Oleh: Hujan Tarigan
Aku menyukai
dia. Tak ada yang bisa membantah itu. Dengan segenap bulu-bulu yang tumbuh di
tubuhku aku bersaksi, tak bisa lagi, aku hanya menginginkan dia mengisi
hari-hariku. Tapi bukan lantas berarti
karena perasaan itu, aku dengan sengaja masuk ke dalam prahara yang berkecamuk
di antara dia dan tunangannya. Bukan,
bukan mutlak karena alasan itu. Kalian
tidak bisa begitu saja menyudutkan aku sebagai satu-satunya tersangka yang
menjadi penyebab hancurnya hubungan sepasang insan yang konon dirajut oleh rasa sayang, cinta atau semacamnya.
Tidak. Paling tidak dengarlah dulu dari mulutnya, mulutku dan mulut kekasihnya
itu.
...Sebuah Kafe di Kota B, 31 Januari 2007
“.. dia mulai
memerintahku dengan perintah yang tak masuk akal. Mulanya dia perintahkan aku
untuk membatasi diri bergaul dengan teman-teman lelakiku, kemudian dia juga
mendesak agar aku tak lagi berteman denganmu. Hujan, dengar, aku sudah muak
dengan lelaki sejenis dia, demi Tuhan, muak!”
“Kalau kau
muak, mengapa diteruskan? Belum terlambat untuk membatalkan gaun pengantin dan
mencetak undangan,”
“Tidak. Aku
harus mencari cara lain untuk menyelesaikan rasa muakku atas perilakunya yang sudah
melecehkan aku,”
“Kau punya
cara?” kataku, dia menggeleng.
“Aku telah mengganti
nomor ponselku,” terangnya sambil diselingi senyum. Aku tak tahu persis arti
senyum itu.
“Kau pikir itu
cara untuk membungkus dan membuang rasa muakmu ke tempat sampah?”
“Hujan...
mengapa kau selalu tak berpihak pada caraku? Kepada siapa lagi aku mengadu?”
“Kau tak perlu
mengadukan dia kepadaku! Kau bisa membantahnya dengan cara yang kau suka,”
kataku lantas bangkit dan meninggalkan kekesalan yang sudah tak mungkin lagi
kusimpan.
“Maafkan aku.”
...Lapangan Futsal, 10 Februari 2007
Perempuan. Tak
bisa diterka jalan pikirannya, kadang-kadang begitu keras kepala, kadang-kadang
malah membaja, tapi lebih sering, dengan sikap manja dan segala kepekaan
perasaannya, dia luluhkan logika. Ya, aku sudah putus asa untuk menjinakkan.
Aku tak bisa. Aku kehabisan daya upaya meladeni sendiri. Aku butuh bantuan
seseorang.
“.. mestinya
kau tak lakukan itu. Ku kira kau sudah cukup dewasa untuk menyikapi dia. Kau
tentu sudah siap dengan konsekuensi pilihanmu bukan? Lagian ini kan cuma soal
komunikasi yang tak terjalin rapi, mengapa mesti kau perumit dengan perangkat
peraturan yang anak kecil pun tak menerimanya kukira”
“Aku terlalu
mencintai dia. Aku tak sanggup kehilangan dia,”
“Sering kali
segala yang terlalu itu tak baik bagimu,”
“Aku tahu,
hanya saja... barangkali kau harus merasakan apa yang kurasakan sekarang. Biar dapat
kau lukiskan dan... kawan, pahamilah
aku,”
“Aku tak
paham. Tak bisa paham. Aku tak bisa
mengerti alasanmu yang melarangnya berbuat itu dan ini. Berlebihan, lebay.
Ketakutanmu itu cukup menjadi alasan bagi perempuan manapun untuk merasakan tak
nyaman,”
“Apa yang
harus kuperbuat?”
“Hubungi dia,
bicarakan dengan jantan. Kau kan lelaki,”
“Tidak bisa,
dia sudah putuskan untuk tidak berbicara padaku sampai kudengar kabar dari
mulutnya,”
“Kapan itu?”
“Aku tak tahu.
Aku butuh bantuanmu sekarang, kawan,”
...Meja Rias, 27 Februari 2007
Aku menyukai
dia. Tidak, sebenarnya lebih dari suka. Aku merasa nyaman berada di sampingnya.
Aku membutuhkan sosok pelindung. Aku perempuan keras kepala yang pada dasarnya
manja dan butuh kelembutan lelaki untuk melunakkan hatiku. Dia bisa memberikan
aku keyakinan itu. Bahkan lebih dari itu, padanya kutemukan segala impian dan
harapanku tentang sesosok pria. Dia selalu membantahku dengan sikap-sikapnya
yang memang kurindukan dan tak kutemukan dari tunanganku. Dia memberikan
komentarnya dan menyodorkan gagasan sederhana ketika aku menerangkan sekelumit
masalahku yang sedang melilit. Aku betah bicara dengan dia, karena dia sama
sekali bukan orang yang membosankan. Dia bisa membuatku sedih sesedih-sedihnya,
marah semarah-marahnya, senang sesenang-senangnya, dan sadar sesadar-sadarnya.
Berjam-jam menghabiskan waktu bersamanya adalah kesempatan yang selalu
kuidamkan dan tak bisa kuharapkan ada pada tunanganku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Sikapnya yang
membalas keputusanku atas penolakan dirinya beberapa tahun lalu semakin membuat
aku gamang menentukan sikap. Aku kehabisan kata dalam mendeskripsikan
alasan-alasan untukku menyukai dia. Oh tidak. Aku semakin jatuh cinta
kepadanya. Ini terlarang dan tak bisa dilanjutkan. Aku harus membiasakan diri
tak menemuinya. Harus. Tapi, aku takkan sanggup. Aku sudah coba untuk tidak
membicarakan ini kepadanya. Tapi mulutku yang sialan ini, jari jemari terkutuk
ini, dan ponsel laknat ini selalu saja bekerja mendahului pikiranku. Aku tak
kuat lagi. Aku tak punya gambaran lagi untuk meneruskan hidup bersama
tunanganku. Oh tidak, apa yang kulakukan? Sekarang aku sedang mencari Hujan di
ponselku.
...Sebuah Kafe di Kota B, 9 April 2007
Siapa yang menemukan
benda keparat ini? Aku mengutuk orang yang sudah menciptakan benda sialan yang
sudah membuatku menunggu dengan nada sambung yang, alamak... nada penghubung
yang mengingatkan aku pada seseorang yang sekarang paling kurindukan. Sayang,
ayo angkatlah telponmu. Berapa lama lagi aku menunggu? Baiklah, aku salah. Tak
semestinya aku memperlakukanmu seperti itu. aku tak bisa mengontrol marahku.
Aku tak bisa menyembunyikan rasa cemburu. Aku salah, kita bisa bicarakan ini
baik-baik. Seperti dulu, ya seperti dulu. Please, angkatlah telponmu.
“... aku tak
tahu harus bicara apa. Aku sudah putuskan untuk membatalkan semuanya,” ujar
suara terisak dari seberang.
“Sayang, kau
bicara apa?” tanyaku. Suaranya hening sesaat. Tiba-tiba, suhu udara di dalam
kafe yang begitu dingin oleh ac terasa panas menyengat. Aku menyeka keringat.
Mengatur nafas dan melonggarkan tekanan darah. Aku takkan marah. Aku sudah
janji aku harus mengubah diriku. Aku usahakan untuk mengikuti saran-saran Hujan,
kawanku itu.
“Selama ini
cukup sudah aku bertahan. Aku tak kuat lagi untuk mengikuti perintahmu yang
membosankan. Aku tak mau salah langkah untuk mengatur jalan ke depan,” ujarnya.
Terisak lagi, hening sesaat lagi. Emosiku sudah tiba di ubun-ubun. Mengapa
sulit sekali meyakinkan orang di saat seperti ini? Aku akan berubah. Aku akan
sampaikan kabar gembira itu kepadamu.
“Sudah jangan
katakan apapun lagi. Aku sudah yakin keptusanku. Aku sudah siap dengan segala
konsekuensinya. Besok pagi aku akan ke Kota N untuk menemui orang tuaku dan
membicarakan pembatalan pertunangan kita,” ujarnya dengan getar suara yang luar
biasa menyayat dada.
Tut... tut.. tut... tut...
Aku terhenyak.
Aku tak punya kata-kata untuk melawan kepedihannya. Aku tak menyanggah
kekeliruan yang sudah kuperbuat padanya. Aku tak membantah, aku telah melukai
hatinya dengan hebat. Apa yang ada di pikiranku selama ini, selain ego dan rasa
ingin menang sendiri? Aku mencintai dia.
Dan aku tetap tak bisa bedakan mana cinta dan rasa berkuasa. Apa yang harus
kulakukan? Hujan di mana kau? Di mana kau?
...Metropole Kafe di Kota J, 16 September
2007
Aku menyukai
dia. Tak ada yang bisa membantah itu. Bahkan, hingga hari ini, dengan segenap
bulu-bulu yang tumbuh di tubuhku aku bersaksi, tak bisa lagi, aku hanya
menginginkan dia mengisi hari-hariku. Padahal aku sudah berusaha keras untuk
tak lagi mengingatnya. Aku sudah hapus nomor ponselnya dari memori ponselku
bahkan aku sudah mengganti nomor ponselku. Aku sudah blokir dia dari apapun
yang bisa mengingatkanku pada suaranya yang manja, yang bisa membuatku lupa
bernafas. Tapi tetap saja dia tak mau hilang. Aku bahkan tak bisa mengubur cerita tentang
dia meski dengan sengaja telah kupindahkan ragaku ke tempat asing, ke semua hal
yang memungkinkan aku untuk melupakannya. Tidak bisa. Perempuan itu selalu saja
ikut dan mau ikut. Selalu saja
bayangannya ikut menyusup masuk bersama udara yang kuhirup. Dia sudah mengisi
sebagian besar ruangan yang tersedia di kepalaku. Dia sudah menjalar seperti
kanker yang menghambat masuk udara segar. Aku kehabisan oksigen. Aku tersedak, aku terdesak. Mengapa nasib
begitu tertib memenggal harapan dari kenyataan? Mengapa perbedaan selalu muncul
sebagai satu-satunya alasan bagi penghalangan penyatuan? Aku menyukai perempuan
itu dengan semangat ingin memiliki. Dan aku mencoba mengerti jalan pikirannya.
Tapi aku tak bisa pahami alasannya menolakku, menolak perbedaan yang memang
sudah ada sejak kami lahir. Dia menyayangiku. Aku tak ragukan itu. dia pun
mencintaiku, aku tak sangsikan itu. tapi kami benar-benar tidak bisa bersatu.
Dia menolakku hanya karena warna kulit kami yang berbeda, keyakinan terhadap
Tuhan yang berbeda. Cara menghadap makanan yang tengah terhidang di meja yang
juga berbeda. Perempuan itu bisa tegar dalam keyakinan tapi tak bisa tegar pada
perasaan. Tuhan, kau buat dari apa itu perempuan? Benarkah mereka kau cipta
dari tulang rusuk, yang bengkok?
...I am a man that you can count on;
Call out my name and I'll be there.
I'm a man you can be sure of, baby,
Its your love that takes me there, takes me there...
Ponselku
berdering.
“Hei, kemana
aja? Kok menghilang?” dia menyapa. Dia menyapa.
“Hei, aku di
hatimu,” jawabku
“Kau selalu
bisa membuatku tertawa,”
“Gombal,”
“Tak percaya,
ya sudah. By the way, di mana nih?”
“Di hatimu,”
“Oh iya, aku
lupa, kau selalu di hatiku,”
“Gombal”
“Tak percaya,
ya sudah. Aku di Kota L sekarang. Aku singgah dan mencari anak hilang, di
sini,”
“Kau sudah
temukan, aku di Metropole Kafe.”
“Aku segera
meluncur ke sana. Aku mau mengenalkanmu pada seseorang, calon suamiku,”
“Baiklah. Kau mau kupesankan
minuman apa?”
“Kau sudah tahu, tak perlu lagi
bertanya,”
Sampai saat ini aku akui masih
menyukai dia. Tak ada yang bisa membantah itu. Dengan segenap bulu-bulu yang
tumbuh di tubuhku aku bersaksi, aku cinta pada segala perbedaan yang ada
padanya.. sekarang terserah kalian.
Apakah aku pantas untuk disalahkan?
Binjai 10 Pebruari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan