Oleh: HT
Seekor lalat, hinggap di paru-paruku yang masih tergenang darah
Dia menggelar tikar sambil membakar jagung
Tak lama lalat yang lain datang bersama seekor kecoa yang kepalanya botak seperti profesor
Suatu waktu mereka berpiknik di atas paru-paruku yang masih anyir
“Dia sahabat kita yang baru saja menjadi sarjana,” kata lalat pertama
“Oh ya? Aku terang kaget tanpa maksud apa-apa,” sambung lalat kedua yang ternyata betinanya.
“Aku tidak perduli siapa dia, yang jelas, sekarang dia menjadi begitu berarti bagi pesta kita,” kecoa dengan suara bass-nya ngeloyor pergi, hilang selera makanya.
Seekor lalat dan seekor lalat lainnya
Sepanjang malam terus bercerita.
: tentang rumah-rumah yang proyeknya ditangguhkan
: tentang jalan layang yang pengembangannya gila-gilaan
: tentang paru-paruku yang ternyata tinggal satu
“Aku bosan, aku minta kau kawini saja,” rengek lalat betina
“Aku tak mau hamil begitu saja, memangnya aku ini manusia?”
Mendengarnya lalat pertama cuma menggetarkan sungutnya
“Ah, peduli amat! Proyek itu, ‘kan bukan milik kita berdua.”
Suatu waktu mereka bertengkar di atas paru-paruku yang tinggal satu
“Lebih baik aku minta pada mas kecoa, dia lebih bermartabat darimu”
Seekor lalat hinggap di paru-paruku yang tergenang darah.
Tak ada lalat betina, tak ada kecoa, tak ada pesta, tak ada pembicaraan tentang proyek apa-apa.
tak ada siapa-siapa
Seekor lalat, dengan cepat membereskan sisa-sisa kotorannya
--27 Juli 04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan