet di cakrawala yang berbatas gelombang samudra. Ini senja terindah, yang pernah mampir di jendelanya. Katty termangu. Diam sejenak. Lantas memindahkan kanvas dan alat lukisnya ke sebuah tempat...
***
Di ruang tengah, nenek sedang merapikan jahitannya, ketika untuk pertama kali Katty memperlihatkan lukisannya.
“Kok lautnya berwarna hijau?” tanya nenek.
“Bukan lautnya yang hijau, tapi kain yang ada di jahitan nenek,” jawab Katty.
“Terus, lautnya warna apa?”
“Lautnya tak ada warna,”
“Kok bisa begitu?” tanya nenek lagi.
Katty mengangguk, matanya mendadak berair. “Biar semuanya terlihat jelas, aku mau menggambar ayah dan ibu,” jawabnya sambil terus menggambar nenek yang sedang menjahit.
***
“Aku tak pernah gagal,” bisik Katty kepada ikan-ikan kecil di akuarium oval.
“Aku tak pernah gagal, senja ini, aku harus menagkapnya, senja ini aku pasti bisa mengabadikannya,”
Katty menyambar perangkat lukisnya, diambilnya syal hijau, yang teronggok di atas sofa. Disandangkannya di bahu putihnya yang menyembul dari daster biru yang dikenakannya. Katty beranjak, membuka pintu dan menuruni anak tangga, rumah pantainya.
Telepon berdering kembali. Kali ini Susan, kurator lukisanya. “Katty, kamu di mana? Semuanya sedang menunggumu,”
Namun Katty hanya mengangkat dan meletakkan gagang telepon di atas meja.
***
Di auditorium puluhan goresan Katty dipajang. Banyak orang mengaguminya, memuji, menggelengkan kepala, berdecak kagum.
“Katty, tak ada di ruangannya,” bisik seseorang kepada Susan.
“Duh, Kamu kemana sih Kat?” ujar Susan cemas.
***
Ini adalah perburuan senja yang teragung. Bagi Katty, ini adalah saat yang paling sempurna untuk memindahkan senja ke dalam kanvasnya.
“Serasa-rasanya, inilah biru itu,” bisik Katty, suaranya samar-samar terdengar di balik debur ombak yang tenang. Dia duduk di tepi pantai. Ditemani beberapa pasta cat, palet, dan sebuah kanvas yang telah memiliki sketsa.
“Aku tak habis mengerti, mengapa orang suka pada lukaku, dan bersedia membayar mahal untuk semua itu,” Katty meracau sendiri, sambil memulai tarian jemarinya di atas kanvas. Pelan-pelan dari kejauhan dia mendengar suara bocah perempuan riang bermain, berkejaran di antara bibir pantai yang menghitam ditimpa cahaya senja.
“Nek, aku sekarang tahu apa artinya biru,” celoteh anak itu.
“Katty, jangan jauh-jauh, hari mulai gelap, nenek tak bisa mengejarmu,”
“Jangan kejar aku Nek, aku mau cari tahu warna laut,”
“Tidak Katty-ku, kau tak akan bisa,” teriak nenek sambil terus mengejar Katty.
“Lihat nek, sekarang aku bisa menggambarkan warna langit dan laut,” pekik bocah perempuan itu nakal, menggoda nenek.
“Katty, jangan! Biar saja semuanya begini. Biar saja, Katty-ku.” larang nenek cemas.
“Aku mau jadi putri duyung yang hidup di dasar laut yang biru. Aku...”
“Katty, kau tak mungkin bisa. Kau tak mengenal warna, kau hanya bisa membedakan gelap-terang, jangan, kembalilah Katty-ku,” seru nenek.
Katty kecil berlari terus. Terus mendekati bibir pantai. Dia terjatuh, syal hijaunya robek.
“Kemari Katty-ku. Biar kujahitkan syalmu,” kata nenek sambil membersihkan pasir yang menempel di sekujur tubuh Katty kecil. Mereka pergi, dari pandangan mata Katty.
“I hear babies cryin',
I watch them grow
They'll learn much more, than I'll ever know
And I think to myself, what a wonderful world”
***
Senja makin temaram, laut semakin hitam. Katty masih menggoreskan kuas di atas kanvas.
“Sudah ketemu? Katty harus ada di sini,” seru Susan dengan cemas.
“Di kamarnya tidak ada.”
“Di taman juga tak ada,”
“Di bibir pantai, kami hanya menemukan kanvas,” seru yang lain lagi.
“Ini bagaimana Bu, apa acaranya dimulai saja?” tanya seorang panitia kepada Susan. Susan menggeleng, lantas pergi ke rumah Katty.
***
Katty melepaskan lilitan syal hijau dari lehernya, pelan-pelan, meletakkannya di atas kanvas putihnya. Perlahan melenggang ke bibir pantai. Mendekat, lebih mendekat.
Mula-mula tapak kaki, naik semata kaki.
Air menyentuh dasternya.
Air naik selutut. Katty tersenyum.
Air naik ke pahanya, Katty menahan geli.
Air naik ke pinggang, Katty mulai gigil kedinginan.
Air merayap di dadanya, Katty memejamkan mata.
Air mengepung jenjang lehernya, Katty menahan tawa.
Air menutup mulut, Katty membuka matanya.
Air sampai ke mata, Katty melihat Ibu dan Ayah.
Air naik hingga ke rambutnya, Katty tak tampak lagi.
***
“Katty, Kamu di mana?” tanya Susan sambil menelusuri setiap sudut ruangan kerja Katty. Louis Armostrong masih menyanyi,
“Yes I think to myself, what a wonderful world.
Oh yeah”
Dengan malas, dia hempaskan tubuhnya ke atas sofa. Louis Armstrong menyanyi dari awal lagi.
Susan duduk. Menatap dalam-dalam kepada akuarium oval milik Katty.
***
“Nek, sekarang aku tahu warna biru seperti apa,” kata Katty kecil.
Nenek diam saja, sambil terus menjahit syal hijau, perempuan itu berkata.
“Baguslah.”
Palmerah, 21Juli 2007
KATTY masih menatap semburat cahaya yang temaram perlahan-lahan di barat. Tak ada saat yang paling damai dalam hidupnya, kecuali senja ini. Semuanya menjadi samar, semua menjadi nanar. Matanya sayu, setengah terpejam. Sudah tiga jam dia di sana, duduk sambil menatap malas ke laut lepas. Sambil mereka-reka tentang indahnya sebuah warna.
Suasana semakin sepi. Yang terdengar cuma suara nyanyian ikan-ikan dan terumbu karang di dalam pikiran perempuan itu. Begitu sepinya, sehingga debur ombak yang mempermainkan pasir putih di pantai tak terdengar. Katty telah sampai pada karyanya yang maha karya. Dia sudah bisa membayangkan sebuah warna. Diraihnya kembali kuas yang terkulai di atas palet. Tangannya mulai menarikan tarian aduk cat. Dengan penuh gairah, dia racik warna-warna, entah merah entah darah.
Ikan-ikan kecil mulai memakan plankton-plankton yang berenang-renang di sekitar terumbu karang. Ikan-ikan mungil yang hanya bisa memakan plankton. Dan terumbu karang terhibur dengan gerakan lincah ikan-ikan mungil yang berburu plankton. Katty menarik nafas. Dia sudah memulai sebuah goresan di atas kanvas.
***
Malam itu, dia masih duduk di tempat biasa, sambil menatap akuarium oval peninggalan orang tuanya. Satu-satunya benda yang masih terus dibawanya, kemana pun dia pergi.
Di sana, di sebuah kamar yang cukup luas. Dengan dinding-dindingnya yang penuh dengan kanvas-kanvas indah, corat-coret sketsa wajah gelisah. Serta suhu udara yang tak terlalu dingin, Katty menghabiskan waktunya. Duduk di atas sofa, melipat kakikanya, sambil memainkan asap rokok mentol. Matanya setengah terpejam. Dan dari atas meja di sebuah ruang lain di kamar itu, compact disk tengah memperdengarkan sebuah lagu dari Louis Armstrong berulang kali.
“I see skies of blue, and clouds of white
The bright blessed day, dark sacred night
And I think to myself, what a wonderful world”
Katty menggeser duduknya. Didekatkannya wajahnya ke akuarium oval yang terletak tak jauh dari dari sofa. Dia mulai mengingat. Sesuatu, yang pernah ada dan pernah dirasakannya. Dia mulai mengingat ibu, sesosok perempuan lembut. Yang telah membelikannya sebuah akuarium berbentuk oval. Tak besar, tak pula kecil, cukup untuk hidup sekelompok ikan kecil yang berburu plankton di terumbu karang.
***
Senja semakin merah, seperti darah. Seperti warna-warna yang selalu dituangkan Katty ke dalam palet tua yang dibelinya di pasar Jatinegara. Tangannya semakin liar menari-nari di atas kanvas. Dicampurnya biru menjadi abu. Dioleskannya kuning benjadi bening. Hijau menjadi kemarau. Tak ada kehidupan. Tak ada ikan-ikan. Katty tidak sedang melukis. Dia sedang menangis.
Angin semakin kencang berhembus dari laut. Selendang Katty melambai-lambai oleh gelitik angin. Katty tak menghirau kepada sekelilingnya. “Aku harus berhasil menangkap warnanya... harus,” gumamnya pada diri sendiri.
Senja itu adalah perburuannya yang teragung. Untuk senja ini, dia telah membuang senja-senja yang lain yang pernah mengisi hidupnya. Dan sekarang dia berdiri di sini, di bibir pantai yang mulai menghitam. Yang hanya memantulkan semburat cahaya keemasan.
***
Perempuan kecil itu masih duduk di atas sebuah dipan yang terbuat dari papan tersusun rapi berbahan jati. Tangan mungilnya masih terus menari-nari di atas kanvas. Dia mulai menggores pensilnya. Membuat sketsa, menggambar guratan-guratan cahaya. Katty kecil terus memainkan pensilnya di atas kain putih. Sementara neneknya masih sibuk mengawasi sang cucu yang sudah tak berayah ibu lagi.
“Nek warna langit itu apa?”
“Biru,”
“Biru itu seperti apa?”
“Biru itu seperti air laut,” terang nenek. Katty masih berusaha keras mengerti apa itu biru. Dalam pandangannya, langit dan laut adalah misteri permainan warna. Yang harus dipecahkan, diketahui kebenarannya.
***
Katty masih senyap memandang Akuarium oval pemberian ibunya tepat di hari ulang tahunnya yang ke sembilan.
“Ayah belikan ikan dan ibu belikan akuarium. Kalau nenek?” tanya Katty pada Nenek 20 tahun yang lalu.
“Ini dia,” seru nenek sambil memberikan bungkusan rapi berwarna biru.
“Kok aku diberi ini sih?” tanya Katty sambil membuka bungkusan. Sementara perlahan titik-titik air menetes, membasahi wajah nenek, ibu dan ayah.
***
Katty masih menggurat kanvas. Ditemani Louis Armstrong dan ikan-ikan kecil di dalam akuarium. Air matanya masih menetes, satu-satu jatuh membasahi pipinya yang tebal oleh permainan warna maskara. Sesekali dia masih menarik dalam tembakau Marlboronya.
Telpon berdering. Tangan Katty berhenti menari. Diletakkannya kuas dan diletakkannya rokok di atas asbak. Bergegas dia berjalan menuju meja.
“Hei, gimana? Sudah jam enamlimabelas. Kamu sudah siap belum?” sapa orang di ujung telepon.
“Sebentar, aku sedang dandan, tenang sajalah, aku pasti datang,” kata Katty.
“Awas lho jangan terlambat, semuanya sudah menunggu di auditorium. Maksud gue, semua penggila lukisan Lu sudah hadir. Bahkan tadi, Pak Gubernur sudah menanyakan Luka-Laut-mu,” balas orang di ujung telpon lagi.
“Iya, tenang aja, aku serahkan ke Kamu semuanya,”
“Pokoknya segera,”
“Iya, bawel,” tandas Katty. Telepon ditutup. Klak. Tut, tut, tut.
“Aku harus,” gumam Katty sambil menghampiri kembali kanvas yang telah diguratnya. Merah, entah senja entah darah
“The colors of the rainbow, so pretty in the sky
Are also on the faces, of people going by
I see friends shaking hands, sayin' "how do you do?"
They're really sayin'
I love you"
***
“Aku ingin ke laut Nek,” kata Katty kecil kepada neneknya. Nenek yang ketika itu sedang menjahit baju kesayangan Katty, terhenyak. Dipandangnya wajah polos Katty dengan mata berkaca-kaca.
“Aku mau jadi putri duyung, bertemu pangeran berkuda putih. Nenek pernah bilang, kalau putri duyung akhirnya akan hidup dengan pangeran.”
“Iya tapi tidak di dasar laut,” jawab nenek sambil mengelus rambut Katty yang tengah asik melukis.
“Kenapa Nek?”
“Karena mana ada manusia yang bisa hidup di sana,”
Katty berhenti melukis.
“Tapi nenek sendiri yang bilang kalau ayah dan ibu sekarang sudah senang di sana. Ayah dan ibu pergi ke laut kan?” ujar Katty sambil meneruskan lukisannya. Kali ini dia membuat sketsa, wajah ayah dan ibunya.
“Barangkali mereka sekarang sudah punya istana ya Nek? Aku ingin cepat besar, aku ingin segera menjadi putri duyung,” kata Katty polos. Disambarnya beberapa pasta pewarna. “Tolong pilihkan aku warna biru Nek,” nenek menuruti pinta Katty sambil menahan tumpahan air dari sepasang matanya yang dilapisi kacamata.
***
Selindap angin masuk melewati jendela. Dingin. Katty mematikan rokoknya. Disongsongnya jendela kamar yang setengah terbuka. Pukul enamtujuhbelas. Tapi mega masih semburat jingga di luar sana. Dia tergoda untuk keluar dan merayakan perburuan pada sentuhan terakhir lukisannya. Ini senja teragung, dimana laut begitu akrab dan hangat menyapanya lewat sepoi angin.
Ini senja teragung, dimana gelombang gemawan tertata rapi berderet di cakrawala yang berbatas gelombang samudra. Ini senja terindah, yang pernah mampir di jendelanya. Katty termangu. Diam sejenak. Lantas memindahkan kanvas dan alat lukisnya ke sebuah tempat...
***
Di ruang tengah, nenek sedang merapikan jahitannya, ketika untuk pertama kali Katty memperlihatkan lukisannya.
“Kok lautnya berwarna hijau?” tanya nenek.
“Bukan lautnya yang hijau, tapi kain yang ada di jahitan nenek,” jawab Katty.
“Terus, lautnya warna apa?”
“Lautnya tak ada warna,”
“Kok bisa begitu?” tanya nenek lagi.
Katty mengangguk, matanya mendadak berair. “Biar semuanya terlihat jelas, aku mau menggambar ayah dan ibu,” jawabnya sambil terus menggambar nenek yang sedang menjahit.
***
“Aku tak pernah gagal,” bisik Katty kepada ikan-ikan kecil di akuarium oval.
“Aku tak pernah gagal, senja ini, aku harus menagkapnya, senja ini aku pasti bisa mengabadikannya,”
Katty menyambar perangkat lukisnya, diambilnya syal hijau, yang teronggok di atas sofa. Disandangkannya di bahu putihnya yang menyembul dari daster biru yang dikenakannya. Katty beranjak, membuka pintu dan menuruni anak tangga, rumah pantainya.
Telepon berdering kembali. Kali ini Susan, kurator lukisanya. “Katty, kamu di mana? Semuanya sedang menunggumu,”
Namun Katty hanya mengangkat dan meletakkan gagang telepon di atas meja.
***
Di auditorium puluhan goresan Katty dipajang. Banyak orang mengaguminya, memuji, menggelengkan kepala, berdecak kagum.
“Katty, tak ada di ruangannya,” bisik seseorang kepada Susan.
“Duh, Kamu kemana sih Kat?” ujar Susan cemas.
