rasa sayange rasa sayang sayange...
e negri Ambon jauh rasa sayang sayange...
jalan-jalan ke kota paris
lihat rumah berbaris-baris
biar mati di ujung keris
asal dapat si hitam manis
rasa sayange rasa sayang sayange...
e negri Ambon jauh rasa sayang sayange...
SIAPA yang tak kenal
lagu berpantun tersebut? Sejak duduk di bangku sekolah dasar kita pastinya
telah ramah mengenal lagu daerah yang berasal dari pulau Maluku ini. Lagu
pengantar pantun ini biasanya dibawakan muda-mudi pesisir pantai untuk mengisi
waktunya selepas penat seharian bekerja.
Belakangan dalam sebuah jingle di
salah satu iklan Truly Malaysia, lagu tersebut muncul sebagai penghias, diikuti
dengan klip dan cuplikan yang memperlihatkan keindahan serta keaneka ragaman
Malaysia. Kok bisa?
Itulah yang sedang
dipermasalahkan sekarang. Agaknya selisih tegang antara Negeri Kita Tercinta
ini dengan jiran serumpun, Malaysia tak pernah reda. Setelah pada awal tahun
1960-an Presiden Soekarno membuka front terhadap negara imperialis-kapitalis
berikut bonekanya, hubungan Indonesia-Malaysia tak pernah benar-benar akur.
Proyek pecah belah yang dilakukan negara barat atas negara bertetangga ini
hingga kini telah menjadi sindrom baru yang menjangkiti warga. Sehingga acap
kali setiap kali kita mendengar nama Malaysia yang pertama kali muncul di
kepala kita adalah, kekejaman terhadap TKI, kecurangan dalam kepemilikan
Sipadan-Ligitan, Ambalat, Kalimantan Utara, Konfrontasi, bla.. bla.. bla...
Demikian sebaliknya, setiap
kali nama Indonesia disebutkan, sebagian besar warga Malaysia masih tetap prejudice. Dalam kepala sebagian besar warga mereka,
hanya ada satu kata untuk menggambarkan Indonesia: Kacau! Tentulah yang
dimaksudkan dengan kacau adalah, segala kekacauan yang terjadi di negara mereka
berasal dari orang yang mereka sebut dengan Indon.
Indonesia pantas kecewa dalam
hal klaim-klaiman. Pasalnya ibarat saudara tua yang tengah berselisih dengan
saudara muda, Indonesia selalu merugi atas apapun yang tengah disengketakan.
Berawal dari rebutan Kalimantan Utara, Serawak, Kuching, Brunei hingga rebutan
Sipadan-Ligitan. Seperti hutang sejarah, Indonesia yang konon pada masa
Soeharto berkuasa pernah menjadi macan Asia Tenggara ini harus membayar mahal
atas semua perselisihan. Tergulingnya Bung Karno dari tampuk kekuasaan pada
tahun 1965 juga dipandang sebagian orang sebagai harga atas konfrontasi yang
ternyata hingga kini tak kunjung lunas.
Seolah utang masih harus
dibayar, Indonesia harus kalah dalam perebutan Pulau Sipadan-Ligitan di
Mahkamah Internasional pada 17 Desember 2002 lalu.
Dalam kekalahan yang masih
terasa di hati “saudara tua” ini, The International Court of Justice (Mahkamah
Internasional) memutuskan bahwa Malaysia memiliki hak dan kedaulatan atas Pulau
Sipadan-Ligitan di Laut Sulawesi. Pulau yang terletak di perbatasan antara
Kalimantan Timur dengan Sabah tersebut disinyalir telah lama terabaikan oleh
Indonesia. Sehingga hal itu menguatkan alasan
kekalahan Indonesia di depan forum internasional. Memalukan!
Tak sampai disitu, ribuan
pekerja migran asal Indonesia diperlakukan sangat kasar di negara yang selalu
berguru pada Indonesia itu. Tak urung, sejak tahun 2000 hingga sekarang,
kejahatan kemanusiaan yang dilakukan warga Malaysia terhadap pekerja migran
khusunya dari Indonesia tak terhitung lagi. Kekerasan tidak hanya dilakukan
terhadap pekerja ilegal. Acap kali pekerja dengan dokumen lengkap juga diakali.
Mulai dari gaji yang ditahan hingga hukuman fisik berupa penyiksaan.
Lagi lagi, Pemerintah Indonesia
tak bisa berbuat apa-apa. Kekerasan terhadap pekerja migran memang ada di depan
mata. Namun apa daya, kemauan untuk menyelamatkan harga diri bangsa memang tak
ada. Hingga akhirnya jutaan rakyat Indonesia yang sudah gemas dengan tingkah polah
Malaysia kemudian merindukan sebuah jaman dengan slogan; Ganyang Malaysia!
Sayangnya, semangat dan sikap
nasionalisme yang ditunjukkan rakyat tidak mendapat respon dari PRI. Sikap
mengalah agaknya adalah identitas sejati orang Indonesia.
Lantas, setelah “kekalahan
dalam konfrontasi, kekalahan dalam rebutan Sipadan-Ligitan, sekarang kita
rebutan apa lagi? Tahu? Tempe? Kain batik? Indonesia kalah, (entah mengalah).
Yang jelas, hari ini emosi
warga Indonesia kembali diusik. Lagu “Rasa Sayange” yang telah menjadi lagu
penentram dan pengobat jiwa diklaim milik Malaysia. Bagaimana bisa terima?
Rasa Sayange atau Rasa Sayang Hey?
Para seniman di Maluku yang
tergabung dalam Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman
Indonesia
(Pappri) sempat sibuk menghimpun kembali data lagu “Rasa Sayange”
Buce Tumaluweng (Ketua Pappri
Maluku), seperti yang dikutip dari kapanlagi.com,
menunjuk saksi Christina Manuputty yang lahir tahun 1920. Menurut Buce,
Christina telah mendengar lagu “Rasa Sayange” sejak usia lima tahun. Lagu itu biasa dinyanyikan untuk
mengantar tidur Christina.
Bukan Chritina saja, pencipta
lagu dan penyanyi Beng Leiwakabebessy faktanya sempat mengiringi dengan gitar
ketika Presiden Soekarno menyanyikan lagu itu di bandara Internasional
Pattimura di Desa Laha, Kecamatan Teluk Ambon, tahun 1950.
Selain usaha Pappri Maluku
untuk menggali sejarah “Rasa Sayange”, Perusahaan Percetakan Negara Lokananda
Solo menemukan arsip rekaman lagu ”Rasa Sayange”. Menurut Kepala PPN Lokananta,
Roektiningsih, lagu tersebut direkam pada 15 Agustus 1962. ”Sebagai souvenir
Asian Games IV di Jakarta”.
Diketahuinya rekaman tersebut
merupakan cendera mata tampak dari sampulnya yang ada tulisannya ”Souvenir from
Indonesia,
untuk “The Fourth Asian Games”.
Konon lagu itu direkam dan
digandakan atas perintah dari Presiden
RI waktu itu Ir. Soekarno kepada
Menteri Penerangan R. Maladi.
Piringan hitam hasil rekaman
Lokananda berisikan delapan buah lagu termasuk lagu “Rasa Sayange”. Yang
menjadikan bukti otentik bahwa piringan hitam tersebut asli adalah nomor
registernya SRL.253 dan SLR.254 yang ditulis lagu “Rasa Sayange”. Rekaman suara
“Rasa Sayange” tersebut dinyanyikan Orkes Lokananda pimpinan Soepardi.
Sedangkan lama durasi lagu adalah dua menit 20 detik.
Di sampul piringan hitam
tersebut tertulis NN dalam kepengarangan “Rasa Sayange”. Hal itu artinya, lagu
“Rasa Sayange” telah lama hadir dan mendarah daging. Sehingga tak bisa
diketahui dengan pasti siapa pengarangnya.
Namun menurut Gubernur Maluku Albert Ralahalu, dia
mempunyai informasi otentik bahwa pencipta lagu "Rasa Sayange"
bernama Paulus Pea. Oleh karena informasi tersebut mendukung dan menguatkan
bahwa “Rasa Sayange” adalah milik Indonesia, maka Pemerintah dituntut
untuk segera menyelesaikan masalah ini. Jangan sampai “saudara tua” kalah
(mengalah?) lagi.
Lengkaplah!
Beranilah!
Sudah kuat ‘kan data
kepemilikan lagu “Rasa Sayange”? Sekarang bagaimana sikap pemerintah atas klaim ngawur negeri jiran tersebut? Apakah nasib “Rasa Sayange” bisa menjadi milik Indonesia, khususnya warga Maluku? Atau,
“Rasa Sayange” akan menyusul pulau Sipadan dan Ligitan? Begitu mudah dan
rapuhnya diplomasi dan kekuatan politik luar negeri Indonesia. Hingga ada
banyak hal yang perlu dikuatirkan dari keadaan negara yang centang perenang
ini.
Setelah “Rasa Sayange”, lalu
apa? Apakah Soto juga akan diklaim? sehingga nantinya orang Betawi akan kehilangan Soto Betawi
kebanggaannya? Atau Sate? sehingga nantinya orang Padang tak bisa jual Sate
Padang lagi? atau jangan-jangan buah duku? sehingga nantinya tak ada lagi duku
Palembang, yang ada duku Malaysia. Kapan pemerintah Indonesia berani bersikap
dan bersikap berani untuk membalas segala penghinaan yang dilakukan dunia luar?
Wallahu alam bishawab!
(*Bunga Dahlia, Mahasiswa Fisip UBK Angkatan
2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan