Senin, 23 Mei 2011

Menjelang Hujan Datang

Oleh: Hujan Tarigan

"CEKI...” ujar Darius kegirangan. Ditatapnya deretan domino yang berserak di atas tikar.
“Sial, dia pegang kartu,” maki Obem pada diri sendiri. Di tangannya dua kartu belum dibanting. Sementara sekarang giliran Saiman menantangnya.
“Sudah, jangan terlalu lama membaca kartu. Satu-enam sudah keluar. Aku sudah tahu kau pegang apa. Banting saja, jangan malu-malu,” olok Marco pada Saiman.

Kartu dibanting. Permainan bergulir. Pada putaran ke enam, angin ribut menghantam tenda mereka.
“Sudah, banting saja. Nanti keburu hujan,” Marco mengolok. Darius menahan girang kemenangan. Diterkanya kartu dua-empat ada di tangan Marco. Kesempatan mustahil datang dalam keadaan yang serba tak menguntungkan. Dia pasrah, putaran kali ini dimenangkan Marco.

Saiman menelan ludah. Sudah tiga putaran dia mendapat hukuman jongkok. Sedang Marco, kali ini tentu akan mendapat kesempatan lepas dari hukuman jongkok. Maka dibantingnya kartu antisipasi. Efek domino, dan jalan Marco ditutup.


“GOPLAH!”
“Kampret!”
“Juancok”
“Sialan...”

Kartu satu-empat dibanting. Obem menyusul. Empat-kosong dibanting. Marco melengos. Kemenangan di depan mata gagal diraih. “Hitunglah!” maki Darius yang memegang bala enam.

Selagi keempat sahabat itu saling menghitung buah domino, angin semakin ribut. Tenda bergoyang-goyang. Api pelita menari-nari.
“Darius dua belas mata. Jongkok kau!” olok Marco.
“Aku enam mata. Kau saja yang menemani Saiman jongkok,” ujar Obem kepada Darius. Darius bersungut-sungut. Sambil mengumpulkan kartu dia menyesali kartu yang tak memihak kepadanya.

“Jangkrik, Saiman banting kartu goplah...” ujar Darius, dengan berat hati ikut jongkok menemani Saiman. Marco dan Obem tertawa. Saiman pun ikut menertawai nasibnya.
“Sorry Darius, aku cuma mau mengganjal Marco. Aku tak mau dia cepat-cepat duduk. Tapi ternyata kau yang pegang bala enam. Salah tembak aku, kawan,” Saiman menyulut rokoknya. Darius senyum pahit. Tak seberapa lama semua suara di dalam tenda senyap.

Angin semakin garang menembus kepekatan malam. Api menggeliat menahan gigil. Tenda semakin doyong. Berderak ke sana ke mari. Keempat lelaki yang meringkuk dalam sunyi mulai cemas.

“Mau badai, Boy,” ujar Darius kepada kawanannya.
“Biarkan. Kita lanjutkan saja,”
“Ini serius...” potong Darius
“Sudah jangan berisik. Aku saja yang sudah jongkok empat kali tak berisik. Banting saja kartunya,” sambung Saiman. Darius belum juga akan membanting kartunya.
“Hukumannya nanti saja. Kita pasang terpal. Sebelum hujan.”

Ketiga temannya tertawa, Darius menelan sesal. Di luar angin semakin garang. Suaranya mengalahkan dendang air yang berkecipak di balik batu. Tenda mereka bergoyang semakin kencang. Dibantingan kartu ke sekian, angin kencang menerjang. Pelita padam. Semua kelam.

“Hujan datang!” suara menyergap dari balik gelap. Suara mengaduh beradu riuh.
“Senter!”
“Api!”
“Terpalnya!”

Keempat pendaki yang bermalam di tepi sungai itu sontak sibuk oleh panik. Mereka berlari-lari kian kemari, mencari-cari sesuatu di dalam career masing-masing.
“Pasang!” Teriak Saiman.
“Tarik!” teriak Obem
“Pantek!” sambut Marco.
“Evakuasi!” ujar Darius menyambar sejumlah peralatan sisa masak-memasak yang masih berserakan dan melemparkannya ke dalam tenda.

Angin semakin garang. Pelita kembali padam. Pijar bara api berhamburan menari di angkasa.

“Saiman, aku bilang tarik!” teriak Obem. Namun Saiman bergeming. Masih sibuk mengurai simpul tali yang kusut. “Brengsek kau!”
“Kampret! Talinya kusut. Apa yang mau ditarik?!”
Geledek membelah langit. Keempat pemuda itu semakin panik. “Jatuh, Boy... Jatuh!” umpat Darius memegangi kepalanya yang mulai basah oleh tetesan hujan.
“Diam kau! Menambah stres saja!” maki Marco.

Angin kian kencang. Terpal melambai-lambai mempermainkan keempat anak muda itu. Pelita berkali-kali padam.
Hujan belum benar jatuh, namun sudah banjir keluh. Keempat pemuda itu saling mengaduh. Mereka memaki, kepada hujan, kepada diri sendiri, kepada teman, kepada apa saja yang cukup kuat menjadi alasan untuk marah. Hilang sudah canda tawa. Semua menanggung kesal memasang terpal.

Hujan terus mengirim pesan, melalui suara angin, dan geledek yang membahana di angkasa. Awan terus menggumpal, meski keempat pemuda itu susah payah memasang terpal.
“Ayo, ikat yang sana. Setelah itu selesailah!” teriak Marco menunjuk tali yang masih menari-nari oleh ulah angin. Dengan tangkas Saiman menyambar tali itu dan melilitkannya di pancangan kayu.

Angin kian santer, keempat pemuda itu berlomba memasuki tenda. Bertumpuk mereka duduk. Tak ada sinar pelita. Tak ada suara. Hanya raungan pesan hujan yang keras berdentam menghantam tenda, terus tak jua jeda. Dalam keremangan mereka saling mengawasi wajah yang ketakutan. Alam mengamuk, dan apa saja boleh berlaku.

Setengah jam dalam kebekuan, hujan tak kunjung datang. Alih-alih, angin kencang mulai meredam. Saiman mencoba menyalakan senter dan memastikan ketiga temannya berada pada kediaman yang paling agung. Dia beranjak. Dibukanya rietsluiting tenda dan mencoba memastikan keadaan di luar sana. Wajahnya menengadah. Bintang bertaburan di langit hitam.

Saiman menyanyi:

…If the rain comes they run and hide their heads

They might as well be dead.

If the rain comes, if the rain comes…
*

Di dalam tenda, ketiga temannya masih meringkuk sepi. Wajah wajah cemas masih bergelayut jelas. Barang barang berserakan. Kopi tumpah tertendang. Saiman melirik sisa kartu domino yang masih terusun, empat-dua. Dia ingat, sudah datang gilirannya untuk membanting kartu.

Binjai, 7 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.