***
Ini adalah perburuan senja yang teragung. Bagi Katty, ini adalah saat yang paling sempurna untuk memindahkan senja ke dalam kanvasnya.
“Serasa-rasanya, inilah biru itu,” bisik Katty, suaranya samar-samar terdengar di balik debur ombak yang tenang. Dia duduk di tepi pantai. Ditemani beberapa pasta cat, palet, dan sebuah kanvas yang telah memiliki sketsa.
“Aku tak habis mengerti, mengapa orang suka pada lukaku, dan bersedia membayar mahal untuk semua itu,” Katty meracau sendiri, sambil memulai tarian jemarinya di atas kanvas. Pelan-pelan dari kejauhan dia mendengar suara bocah perempuan riang bermain, berkejaran di antara bibir pantai yang menghitam ditimpa cahaya senja.
“Nek, aku sekarang tahu apa artinya biru,” celoteh anak itu.
“Katty, jangan jauh-jauh, hari mulai gelap, nenek tak bisa mengejarmu,”
“Jangan kejar aku Nek, aku mau cari tahu warna laut,”
“Tidak Katty-ku, kau tak akan bisa,” teriak nenek sambil terus mengejar Katty.
“Lihat nek, sekarang aku bisa menggambarkan warna langit dan laut,” pekik bocah perempuan itu nakal, menggoda nenek.
“Katty, jangan! Biar saja semuanya begini. Biar saja, Katty-ku.” larang nenek cemas.
“Aku mau jadi putri duyung yang hidup di dasar laut yang biru. Aku...”
“Katty, kau tak mungkin bisa. Kau tak mengenal warna, kau hanya bisa membedakan gelap-terang, jangan, kembalilah Katty-ku,” seru nenek.
Katty kecil berlari terus. Terus mendekati bibir pantai. Dia terjatuh, syal hijaunya robek.
“Kemari Katty-ku. Biar kujahitkan syalmu,” kata nenek sambil membersihkan pasir yang menempel di sekujur tubuh Katty kecil. Mereka pergi, dari pandangan mata Katty.
“I hear babies cryin',
I watch them grow
They'll learn much more, than I'll ever know
And I think to myself, what a wonderful world”
***
Senja makin temaram, laut semakin hitam. Katty masih menggoreskan kuas di atas kanvas.
“Sudah ketemu? Katty harus ada di sini,” seru Susan dengan cemas.
“Di kamarnya tidak ada.”
“Di taman juga tak ada,”
“Di bibir pantai, kami hanya menemukan kanvas,” seru yang lain lagi.
“Ini bagaimana Bu, apa acaranya dimulai saja?” tanya seorang panitia kepada Susan. Susan menggeleng, lantas pergi ke rumah Katty.
***
Katty melepaskan lilitan syal hijau dari lehernya, pelan-pelan, meletakkannya di atas kanvas putihnya. Perlahan melenggang ke bibir pantai. Mendekat, lebih mendekat.
Mula-mula tapak kaki, naik semata kaki.
Air menyentuh dasternya.
Air naik selutut. Katty tersenyum.
Air naik ke pahanya, Katty menahan geli.
Air naik ke pinggang, Katty mulai gigil kedinginan.
Air merayap di dadanya, Katty memejamkan mata.
Air mengepung jenjang lehernya, Katty menahan tawa.
Air menutup mulut, Katty membuka matanya.
Air sampai ke mata, Katty melihat Ibu dan Ayah.
Air naik hingga ke rambutnya, Katty tak tampak lagi.
***
“Katty, Kamu di mana?” tanya Susan sambil menelusuri setiap sudut ruangan kerja Katty. Louis Armostrong masih menyanyi,
“Yes I think to myself, what a wonderful world.
Oh yeah”
Dengan malas, dia hempaskan tubuhnya ke atas sofa. Louis Armstrong menyanyi dari awal lagi.
Susan duduk. Menatap dalam-dalam kepada akuarium oval milik Katty.
***
“Nek, sekarang aku tahu warna biru seperti apa,” kata Katty kecil.
Nenek diam saja, sambil terus menjahit syal hijau, perempuan itu berkata.
“Baguslah.”
Palmerah, 21Juli 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan