Kamis, 19 Mei 2011

Tiga Tahun Bersama Sastra Reboan


Editor: Jodhi Yudono
Senin, 2 Mei 2011 | 19:01 WIB


 dok.sastra reboan Cornelia Agatha
“Selamat Ulang Tahun Reboan!” Ucapan yang terangkai sepanjang malam ke-37 Sastra Reboan pada 27 April lalu. Malam istimewa di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan itu ditandai dengan peluncuran Bunga Rampai Antologi Cerpen dan Puisi 3Th Sastra Reboan.

Buku Antologi “Kerlip Puisi Genyar Cerpen, Detak Nadi Sastra Reboan” adalah buku pertama yang menyatukan karya para penampil dan penggiat Paguyuban Sastra Reboan yang telah menyemarakkan panggung sejak 3 tahun lalu.

Kehangatan malam itu dibuka oleh Kemplang Retak Seribu dengan lagu mereka “Sering Terjadi Muncul di Dua Sisi”. Band akustik yang diawaki Kadri Setiawan yang kerap dipanggil Jimmo dan Tosi menghibur hadirin dengan “dua lagu lagi, “Seperti Matahari” dan “Nak Balek Kemano Balek”. Lagu-lagu Ian Anotono mereka sajikan paruh waktu sebelum acara berakhir.

Jimmo, pengacara pada AKSET, kantor gabungan 15 pengacara, khusus sumber daya alam dan penyanyi “KPK di Dadaku”, inisiator “HelpArga”, dari KadriJimmo, ENDRASS dan MAKARA, ini kembali menghibur hadirin dengan lagu-lagu puitisnya.

Premita Fifi, penulis Sandikala terbitan AKOER April 2010 dan Gadis (Cerita Lima Perempuan) juga pengurus Yayasan Lembaga Edukasi dan Bantuan dan Advokasi Hukum Jurist Makara (Lebah Jurist Makara), mengajak penonton menyanyikan bagian ref lagu “Bongkar” Iwan Fals sebelum membacakan rangkain bait kemuakannya pada elit bangsa ini. Selanjutnya “Dingin” dibacakan oleh penulisnya sendiri, Mariana Aminudin, direktur Jurnal Perempuan yang setia menyuarakan hak-hak perempuan.

Di antara penonton yang memadati Wapres tampak Diah Hadaning, Hudan, Martin Aleida dari Meja Budaya, novelis Anny Djati W. Juga kawan-kawan dari Kedailalang di antaranya Kurnia Efendi, Saut Poltak Tambunan, Helga Worotidjan dan Endah. Dari Planet Senen, Imam Maarif dan kawan-kawan, Anto dari Dewan Kesenian Jakarta, dari Universitas Bung Karno, STBA LIA, paguyuban Sahabat Munir dan  Ubaidilah Muchtar dan isteri dari Reading Group Max Havelaar Taman Baca Multatuli di Ciseeng, Banten.
Diiringi musik oriental “Senandung Yam Cha” dibawakan secara monolog oleh artis Teater Pintu 30 STBA  (Sekolah Tinggi Bahasa Aing) LIA, Maya Sekartaji.  Dosen yang Iwan “Bung kelinci” Sulistiawan memaparkan kumpulan puisi keperihan hidup ini merupakan karya para pekerja migran wanita kita di Hong Kong, di antaranya Aliyah Purwati, Ally Dalijo, ElNisya Mahendra, Geppy H.S., Mega Vristian, Noena Fadzila, Ratna Khaerudina, dan Sreismitha Wungkul.

Rangkaian puisi berikutnya dibawakan oleh Slamet Widodo, Nugroho Suksmanto dan Mayong Suryolaksono. Slamet Widodo, penyair yang insinyur lulusan ITB dan pengusaha ini membawakan puisinya yang diciptakan pada Februari lalu berjudul “Aku Mencintaimu tanpa Kata Cinta”.

