Minggu, 27 Mei 2012

Tujuhbelas Tahun Kemudian


Oleh: Hujan Tarigan

“Hahaha, bagaimana mungkin? Kau ini penipu kelas teri yang menjual lelucon paling garing!”

“Tidak. Aku tidak sedang menipu. Justru aku korban penipuan, aku membicarakan kenyataan. Kenyataan!”

Brak! Meja kembali digebrak. Lelaki lusuh di hadapan kami menundukkan wajahnya. Tirus wajahnya yang keruh dan dandanannya yang semrawut meyakinkan kami, bahwa lelaki ini memang telah melakukan sebuah penipuan dengan menjual obat omong kosong.



“Jadi kau tetap mengaku, kalau kau ini adalah pemuda itu?” tanya Sarman ketus. Lelaki asing itu mengangguk sambil terus membuang wajahnya ke lantai

Brak! Meja digebrak lagi. Lelaki itu kaget dan mengangkat wajahnya menantang Sarman. Gemeretak giginya terdengar jelas. Aku menarik Sarman, meredakan emosinya. Ku gapit tangan Sarman, merangkulnya lantas mengajaknya menjauhi meja introgasi.

“Kau yakin masih mengenal rupanya?”

“Entahlah, lupa-lupa ingat. Itu kelam sekali. Aku tak mau mengingatnya. Tapi si brengsek ini benar-benar membuatku muak dan murka!” bisik Sarman sambil menghempaskan rangkulanku. “Biadab!” gerutunya lagi.

Lelaki lusuh itu masih duduk di tempatnya. Tangannya terikat ke belakang. Persis di atas kepalanya menggantung bohlam 10 watt. Remang. Aku berusaha keras mengingat peristiwa itu.

“Aku akan coba menelpon walikota, semoga dia belum tidur dan mau datang ke sini,” kataku menenangkan Sarman yang kian kalap.

Brak! Meja digebrak lagi. Lelaki itu tersentak lagi. “Hei Cecunguk, aku tidak main-main. Akan kuseret kau ke pengadilan! Akan kugantung kau!” ujar Sarman sambil menempeleng lelaki itu. Aku tak bisa mencegahnya.

“Halo, selamat malam. Maaf menganggu, bisa bicara dengan Pak Walikota? Apa? Ini penting. Mendesak. Ini dari Kapten Hujan. Betul. Penting. Soal lelaki itu. Kami sudah temukan dia. Bagaimana? Bapak lihat saja sendiri. Saya? Saya Pak. Siap Pak. Laksanakan Pak,” kataku putus-putus kepada orang yang ada di ujung telpon.


***

“Ampun, saya korban, kok saya dipukuli. Apakah tak ada keadilan di kota ini?” rintih lelaki lusuh itu sambil menghiba-iba. Sementara Sarman terus menghujani tamparan dan tinju ke arah wajah lelaki lusuh.

Gedebuk. Sejurus lelaki itu terpental jatuh tersuruk di lantai bumi. Sarman menariknya bangkit, dan siap mengarahkan bogeman mentah lagi ke wajah lelaki kucel.

“Cukup Sarman! Cukup!” cegahku.

“Tidak! Lelaki celaka ini, lelaki celaka ini telah membunuh kakakku! Membunuh adikku. Membunuh kakakmu juga, membunuh teman-teman kita! Teman kita Hujan! Teman kita!” ujar Sarman tak kuasa membendung tangis kesalnya. Aku tahan Sarman. Menariknya.

“Itu sudah belasan tahun yang lalu,” kataku.
“Belasan tahun, dan dendamku semakin menggunung!” geram Sarman. Sementara si lelaki lusuh terus menahan sesak nafasnya. Dia mengejang di atas lantai. Aku tinggalkan Sarman yang tengah berdiri menghadap dinding ruangan, meratapi sejarah, meratapi kisah kelam kota kami. Dengan langkah terseok, aku menghampiri si lelaki kucel yang kami tangkap sore tadi..

“Mungkin nasibmu akan ditentukan besok, tapi untuk terakhir kali, tolong kau jawab pertanyaanku. Kenapa kau bunuh anak-anak tak berdosa itu?” tanyaku sambil mencoba mengangkat dan mendudukkannya di atas bangku introgasi. Lelaki itu menangis. Wajahnya yang jelek, terlihat semakin jelek.

“Aku tak membunuh. Siapa pun. Aku tak bisa menghilangkan nyawa siapa pun. Bahkan, tikus-tikus itu….” kata dia dengan suara tangis ditahan. Aku berdiri menghadapnya, mencoba menyidik kebenaran lewat tatapan matanya.

“Suatu hari, aku hanya lewat di kota ini,” kata dia mengawali kisah tujuhbelas tahun yang lalu. “hari itu menjadi hari terkutuk bagiku. Terkutuk bagi anak-anak kecil itu,” lanjut dia. Aku terus mengawasi pelipis matanya yang telah lebam akibat dibogem Sarman.

“Aku, tak tahu apa-apa, sampai akhirnya aku membaca pengumuman yang tertulis di tembok sebuah pabrik konveksi celana dalam,” dia bercerita dan ingatanku kembali pada tujuhbelas tahun yang lalu.

“Satu schilling untuk satu kepala tikus,” tawar Walikota.
“Aku setuju,” kata lelaki asing yang baru tiba di kota kami. Beberapa jam setelah kesepakatan, dari sebuah pojok gang di kota kami yang kumuh, terdengar suara alunan seruling yang demikian merdu. Suara itu lambat laun mengecil dan menghilang di arah anak sungai yang mengalir di bibir hutan.

Aku masih ingat, usai alunan seruling itu, wabah tikus di kota kami menghilang dengan sekejap. Ribuan ekor tikus lenyap seiring suara seruling yang senyap di balik hutan lembab.

Malamnya, kami berpesta merayakan kebebasan kota dari kepungan tikus yang menjijikkan.

“Percayalah tuan. Aku tidak membunuh siapapun. Demi Tuhan,” kata lelaki lusuh itu terus meyakinkanku. Sementara tak jauh dari tempatku berdiri Sarman telah duduk di balik meja kerjanya dan menutup wajah dengan telapak tangannya. “Bedebah,” samar kudengar dia mengumpat.

“Lalu bagaimana dengan ancamanmu, tujuhbelas tahun yang lalu?” tanyaku.

Usai pesta pada malam harinya, paginya, lelaki muda dengan seruling kayu itu mendatangi balaikota dan menuntut janji walikota. Sampai sekarang aku memang tak pernah paham, mengapa si lelaki berseruling itu pergi meninggalkan balaikota dengan menebar sebuah ancaman. Kedua orang tuaku tak pernah mau membuka rahasia. Begitu pula orang-orang yang saat itu hadir di balaikota. Semuanya memendam rahasia. Sama seperti lelaki kucel di depanku ini, yang barang tentu memendam rahasia kebenaran versinya sendiri.

Tujuhbelas tahun lalu, aku baru jatuh dari pohon apel. Kakiku digips. Dan tak bisa berjalan. Aku sedih sekali ketika semua anak-anak seusiaku pergi ke gereja minggu pagi. Dari balik jendela kamarku, aku melihat kakakku setengah berlari pergi meninggalkan halaman rumah. Aku tak menyangka itu saat terakhir aku melihat saudaraku itu.

“Saya, tidak mau anak-anak di kota Hamlin tumbuh menjadi penipu. Saya mau mendidik mereka, mengajar mereka menjadi manusia yang jujur. Manusia yang ingat pada janji,” ujar lelaki lusuh di depanku itu.

“Biadab!” potong Sarman sambil melompat ke arah lelaki lusuh. Kau bunuh saudaraku! Kau bunuh semua anak di kotaku. Sadis kau! Maniak!” Sarman mencabut pistol yang terselip di pinggangnya.

“Tahan Sarman,” aku mencegah. Namun terlambat, pistol terlanjur meletus. Bau mesiu meruap di ruang itu. Lelaki lusuh terkapar di lantai.

“Demi Tuhan, mengapa tidak pernah ada yang percaya dengan ceritaku?” kata dia menahan sakit.. darah mengalir dari paha kirinya. Marahku memuncak. Aku kehilangan kesabaranku.

“Kejam kau Sarman!”
“Dia yang kejam,” sambil mengacungkan pistolnya ke arah lelaki lusuh yang terkapar di lantai.

“Hujan, dia hanya ingin memengaruhimu. Itu pernah dia lakukan tujuhbelas tahun yang lalu. Sadar kah kau? Dia penipu ulung! Harusnya kita bunuh saja dia malam ini,” ujar Sarman sambil terus berusaha mendekati lelaki lusuh dan menarik picu pistolnya.

“Kuperingatkan kau Sarman, mundur,” kataku sambil merebut pistol yang ada di tangannya. Sarman melawan, tapi akhirnya dia mundur juga.

“Apakah, kau tak pernah mendengar kisah dari mulut orangtuamu tentang janji imbalan terhadapku?” tanya dia. Aku menggeleng. Sarman terdiam. Sambil menahan sakit lelaki itu meneruskan kisahnya.

“Tapi, kami percaya, bahwa serangan hama tikus itu akibat ulahmu!” kataku.

“Aku tidak mengerti soal hama tikus itu. Aku hanya berniat menolong, dan sudah seharusnya aku mendapatkan buah dari usahaku membersihkan Hamlin dari tikus,” kata dia.

“Dusta! Kau lah yang menyebar hama itu. Sehingga tikus-tikus memenuhi rumah kami, masuk ke dalam baju dalam dan sup makan malam!” bantah Sarman sambil dengan terus berusaha meraih dan menghajar lelaki lusuh.

“Ketika aku mengancam kota, itu bukanlah ancaman sebenarnya. Mana mungkin pengembara sepertiku bisa mengancam walikota. Sumpah, demi Tuhan, aku hanya tak ingin, anak-anak kecil di kota Hamlin tumbuh menjadi penipu dan tak jujur pada kata-kata,” kisah lelaki itu lagi, masih menahan perih luka tembak di pahanya.

“Banyak bicara kau!” sambar Sarman, kembali melayangkan pukulan ke wajah si lelaki lusuh. Aku terhenyak. Telfon berdering.

“Biar aku,” kata Sarman. Sambil beranjak dari posisinya dan mengangkat gagang telfon.

“Selamat malam” kata dia dengan suara tegas kepada orang di ujung telpon.

***

Tujuhbelas tahun yang lalu, kotaku sepi dari anak-anak. Hanya ada empat bocah berusia sepuluh tahunan yang tinggal: Aku, Gina, Sarman dan Tarub si anak hilang. Sekarang Gina sudah menikah denganku. Sarman menjadi bawahanku dan Tarub hingga saat ini tak pernah kembali pulang.

***

“Siap Pak, saya Pak. Sebentar Pak,” ujar Sarman terputus. “Kapten Hujan, dari Walikota, untuk Anda.” Kata Sarman sambil menyerahkan gagang telepon kepadaku.

“Halo, selamat malam Pak. Siap Pak. Bagaimana Pak?” aku terdiam. “baik Pak,” lanjutku mematuhi perintah walikota. Lantas dengan pelan-pelan sekali aku meletakkan gagang telepon pada tempatnya. “Bawa dia,” perintahku kepada Sarman sambil beranjak ke arah pintu belakang pos jaga perbatasan.

Hari mendekati pagi. Sarman sudah berdiri di bibir jurang. Sementara si lelaki lusuh, dengan luka menganga di paha, duduk bersimpuh menghadapku.

“Sebelum mati, izinkan aku memainkan sebuah lagu. Lagu untukmu,” ujar lelaki itu. Aku menimbang sejenak.

“Demi Tuhan, jangan Hujan,” kata Sarman memeringatkan.

“Berikan,” kataku memutuskan.
“Tapi..”
“Sersan Sarman, dengar perintahku,” suaraku meninggi. Sarman balik kanan dan pergi ke dalam pos.

“Lewat laguku, akan kukisahkan kepadamu tentang kabar anak-anak itu,”ujar lelaki lusuh. Aku memendam dendam. Tapi sebagai manusia yang bersalah, si lelaki lusuh itu tetap punya kesempatan untuk menjelaskan duduk perkara.

“Ini, Kapt,” ujar Sarman sambil menyerahkan sebuah seruling yang dibungkus selendang sutra merah muda. Lalu aku menyerahkan seruling yang terbuat dari kayu itu kepada si lelaki lusuh.

“Inilah lagu, lagu pengakuan seorang lelaki lusuh,” dia mulai menyanyi.

“Suatu hari, aku singgah untuk membantu mengusir hama tikus-tikus itu.
Dengan imbalan satu schilling untuk setiap ekor,
aku meniup seruling dengan nada-nada minor,
maka inilah lagu, lagu anak manusia
yang menjadi korban tipu daya sang walikota…”


Kemudia lelaki itu diam, dan mengeluarkan sebuah seruling yang dibungkus selendang.

***

Hari hampir terang, ketika Tarub menghentikan tangisannya.
“Nawang Wulan, maafkan aku. Ingatlah pada putri-putri kita yang lucu,”

Namun terlambat, Nawang Wulan sudah menghilang di tengah hutan. Tinggal Joko Tarub, menangis menyesali ketidakjujurannya.

“Maka, bertemulah si peniup seruling dengan seorang lelaki yang nelangsa.
Di tengah hutan, mereka berdiskusi soal pertemuan dan kehilangan.
Berkisahlah mereka tentang sebuah kota lama.
Hamlin, Hamlin yang dikuasai seorang Walikota tamak dan durjana.”


***

“Aku telah mengerti sebuah rahasia,” ujar Tarub kepada si peniup seruling. Si peniup seruling menarik nafas. Panjang.
“kalau begitu, apa yang kau ragukan? Bukankah yang benar itu benar? Dan salah itu tetap tak bisa dibenarkan.”
“aku mendengar orang-orang tua di kotaku telah berkata-kata palsu tentangmu. Atas nama ayah-ibuku, terimalah selendang ini sebagai tanda maafku kepadamu,” ujar Joko Tarub sambil menyerahkan sepotong selendang sutra berwarna merah muda.

***

“Maka pergilah pemuda Tarub mencuci dosa-dosanya.
Bertualang dari satu cerita ke cerita lainnya.
Demi sang istri, Joko Tarub menjadi apa saja.
Termasuk menjadi santo atau setan, dia bisa lakukan,”


***

Di cakrawala timur, semburat cahaya surya membelah angkasa. Di hadapanku, si lelaki lusuh baru saja selesai menyanyikan sebuah tembang. Lalu dengan pelan-pelan, seolah-olah sudah siap menjemput ajal, dia bangkit. Dengan satu kaki., dia berjalan mengarah padaku.

“Ini, selendang Nawang Wulan. Pergilah. Sebab kota ini akan segera karam oleh ketamakan walikota dan orang-orang tua,” ujarnya sambil menyerahkan selendang itu kepadaku. Aku mematung saja. Begitupula Sarman. Dia terkesima dengan alunan seruling lelaki ini.

“Sekarang aku mau pergi. Kalian tidak perlu ikut. Sebab sisa kejujuran kota ini masih lekat pada diri kalian berdua,” kata dia sambil memunggungiku.

Terseok-seok lelaki itu menyeret kakinya yang luka parah. Pelahan, hingga akhirnya menghilang di sebuah titik…

Aku dan Sarman sadar akan hal itu. Tapi kami tak kuasa melawan hipnotis ketulusan lelaki itu bertutur.

“Sebenarnya, aku pun sudah lama mengetahui soal penipuan yang dilakukan orang-orang tua kita,” kata Sarman. “tapi aku yakin, mereka menipu si peniup seruling tentu demi kita juga,” ujar Sarman, menarik kerah kemeja seragamnya.

“Sarman, apa kau percaya tentang kisah Jaka Tarub?” tanyaku. Sarman menggeleng.
“Tidak,” jawab dia. Senyum puas mengembang dari bibirnya. Seperti seulas senyum yang keluar dari seorang bayi yang baru lahir ke bumi.

Parit Rimau, Langkat, 12 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.