Minggu, 28 Agustus 2011

Kisah Terakhir Suku Guata


Oleh: Hujan Tarigan

Inilah akhir dari suku Guata. Setelah terus menerus  terlibat pertempuran sepanjang tiga generasi dengan suku Mondunga, La-Bate, kepala suku Guata akhirnya menjatuhkan kapak sebagai petanda bahwa perlawanan yang selama ini digalang untuk menghambat laju invasi Mondunga berakhir dengan nista dan nestapa.

Raungan dan tangisan menjelma dari tengah lebat hutan Sumatera. Hewan-hewan dan mambang hutan histeris turut berduka atas kekalahan suku Guata yang telah bersahabat dengan mereka sejak delapan generasi terakhir.

Di tepi kekuasaannya, La-Bate memandang ke sekeliling yang sudah porak poranda oleh kekejaman pertempuran yang tak seimbang. Maka dari tengah-tengah genangan mayat yang terhampar di sebuah perladangan yang telah dijadikan medan laga itu, La-Bate muncul dan menyerahkan diri. Dengan kepala tetap tegak dan langkah lungkrah dia melaju menghadap Aruna, kepala Suku Mondanga.

“Kuserahkan diriku dengan catatan rakyatku terbebas dari perbudakan. Untuk itu, mati pun aku sedia dan atau perlu menjadi budakmu sampai mati pun aku sanggupi,” ujar dia dengan suara yang masih sama sangarnya.

Dari atas pelana gajah perang, Aruna terus memperdengarkan tawa kemenangan. Sejurus kemudian dia turun dari singgasana. Dan ketika kakinya benar-benar menginjak bumi Guata, jelaslah bagi La-Bate, bahwa pemimpin sebuah suku yang tercanggih di zaman itu, Mondunga, adalah seorang yang cacat fisik serta memiliki tubuh tak lebih tinggi dari sapi dewasa yang banyak berkeliaran di padang-padang Guata.

“Damai di langit, damai di bumi,” ujar Aruna sambil membungkukkan tubuhnya lima belas derjat. “Seperti takdir dewata, bahwa pada purnama ke 240, suku kami dapat menaklukkan Guata,” ujar Aruna sambil menoleh kepada para punggawanya. “Aku kemari mau melepaskan kau dan sukumu dari kegelapan. Aku datang dengan semangat perdamaian,”

Mendengar pidato kemenangan Aruna, La-Bate terhenyak. Sementara sayup-sayup suara tangis dari janda dan yatim para serdadu yang mati di medan laga kian keras menyeruak menembus arena pertempuran.

“Kami wangsa beradab. Intelektual dan bermoral, dan oleh sebab itu, kami menolak perbudakan. Sekali lagi dengan keras dan sewajarnya kusampaikan kepada kalian, hai suku Guata. Bangsa Mondunga tidak akan melakukan perbudakan terhadap kalian. Sebaliknya, kami akan membagi pengetahuan kami kepada kalian agar kalian bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan suku-suku lain yang ada di sekitar Alas ini,” ujar Aruna mengumbar janji. “Dan oleh kedatangan kami ke mari adalah dalam misi pencerahan, maka untuk itu…” Aruna memutus omongannya. Sementara para punggawa serta sisa bala tentara Suku Guata –termasuk La-Bate- hening menunggu nasib. “Oleh sebab itu, maka kami akan membongkar kubur batu Siwaluh,” ujarnya sambil berbalik badan siap menaiki gajah perangnya. Dengan langkah terseok-seok, Aruna dibantu punggawanya untuk menaiki mamalia terbesar di daratan itu.

Mendengar rencana pembongkaran makam suci di belantara Guata, La-Bate murka dan bersiap merebut kembali kapak yang sudah lepas dari tangannya yang kekar dan dipenuhi luka. “Tidak untuk rencana terkutukmu itu! Aku siap bertempur sampai titik darah penghabisan. Bahkan perempuan dan anak-anak suku kami siap berkorban nyawa untuk itu!” kutuk La-Bate sambil berusaha mendekati gajah perang milik Aruna. Namun sayang belum benar-benar sempat dia tiba di pucuk cita-cita, sepasang tangan lebih dulu melumpuhkannya tepat di ujung duka.

“Demi ilmu pengetahuan, demi peradaban yang akan datang, demi penguasa bintang-bintang, makam itu harus dibongkar dan dihancurkan!”

Sambil menangis dan menyesali ketidakberdayaannya, dan kelemahan suku Guata, La-Bate, angkat suara. Wajahnya merah, tersuruk ke tanah yang digenangi darah. “Mengapa kau begitu kejam kepada kami, bahkan orang sudah mati pun akan kau bunuh untuk kedua kali,” ratapnya.

“Untuk itulah aku dan nenek moyangku datang kemari. Kami hendak buktikan apakah jenasah Siwaluh benar-benar awet dirawat jaman. Pembuktian itu adalah misi kami dalam usaha meraih puncak tertinggi dalam kemanusiaan: ilmu pengetahuan, dan laju pemikiran!” ujar Aruna angkuh. “Siapapun yang menghambat usaha pengembangan pengetahuan, adalah musuh peradaban. Dan kami harus hancurkan manusia-manusia tak berguna yang hanya hidup berdasarkan cerita ke cerita,” tandas Aruna.

Inilah akhir dari suku Guata. Dan ketika makam Siwaluh benar-benar dibongkar maka suku yang telah mendiami lembah itu sekian ratus tahun lamanya hanya bisa pasrah. Tak ada perlawanan, tak ada darah yang tumpah untuk mempertahankan pembongkaran makam Siwaluh, guru suku yang telah meletakkan dasar-dasar seperangkat aturan hidup yang berlaku sejak awal peradaban Guata dimulai.

Tahun-tahun berlalu kosong di lembar halaman sejarah Guata. Sejak hasil penelitian jenasah Siwaluh diumumkan, banyak anggota suku Guata mulai hidup dalam kegamangan keyakinan. Mereka mulai menerima teori penciptaan semesta raya yang diterangkan guru-guru suku Mondunga. Mereka pun mulai mengamini penjelasan  pengawetan mayat yang biasa dipakai para raja di Mesir purba. Dan mereka mulai menolak ajaran Siwaluh mengenai betapa pentingnya lembah Alas bagi suku Guata.

Demi ilmu pengetahuan, serangkaian eksplorasi digencarkan. Demi lembaran baru peradaban, Siwaluh harus dilupakan dan eksploitasi hutan dihalalkan. Penemuan teknologi baru melaju bersama waktu. Namun tetap ada yang terikat serta mereka tak ingat: bahwa suku Mondunga kian digdaya menancapkan kuku kekuasaan atas kehidupan suku Guata. Setiap pokok pikiran dan penemuan teknologi baru tetap diakui sebagai olah cipta pemerintahan yang dipimpin Aruna dan klannya. Guata memang melaju pesat menyongsong peradaban baru, namun mereka tetaplah sekelompok orang yang tersesat di masa lalu. 

Sampai datang masanya, setelah beberapa purnama Aruna meninggalkan kaumnya menuju baqa, di sana, di tengah pasar, seorang pemuda, penjahit baju, muncul dengan sebuah berita: Siwaluh Menggugat!

Matanya tajam setajam jarum yang siap mengikat kulit sapi. Merah seperti lahar panas yang melompat dari puncak merapi. Lelaki itu, Si Mata Merah, marah dan menyumpah jaman! Dengan baju yang dirancangnya sendiri dia mulai mengembara dari pasar ke pasar. Berdialog dengan pelajar-pelajar yang sibuk dengan serangkaian penelitian. Lelaki itu, Si Mata Merah berbicara tentang kehendak alam dan menentang logika suku Mondunga.

“Lihatlah, mahluk sisa purbakala itu melangkah ke mari. Pakaiannya mengingakantku pada legenda dan cerita-cerita yang tak pernah ada,” seru seorang pelajar dari suku Guata. Lantas dengan sekejap, mereka berkumpul untuk mendengar ocehan Si Mata Merah dan untuk kemudian menertawakannya serta mengakhiri kegilaan Si Mata Merah dengan hinaan dan lemparan batu.

“Kesalahan terbasar bagi suku Guata adalah penyerahan sepihak yang dilakukan La-Bate! Apakah kau semua tak pernah mendengar sejarah?!” demikianlah Si Mata Merah selalu mengakhiri kata-kata dengan siapa saja yang ditemuinya.

Inilah akhir dari suku Guata. Perlahan tapi pasti, suku asli yang mendiami lembah itu mulai tersisih secara eksistensi. Pemuda-pemudi tak lagi sudi mengakui kekalahan La-Bate. Mereka lebih suka mengenangnya sebagai peristiwa perundingan pencerahan.  Mereka pengagum pengetahuan. Dan pemeluk keyakinan bahwa tak ada yang pasti di dunia selain perubahan dan seterusnya untuk perubahan. Kisah Siwaluh hanya sekumpulan dongeng yang boleh jadi hidup di masa antah berantah. Persahabatan manusia dengan binatang dan mambang hutan hanya dongeng memalukan yang tak pantas diungkapkan. Sebab manusia yang sudah tiba pada puncak tertinggi pemikiran dan eksistensi teknologi adalah mahluk atas yang paripurna, dan oleh karena itu, mahluk lain hanya menjadi faktor pelengkap bagi lautan ilmu yang akan terus dilayari. Dan Aruna, Aruna adalah bapak segala suku yang mampu menyatukan kasta serta menyelamatkan Guata dari lembah kejahatan kemanusiaan: pembodohan.

Maka, inilah akhir dari suku Guata.

Sementara kian banyak anggota suku Guata yang risih dengan ocehan si Mata Merah, penerus klan Aruna, selaku penguasa dan pemangku segala suku, menyusun siasat untuk melenyapkan penjahit baju itu.

“Kita mahluk intelektual dan bermoral. Biarkan Si Mata Merah menjadi urusan suku Guata,” ujar seorang pemuka agama ketika diminta pendapatnya mengenai kegiatan Si Mata Merah yang perlahan mendapat tempat di hati sebagian kecil suku Guata.

“Siapa dia?”
“Orang gila yang mengaku-aku utusan dewa yang akan menghukum kita,”
“Apakah di dalam kitab suci tertulis namanya?”
“Tidak”
“Kalau begitu dia mesti keturunan Siwaluh yang siap melancarkan kudeta”
“Daulat, paduka ketua yang mulia,”
“Bawa dia ke sini, aku ingin tahu isi kepala dan niatnya,”

Lantas sepasukan berkuda menyisir lorong demi lorong malam. Menerabas kampung-kampung sepi yang beranjak mencekam. Di sebuah tempat, sambil terkantuk-kantuk, Si Mata Merah disergap, digiring dan dibebat. Dia dihalau menuju sebuah lapangan untuk kemudian, pada keesokan harinya dipertontonkan kepada suku Guata.

“Dasar orang gila!”
“Sinting!”
“Pemberontak!”

Kemudian pemangku segala suku muncul di tengahtengah keriuhan yang semakin siang semakin beriak riam.
“Apakah di antara kamu, wahai saudaraku, ada yang mengenal orang ini?” tanyanya kepada sederetan pemangku adat Guata. Semua serentak menggeleng. Dan mencibir. Dan meludah ke tanah.
“Apakah benar dia seorang suku Guata?” tanya pemangku adat kemudian. Semua yang ditanya, kembali menggeleng.
“Dia muncul dari tengah-tengah pasar kemudian mulutnya yang kurang ajar itu terus mengoceh dan menceritakan mengenai kebenaran dongeng Siwaluh serta kekalahan dan kesalahan La-Bate. Apakah kalian mendengarnya?”

“Sialan!”
“Anjing kurap!”
“Bunuh dia!”
“Bakar!”
“BEDEBAH!”

“Kita telah hidup bersama sekian ratus purnama. Kita menemukan teknologi dan menggunakannya untuk kemajuan peradaban bersama. Tiba-tiba orang ini muncul dan bercerita bahwa Mondunga punya kehendak tak terbatas atas Guata, apakah kalian mendengar?”

“Gantung!”
“Pancung!”
“BEDEBAH!”

“Aku serahkan pengacau ini kepada kalian untuk selanjutnya saudaraku semua pertimbangkan dan kemudian rumuskan nasibnya yang telah mengundang bencana,” ujar pemangku segala suku sambil melepaskan ikatan tangan Si Mata Merah.
***

Suku Guata hanya ingin duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan suku-suku lain dimanapun, di bumi ini. Mereka membenci perbudakan karena perbudakan adalah tindakan amoral yang akan mencederai sejarah dan peradaban. Dan untuk pencapaian itu, mereka bekerja pada lembaga adat suku Mondunga dan terlibat dalam serangkaian ekspolarsi dan eksploitasi tanahnya sendiri. Malangnya meski mereka dilibatkan dalam usaha pencarian jati diri, mereka harus kehilakan eksistensi. Dan itu sungguh taruhan yang tak masuk di akal Si Mata Merah.

Setelah pengadilan itu, malamnya Si Mata Merah dan beberapa pengikutnya dihabisi. Seperti kisah para martir di setiap peradaban manapun di muka bumi ini, Si Mata Merah pun menghadapi konsekuensi pertempuran idiologi. Dia mati begitu mengagumkan dan dengan kebanggan yang tinggi dan tak dimiliki pejuang mana pun yang pernah hadir dan lahir di Guata.

Inilah akhir dari suku Guata. Dan ketika fajar tiba, serombongan perempuan dengan bayi di gendongan mendatangi lapangan yang dijadikan tempat pengadilan bagi Si Mata Merah dan pengikutnya. Samar-samar suara kutukan itu muncul dan akhirnya tertangkap jelas oleh mereka. Si Mata Merah menggugat jaman.

“Kesalahan terbasar bagi suku Guata adalah penyerahan sepihak yang dilakukan La-Bate! Apakah kau semua tak pernah mendengar sejarah?! BEDEBAH?!”

Betapa ganjil harapan-harapan yang telah menggoncangkan hati dan membuatnya peka pada suara yang tak pernah ada. [1]


Binjai 15 Januari 2011


[1] Mohammad Diponegoro dalam Perasaan yang sangat ajaib kosongnya, dalam Odan dan sekumpulan cerita lainnya, Hikayat 2006. 

Dimuat pertama kali di Rakyat Merdeka Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.