“Puji syukur saya tidak jadi bertemu pengusaha itu yang rencananya berlangsung di Coffee Shop Hotel Taj Mahal yang pada malam itu diberondong peluru oleh para teroris. Apa jadinya bila saya ada disitu?,” Nugroho Suksmanto menutup kisah hubungan batin-nyawanya dan Sastra Reboan. Pada Minggu, 23 November 2008, saat berada di India dia diundang oleh rekan bisnisnya di Mumbay untuk bertemu pada Selasa. tetapi karena ada pemogokan buruh maka pertemuan diundur ke Rabu. Sahabatnya, Slamet Widodo, melalui pesan singkat mengingatkannya untuk rencana mereka membaca puisi bersama dengan Soetarji Calzum Bakri dan W.S. Rendra di Reboan. Maka… dia memilih untuk kembali ke Indonesia mengisi acara Reboan. Alumni ITB, pengusaha dan penulis kumpulan cerpen “Petualangan Celana Dalam” ini membacakan puisinya “Hujan”.

Siapa yang tak kenal dengan wartawan senior, presenter, penggiat seni dan budaya, Mayong Suryolaksono. Suami dari artis dan anggota DPR Nurul Arifin ini tanpa ragu mengungkapkan bahwa inilah pertama kalinya menulis puisi. “Negeri ini” si puisi yang ditulisnya dengan setengah mati dan selesai 3 jam sebelum dia naik ke panggung Sastra Reboan. Mayong juga bersaksi dia menulis puisi karena didorong oleh Kirana Kejora. Tetapi, katanya, tulisannya kekiri-kerian, mengritik para politisi, “Negeri ini sedang mengingkari dirinya….”
Artis kawakan film dan teater Indonesia, Cornelia Agatha, akrab dipanggil Lia, membawakan musikalisasi puisi “Tempat III” karya Herberto Helder. Bersama hentakan musik dan warna pembacaan dan akting khas artis cantik ini menghantar puisi tentang perempuan-perempuan ini membuat takjub penonton. Lia sudah beberapa kali tampil memperlihatkan talentanya untuk Sastra Reboan.

Penulis, host “Apa Kabar Indonesia” dan anchor TVOne, Andrie Djarot, tampil untuk kedua kalinya di Sastra Reboan. Wartawan dan penyuka sastra ini membacakan prolog drama “Bung Karno Sang Putra Fajar”. Dalam drama panggung kolosal ini, Andrie memerankan Bung Karno muda sampai tua yang akan dipentaskan pada Juni mendatang.

Zay Lawanglangit selaku ketua membuka peluncuran buku “Bunga Rampai Antologi Cerpen dan Puisi 3Th Sastra Reboan” dengan mengilas balik para pengisi acara Sastra Reboan dan karya mereka. Kemudian mengajak semua yang hadir mengheningkan cipta mengenang musisi Frangky yang pernah ikut menyemarakkan panggung Sastra Reboan.

Peluncuran buku “kerlip puisi gebyar cerpen, detak nadi sastra reboan” ditandai dengan acara tiup lilin dan dilanjutkan dengan penyerahan buku kepada kawan-kawan baik yang mewakili pribadi maupun komunitas. Di antaranya Imam Ma’arif dari Komunitas Planet Senen, Saut Poltak Tambunan dari Komunitas Kedailalang, Handoko F. Zainsam, Mayong Suryolaksono, Andrie Djarot, Saut SItumorang, Branjangan, Diah Hadaning, Hudan, juga kepada perwakilan Meja Budaya dan Komunitas Jemari.

Karya sastra etnis yang diperkenalkan pada acara ini yaitu “Pincala” dan “Bunga Dawa” karya Tariganu, 73, penyair  Tanah Karo, yang dipandu oleh Dorsey Silalahi dan Hujan. Hujan mewakili generasi muda Karo memaparkan bagaimana buku ini sangat penting terutama bagi mereka di mana banyak bahasa filosofi dan puisi yang kurang dimengerti, maka dia terpanggil utk menggarap buku ini agar bisa menjadi inspirasi, tidak hanya komunitas Karo tetapi juga komunitas lainnya.

