Rabu, 02 Maret 2011

Simponi Dalam Partitur

 Naskah Drama Hujan Tarigan

Semacam  Pengantar


Hujan Tarigan sebagai Romeo dalam Carnaval
Sutradara CH Laya
Manusia hidup memang untuk mencari-cari sesuatu yang dapat menjamin hidupnya di dunia dan pasca dunia.Sehingga tak salah bila seluruh waktu manusia nyaris
habis hanya untuk memuaskan keinginan-keinginan keberadaanya. Ada yang sukses dalam proses pencapaian keinginan itu, ada yang puas hanya dengan hasil separuh dari perjuangan proses itu dan ada yang gagal.

Apa bila gagal sudah menjadi sebuah akhiran, maka sisa dari waktu hidup manusia habis hanya untuk menyesali kegagalan itu. Tapi tidak semua yang gagal melakukan hal seperti itu. Ada yang lebih ekstrim dari pada sekedar eforia kegagalan. Yang menunjukkan bahwa kehidupan seorang manusia itu adalah sebuah ketololan dan kekonyolan. Ada yang gagal nekad hidup diatas kenyataan. Ada yang lupa, dan ada juga yang gila. Sedikit yang menyadari, apapun yang sudah didapat seseorang manusia sebenarnya adalah sesuatu yang dicari selama proses kehidupan ini. Dan yakinlah. Hidup bukanlah hal yang sia-sia.

Drama satu babak, tak ada kejelasan. Tak banyak pembicaraan. Tak banyak gesture dan gerakan. Semuanya terjadi begitu saja. Seperti alat musik yang dimainkan secara tak beraturan.
Semua merupakan  ekspresi dan eksperimen pemain yang dapat dikatakan tidak memiliki hubungan  satu sama lainya. Tidak punya korelasi antara tampilan seorang pemain dengan pemain lainya. Setiap pemain menampilkan adegan-adegan sendiri, adegan-adegan yang diharapkan mampu mewakili kegelisahan yang dihadapi dalam pencarian sebuah proses kehidupan manusia.


Hujan Tarigan (2004)



Babak I

Lampu           : Gelap. Seperti sinaran yang kilat mengawali. Tiba-tiba terang. Terang           sekali. Kemudian redup. Perlahan-lahan lampu disorotkan pada sesosok pemain

Musik            : Seperti musik yang dimainkan secara kacau. Dalam tempo cepat. Seiring lampu yang meredup, musik kacau berubah menjadi lambat.

Panggung      : Kain-kain yang beraneka warna dipajang dan digelar di sekeliling panggung. Selembar kertas koran yang kusut sebagai alas duduk orang keempat diantara side wing. Diatas kotan duduk orang keempat melipat kaki kesamping dan menatap redup kearah penonton. Setelah sinar lampu benar-benar terang, musik kacau berhenti, masuklah orang pertama.


1. Orang Pertama
(masuk memakai jaket dan sepatu kets, tampilan urakan. Dekil, tidak terawat.mondar-mandir di atas panggung, seperti mencari sesuatu. Kemudian berhenti tepat di samping kanan orang keempat)
Para hadirin, jamaknya irrasionalitas yang diberikan kehidupan. Seperti manusia yang terkurung dalam sebuah kamar yang terkunci dari luar. Terasa gerah. Pengap dan sumpek. Saat ini saya sedang berputar-putar di dalamnya, dan memikirkan sesuatu.
Alangkah indahnya, bila rutinitas yang sedang saya lakukan saat ini, tak saya lakukan lagi sama sekali. Mungkin akan lebih baik lagi bagi saya, bila saya tak sedang berada di dalam kegilaan yang membosankan ini. (berjalan mengitari panggung). Tembok. Tembok. Dan tembok lagi. Sesekalinya saya terbentur pintu, pintu itu terkunci. Hidup bagi saya cuma menampilkan gerakan-gerakan maya. Tanpa sekalipun memberikan penghargaan atas usaha yang sudah saya lakukan selama ini. Padahal, saya tidak pernah mencari gampangnya saja.
Sungguh tak adil. Tidak adil! Benar-benar saya tidak bisa percaya dengan ruangan ini. Saya tak percaya dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam ruangan ini. Saya jengah, saya bosan.
(menunduk dan melihat orang keempat). Pemandangan apa lagi ini? (mengitari orang keempat). Kesakitan, dan lagi-lagi kesakitan. Tapi tak apalah, aku sudah biasa dengan kesakitan. Mungkin pemandangan dalam sepenggal adegan ini dapat bercerita pada kita semua tentang sebuah eksistensi saya yang terperangkap dunia metafora.
Hei, kamu! (menunjuk ke arah penonton). Yah kamu, ah…bukan, bukan kamu sayang. Itu tuh yang baju hijau, coba kemari dan coba amati pemandangan ini. Lebih dekat dan lebih cermat.
(merapatkan telinganya) Apa? Ogah? Ah… sayang sekali, benar-benar sayang sekali. Padahal ada yang ingin disampaikanya pada anda secara pribadi. Tapi sudahlah. Tidak apa-apa. Ogah juga tak mengapa. Toh ogah juga bagian dari absurditas yang kehidupan tampilkan.
(Berjalan menjauhi panggung). Tapi sebelum kita melihat kejutan-kejutan lain dari sebuah pemandangan yang kehidupan berikan….
Dengan segala hormat (menundukkan badan)
Dan… selamat ogah!
(orang pertama keluar melalui side Kiri)


Musik            : Kembali keras dan dimainkan tak teratur

Lampu           : Sorot menyorot. Kemudian gelap, ketika terang, musik sudah berhenti

Panggung      : Kembali sepi. Orang keempat tetap seperti semula. Orang kedua masuk dari side kiri


2. Orang Kedua
(memakai baju tidur, membawa guling kecil. Terlihat ketakutan dan seperti mencari sesuatu. Mengitari panggung. Berhenti di satu titik)
Ibu, dimana kau? Aku takut. (kemudian berjalan kembali. Dan berhenti). Ibu, dimana kau? Aku takut. (seperti tadi, berulang- ulang). Ibu, dimana kau? Aku takut. (terus, sampai dia merasa bosan
Dan kemudian berjalan menuju pintu dan keluar side kanan. Namun kembali lagi). Ibu, dimana kau? Aku takut. Ibu, dimana kau? Aku takut. Ibu, dimana kau? Aku takut.  (lalu keluar melalui side kanan)


Panggung      : Tetap seperti semula

Musik            : Tidak terdengar

Lampu           : Tetap terang


3. Orang Ketiga
(masuk, begitu dekil. Terlihat gelisah dan mencari-cari sesuatu. Matanya terus mengedar ke penjuru panggung. Melangkah menjauhi side kanan dan berhenti di depan orang keempat. Matanya mencari-cari sesuatu diantara penonton. Kemudian melangkah. Tertawa kembali diam dan ketakuatan. Tertawa keras sekali. Tiba-tiba terdiam. Ketika matanya tertuju pada orang keempat, dengan hati-hati mendekati orang keempat, seperti ingin tahu dan selalu waspada. Seperti memastikan sesuatu. Tiba-tiba..). Ahhhh…..(kemudian lari meninggalkan panggung melalui side kanan)


Panggung      : Sepi


4. Orang Kedua
(masuk. Masih seperti tadi). Ibu, dimana kau? aku takut.
(kemudian berjalan kembali. Dan berhenti). Ibu, dimana kau? Aku takut. (seperti tadi, berulang- ulang). Ibu, dimana kau? Aku takut. (terus, sampai dia merasa bosan. Dan kemudian berjalan menuju side kiri)


Panggung      : Sepi


5. Orang Ketiga
(kelelahan, berlari menuju panggung. Berhenti, membungkuk mengambil nafas. Kemudian berjalan mengitari panggung. Tersenyum. Kemudian tertawa keras. Sesaat kemudian berhenti tertawa dan kembali ketakutan kembali mencari-cari sesuatu. Berhenti pada orang keempat. Dan kembali berteriak). Ahhh….(dan lari menuju side kanan)

Panggung      : Sepi


6. Orang Kedua
(terlihat bosan dan kesal. Berjalan mengitari panggung. Berhenti). Ibu, dimana kau? aku takut. (kemudian berjalan kembali. Begitu seharusnya, hingga akhirnya berdiri disisi orang keempat dan merebahkan diri). Ibu, dimana kau? aku takut. (tersenyum sendiri. Bangkit dan duduk di samping orang keempat. Menoleh kearah orang keempat. Memainkan guling kecilnya. Kemudian menangis…). Ibu, dimana kau? aku takut. (beranjak mengitari panggung dan seterusnya keluar dari side kiri)


Panggung      : Sepi


7. Orang Ketiga
(muncul dari side kiri. Berlari sambil berteriak teriak. Terjatuh. Lari lagi. Kemudian jatuh disamping orang keempat. Kemudian lari kearah side kanan sambil berteriak-teriak)

8. Orang Kedua
(muncul daru side kanan. Setengah menangis). Ibu, dimana kau? aku takut. (kembali mengitari panggung dengan nada yang kesal). Ibu dimana kau? aku takut… (begitu seterusnya, hingga orang ketiga muncul dari side kanan)


9. Orang Ketiga
(berlari,. Berhenti di depan panggung menarik nafas dang ketakutan. Berlari lagi, mengitari panggung. Terus. Hingga akhirnya dia terjatuh didepan orang keempat. Berteriak ketakutan, menggeram). Ampun… aku lelah, aku tak bisa lari lagi…(terus mengulangi kata itu sembari menjauhi orang keempat. Merayap diantara kaki orang kedua menuju depan panggung melambaikan tangan pada penonton). Ampun,aku lelah, aku tak bisa lari lagi. (berteriak semakin keras dan cepat)

10. Orang Pertama
(muncul dari side kiri. Seperti bingung dan marah. Melihat kearah orang edua, orang ketiga, orang keempat secara bergantian. Kemudian…)
Diam!! Diam!!! Diaaammm!!

11. Orang Kedua
(duduk disi orang keempat masih terus…). Ibu, dimana kau? aku takut. (namun dengan suara yang pelan)

12. Orang Ketiga
(bergeser kearah panggung sambil merayap..). ampun, aku lelah, aku tak bisa lari lagi (dengan suara pelan)

13. Orang Pertama
(dengan kesal). Sudah cukup adeganya.. sudah cukup kebosanan yang kita tampilkan. Stop! Setop!! Setoop!!
(panggung sepi, semua terdiam, kemudian orang pertama maju kedepan panggung)
Bagaimana? Para hadirin sekalian…. Cukup membosankan bukan? Ruangan ini benar-benar membosankan. Dan saya begitu bosan untuk terus menerus tinggal didalamnya. Sekarang saya sedang gelisah dengan kebosanan bosan saya sendiri. Saya juga sudah mulai ogah untuk terus memandangi pemandangan yang ada didepan saya. Sepertinya saya harus mengakhiri keambiguan eksistensi dunia saya. Mungkin, mati adalah tindakan yang heroik dan sejati. (semua pemain berdiri dan berjalan perlahan membentuk barisan). Dan saya yakin, saya tak akan lagi mengulangi pengulangan yang membosankan hari-hari saya.


Panggung      : Semua pemain memberikan salam

Musik            : Terdengar lembut dan berirama indah

Lampu           : Suram




















Simponi Dalam Partitur atawa kegelisahan, dimainkan pertama kali pada 12 Januari 2004. pementasan dilaksanakan di ruangan aula 301, Universitas Bung Karno, dalam acara perkenalan anggota baru Teater Putra Sang Fajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.