Minggu, 09 Oktober 2011

Pembakaran Buku, Gejala Terbentuknya Negara Fasis (Gaya) Baru*


PEMERINTAH kembali melakukan kejahatan terparah dalam sejarah peradaban manusia. Setelah sempat menghilang, aksi pembakaran buku kembali dilanjutkan. Pembakaran buku-buku sejarah yang tidak mencantumkan Partai Komunis Indonesia (PKI) di belakang peristiwa G30S kembali terjadi di Sleman. Tak kurang dari 8.993 buku sejarah yang mengacu pada kurikulum 2004 itu dimusnahkan Kejaksaan Negeri Sleman, Yogyakarta. 

Buku-buku yang dimusnahkan itu antara lain; Kronik Sejarah Kelas 1 SMP dengan penerbit Yudhistira, Manusia Dalam Perkembangan Zaman penerbit Ganeca Exact, Sejarah 2 untuk SMP penerbit Erlangga, Sejarah 3 untuk SMP penerbit Erlangga, Sejarah Nasional 1 SMA penerbit Bumi Aksara, Sejarah Nasional dan Umum 1 SMA penerbit Balai Pustaka, serta buku-buku sejarah lain yang mengacu pada kurikulum 2004.

Pengumpulan buku-buku itu dilakukan sejak tiga bulan lalu oleh Kejakasan Negeri Sleman bekerjasama dengan Dinas Pendidikan. Buku-buku tersebut ditarik dari sekolah dan toko buku di Kabupaten Sleman.
Pemusnahan barang cetakan berupa buku teks pelajaran sejarah SMP/MTs dan SMA/MA/SMK yang mengacu pada `kurikulum 2004` dilakukan dengan cara dibakar dan dirobek kecil-kecil sehingga tidak bisa dibaca dan tidak bisa dipergunakan lagi.

Tragedi serupa juga terjadi pada 20 Juli lalu, dimana Kejaksaan Negeri Depok membakar 1.247 buku sejarah, bahan pelajaran sekolah menengah pertama dan atas. aksi primitif itu juga  merembt ke sejumlah wilayah, seperti di Bogor, Indramayu, Kendari, Kuningan, Kupang, Pontianak, Purwakarta dan kota-kota lain di Indonesia. 
Masih dengan alasan yang sama, pemerintah tetap mengatakan bahwa buku-buku tersebut dinilai telah memutar balikkan fakta. Kantor Berita Antara melansir, menurut Kepala seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Sleman, Bambang Surya menyontohkan, dalam kasus pemberontakan Madiun 1948 tidak dituliskan bahwa pemberontakan itu dilakukan oleh PKI. Contoh lain yang jelas, papar Bambang, dalam buku sejarah tersebut juga dituliskan sejarah kelam G 30 S tanpa ada embel-embel PKI-nya.

Awal petaka bagi nasib sejumlah buku sejarah yang disita itu berasal dari Surat Keputusan Kejaksaan Agung Nomor 019/A-JA/10/ 2007 tanggal 5 Maret 2007 tentang pelarangan buku sejarah tahun 2004 dan Surat Perintah Kejaksaan Agung Nomor Ins. 003/A-JA/03/ 2007 tentang instruksi penarikan buku sejarah kurikulum 2004 dari wilayah Indonesia. Padahal buku sejarah itu ditulis dan diterbitkan oleh sejarawan dan perusahaan yang jelas dan bertanggung jawab. Buku-buku itu juga disusun berdasarkan kurikulum 2004, dimana pemerintah ikut bertanggung jawab karena dalam kurikulum tidak mengatakan harus menyebut G30S/PKI.

SK Kejakgung ini kemudian dieksekusi oleh kantor-kantor kejaksaan negeri (Kejari) di sejumlah kota. Kejaksaan Negeri Kota Depok misalnya telah memusnahkan 1.247 buku sejarah kurikulum 2004 hasil penyitaan dari lima SMP dan tiga SMA di wilayah Depok. Demostrasi pemusnahan buku sejarah itu dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar, Walikota Depok Nurmahmudi Ismail, dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda dengan cara dibakar.

Penyitaaan dan pembakaran buku-buku pendidikan yang lebih bisa dipandang sebagai pesanan penguasa itu merupakan bentuk penjahiliahan struktural yang nyata. Tindakan itu tentunya bertentangan dengan hak-hak dasar warga negara untuk bebas menyatakan pikiran dan pendapat (secara lisan/tulisan) , juga kebebasan memperoleh, memiliki, dan mengolah informasi seperti yang telah dijamin UUD 1945.
Perbuatan bodoh ini sekaligus pula telah meneror dunia akademisi untuk mengeluarkan pendapat yang telah dijamin konstitusi. Terlepas apakah sejarah yang tertulis itu masih diselimuti kontroversi, namun pembakaran buku tetap tak bisa dibenarkan.

Kebijakan pemerintah yang terkesan mengada-ada itu pantas mendapat perlawan dari segenap warga negara. Bagaimana tidak, pembakaran buku yang berasal dari ide dan pengetahuan adalah bentuk pemberangusan hak untuk mendapat informasi sekaligus. Tentulah kita tak hendak merasakan situasi kekejaman yang dilakukan rejim Adolf Hitler, Musolini maupun komunis Peking yang dengan terang-terangan melanggar hak warga negara untuk mendapat informasi dan melanggar hak untuk memperoleh pendidikan secara demokratais dan manusiawi. 

Untuk itu, secara keras Kapasmerah menentang penyitaan dan pembakaran terhadap buku-buku yang dituduh telah memanipulasi sejarah tersebut. Serta mengajak kepada sidang pembaca untuk merenungi upaya pembodohan yang tengah dipraktekkan pemerintah terhadap warga. Bagaimana dengan Anda? 

(Oleh HT. Mahasiswa UBK, dimuat pertama kali di Buletin Kebudayaan Kapasmerah edisi ke IX  Minggu pertama November 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.