Tariganu yang juga pelukis ini menulis puisi sejak tahun 50an, menerjemahkan puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah ke bahasa Tiongkok, pernah tinggal di Tiongkok saat menjelang zaman peralihan terjadi di Indonesia, sempat mengajar sastra Cina di UI dan mendirikan Yayasan Bengkel Sastra 78.
Bincang buku ini dilanjutkan dnegan pembacaan puisi karya Tariganu “Menghadap Matahari” oleh Toga Tambunan, musikalisasi puisi “Cucut  Cike Cur” oleh isterinya dengan diiringi oleh pengaransemennya, Untung Purba. Beberapa puisi Tariganu telah diaransemen oleh Untung Purba dan direkam dalam CD. Hujan membacakan “Gedap". Dan Tariganu membacakan “Surat”, sementara Untung purba menyanyikan “Teralep-Alep Lopa” yang direspon hadirin dengan menghentak-hentak kaki dan menggeleng-gelengkan kepala mengikuti irama lagu Karo tersebut.

Olin Monteiro, penulis buku “Pernik” bersama Lulu Ratna dan aktivis perempuan yang aktif di Jurnal Perempuan ini, menyampaikan kegelisahannya tentang bangsa ini dengan membacakan puisinya “Kota-Kota Perempuan” diiringi musik gitar blues oleh Sahat Tarida. Selanjutnya Sahat Tarida, aktivis Komisi Nasionak Perempuan ini, membawakan lagu berjudul “Ibu” dan “Dungu”.

Rukmini Wisnu Wardhani, seorang sarjana arsitek juga dan penyair yang manuskrip sajaknya “Banyak Orang Bilang Aku Sudah Gila” menduduki runner-up KSI 2003, membacakan titipan puisi Fahmi Fakih yang tidak bisa datang berjudul “Malmu dan Perempuan”, “Alun-Alun Selatan” dan “Di Surabaya”.

Kawan-kawan dari Sahabat Munir menghibur hadirin dengan lagu-lagunya pro-hak azasi manusia (HAM) dari “Album untuk Munir” diantaranya “Masihkah Kita Takut” menyerukan penghentian kekerasaan, pemaksaan, penghilangan, meminta kita untuk maju melawan, sebab ketakutan itu tak ada melainkan kebenaran dan lagu “Pahlawan Sejati”. Kelompok musik Sahabat Munir terdiri dari Astri, Rizky, Anas, Kastio, dan Antoni.

Hadirin masih setia menunggu saat terakhir untuk mengdengar dan menyimak pembacaan puisi Saut Situmorang, penyair dan dosen yang bemukim di Yogyakarta ini dikenal dengan kekritisannya bukan hanya lewat karyanya juga lewat esei dan diskusi-diskusi sastra dan budaya. Master Sastra Inggris dari universitas Selandia Baru ini menggetarkan panggung Sastra Reboan dengan sajak panjangnya “Kata dalam Telinga” dan puisi kala kehadirannya di bumi “1966” yang “bercerita” tentang keadaan yang merah darah saat itu.
Sebelum tuntas, pasangan MC Budhi Setiawan dan Astri menutup acara dan menyampaikan salam jumpa di Sastra Reboan bulan depan dengan mempersilahkan kelompok musik blues Branjangan and the Gang. Branjangan berkolaborasi dengan Yayok menyanyikan puisi populernya “Lelaki itu Setia”. Branjangan, sarjana hukum  dan pengusaha yang setia menggoyang pengunjung setia Reboan selama dua tahun ini, menyanykan lagu “Bongkar” sesuai pesan singkat Iwan Fals yang diterimanya malam itu.

Jarum jam yang hampir tiba di angka 12 menjadikan malam semakin dingin namun sebagian penonton masih tak ingin beranjak dari tempat duduk mereka menyaksikan dan mendengarkan musik yang dimainkan Branjangan and the Gang. Hingga pungkas seluruh acara. *)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.