Selasa, 01 Maret 2011

Bonfire of Liberties

Membakar buku adalah perbuatan paling hebat yang pernah dilakukan seorang pengecut

Oleh: Hujan Tarigan

“Ini barang terakhir yang bisa terselamatkan. Jagalah dan rawat. Kalau memungkinkan, perbanyak!” ujar lelaki itu sambil mengeluarkan bungkusan dari balik jaket kulitnya.
“Mau ke mana kau?”
“Menjemput maut!” jawab lelaki berjaket kulit sambil melangkah tergesa-gesa hingga akhirnya menghilang di temaram senja.

Ini tahun ke tujuh, pemerintahan Rezim Anti Buku berkuasa. Itu artinya sudah tujuh tahun pula tak pernah ada buku di negeri kami. Benar-benar tak ada buku. Sebab tak ada toko yang menjual buku. Semua toko menjual kemewahan yang dipajang di etalasenya. Benar-benar mewah. Pengusaha adalah penguasa. Mereka lebih suka berbisnis nyawa manusia.
Begitulah. Dan ketika mereka bersetubuh, maka akan lahirlah sejumlah kebijakan yang menjadi anak kandung rezim di negeri ini. Sekolah tanpa buku. Semua guru menjelaskan mata pelajaran yang sudah terangkum dalam kurikulum pemerintah dengan mulutnya atau sejumlah alat peraga. Semua siswa tak lagi membaca buku, sebagai gantinya mereka diwajibkan menonton propaganda pemerintah yang disiarkan di stasiun televisi dari pukul lima pagi, hingga bertemu pukul lima pagi lagi. Penguasa adalah panglima. Dan oleh karena kekuasaannya yang begitu digdaya, seluruh penghuni negeri harus menelan mentah-mentah segala firman dan dogmanya. Buku benar-benar menjadi langka dan warisan purbakala. Suatu mahakarya yang hanya bisa dilihat di masa entah berantah. Satu-satunya buku yang tak ikut dalam pemusnahan buku tujuh tahun lalu, kini disimpan di Museum Nasional. Bisa ditebak. Buku itu mestilah berisikan azimat suci dari penguasa negeri. Sebuah pedoman penghayatan hidup mengenai berbahayanya buku selain: Satu Buku Yes.

“Buku adalah candu”
“Buku, Media yang Kontra Revolusioner”
“Buku Itu Ghibah”


Demikianlah sedikit dari pokok ajaran yang termaktub di dalam satu-satunya buku yang diperbolehkan di negeri ini.

Sudah tujuh tahun pula, negeri kami biasa dengan agitasi pemerintah yang mengharamkan jenis buku apapun beredar. Ibu rumah tangga mesti mengimpor langsung chef ternama dunia hanya untuk mendemonstrasikan cara memasak kerang rebus di halaman Museum Nasional. Dan itu sudah biasa. Anak remaja terdidik menjadi mata-mata yang akan melaporkan sesamanya apabila ada yang tertangkap tangan memiliki buku. Pegawai negeri tak lagi disibukkan membaca diktat beratus halaman hanya untuk merumuskan keadaan. Mereka sudah mahir dengan sendirinya. Sifat kebinatangannya kian terasah akibat dukungan penuh pemerintah.

Seluruh anak negeri tiga kali dalam seminggu wajib mendatangi Museum Nasional. Di tempat itu, para guru memimpin upacara penghormatan dan mengelilingi sebuah peti kaca yang menyimpan “Kitab Undang-undang dan Wajib Dilaksanakan”.

Pernah suatu waktu seorang guru dengan konyol memaki dan membantah karangan pemerintah. Dengan diam-diam lelaki itu mencuri dan menggandakan kitab suci yang tak pernah jelas apa isinya itu. Tentu saja dengan maksud mengolok keyakinan rakyat yang sudah sesat, guru itu mengubah isi dan substansi buku. Penuh dengan kerahasiaan, disebarluaskannya kitab itu pada pasar gelap. Transaksi terjadi, kitab palsu terjual.

Namun, kekonyolan oknum guru itu tak berlangsung lama. Baru satu yang laku, aksinya berhasil diendus aparat “Mahkamah Agung Yang Khusus Mengurus Buku”. Seluruh hasil cetakan dimusnahkan. Kitab asli dikembalikan ke dalam peti kaca yang diselimuti kesakralan. Dan si guru, dieksekusi mati di tiang gantungan. Mayatnya dibiarkan menggantung selama berbulan-bulan. “PERINGATAN” ditulis di sebilah papan iklan, yang digantungkan di lehernya. Rakyat yang sesat pun ikut melempari dan menghujat. Padahal si guru sudah menjadi mayat.

Guru itu hanya satu diantara banyak protestan yang mengalami nasib sial. Lain diantaranya adalah, Marco Singodimedjo. Penyair yang sekaligus buruh pabrik itu menghilang setelah kumpulan puisi cintanya beredar. Menurut sas-sus, lelaki itu sudah mati. Ditenggelamkan di laut selatan. Dasar nasib sial. Buku tak laku dijual, malah nyawa yang dijagal. Masih ada lagi sejumlah nama. Darius, Haidar, Timur, Omar Hen dan lain sebagainya. Namun, semuanya hanya tinggal nama saja. Nama-nama yang tak punya arti apapun di tengah masyarakat yang kian gelap dan kalap oleh sesat.

“Ah, kau menyimpan buku itu ya?”
“Tolong, kawan. Bantu aku merahasiakannya.”
“Tidak bisa. Kau hanya akan mendatangkan masalah. Pergilah, sebelum kami berubah pikiran,”

Lelaki itu menyingkir. Pergi dari takdirnya sendiri. Dia mengembara, mengumpulkan serpihan-serpihan masa lalu yang mengenang buku sebagai jendela ilmu. Dia teringat sebuah masa, ketika buku menjadi barang mewah. Dan untuk kemewahan itu, dia harus mencuri uang. Dan kadang kala, dia bulatkan niat untuk menerobos penjagaan perpustakaan yang super ketat. Hanya untuk mencuri antologi puisi cinta karangan WS Rendra. Tapi itu dulu. Sekarang, sebuah buku ada di tangannya. Sebuah buku hadir di masa-masa susah. Buku yang ada di tangannya sama sekali bukan lambang kemewahan. Buku yang ada di tangannya adalah lambang lahir kembalinya sebuah peradaban. Dan untuk mempertahankan panji itu berkibar, dia siap menanggung resikonya. Termasuk digantung di halaman Monumen Nasional.

Siang malam, lelaki itu berusaha keras menyeludupkan mesin copy. Lewat seorang rekannya yang eksil ke luar negeri dia berhasil membawa sebuah mesin copy seukuran tas jinjing. Rekannya yang lain ikut menyumbangkan kertas. Dalam sebulan, puluhan rim sudah terkumpulkan. Bulan-bulan pertama dia mulai mengcopy isi buku. Kemudian menjiilidnya menjadi buku. Persetan dengan hak cipta. Dimasa peperangan, siapa peduli dengan peraturan?


Seratusan eksemplar sudah siap diproduksi. Bakal amunisi melawan tirani. Lelaki itu bertekad bahwa usahanya ini adalah sebuah jihad. Untuk itu dia siap berjuang, meski sendiri dan melawan seluruh penghuni negeri.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pada sebuah insiden, lelaki itu tertangkap juga. Seluruh buku yang ada di tangannya disita Mahkamah Agung Khusus Mengurus Buku. Termasuk sebuah buku yang pernah diwasiatkan lelaki berjaket kulit kepadanya beberapa tahun silam.

Di negeri kami, penyebaran buku adalah kejahatan yang tak termaafkan. Untuk itu, pledoi terdakwa ditiadakan. Lelaki itu tertegun, ketika vonis dijatuhkan. Sebelum mati dia ingin sekali menulis buku. Namun, setelah tujuh tahun, dia lupa bagaimana mesranya hidup dengan buku. Lelaki itu tak tahu cara menulis buku. Di sela-sela penantian eksekusi, dia berusaha keras senafas dengan sejumlah karya yang pernah dibacanya. Namun tak kuasa. Dia betul-betul lupa.

Hari itu ribuan orang berjejal menunggu eksekusi si lelaki. Di halaman Monumen Nasional, mereka tumpah ruah membanjiri, membentuk lautan manusia yang mengingkari keyakinan sendiri.

“Gantung”
“Bakar”
“Mutilasi”
“Sampah Negeri!”

Hingar bingar sumpah serapah memekakkan telingaku.

“Sebelum mati, apa kau butuh pengakuan dosa?” tanya algojo yang wajahnya ditutup kain hitam, seperti ninja.

Lelaki itu bungkam. Memandang kosong ke tanah. Lantas, pelan-pelan dengan segenap keyakinan yang terkumpulkan, dia tegakkan badannya. Dia tantang ribuan umat yang menghujatnya. Lantas dia berteriak “Kita Adalah Angkatan Berbahaya!”. Tambang ditarik, leher lelaki itu tercekik. Dia mati mengesankan, begitu mengagumkan.

Sekarang aku ingat. Kalimat terakhir yang diucapkan lelaki itu adalah bait dari puisi WS Rendra. Agaknya begitu. Yah, aku kira-kira. Aku tak begitu yakin soalnya.


Binjai, 29 Desember 2009.

Dimuat di Oase Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.