
Keterangan justru menyilaukan mata. Sehingga di dalam keberlimpahan cahaya, manusia Indonesia masih terus merangkak sambil meraba.
Mereka terus bergerak, memegang batu dan mengingkarinya sebagai batu. Mereka menggapai doa, dan mengingkarinya sebagai doa, mereka mencapai harapan yang selama ini dirindukan, namun sayangnya mereka ingkari pula harapan-harapan yang sudah di genggamannya.
Pendek kata, mandi cahaya matahari menjadi pangkal kerusakan yang lebih besar bagi manusia Indonesia. Sebab ternyata, sinar matahari yang telah dibagi rata, tetap tak menjamin manusia merdeka dari kepandiran rasa. Manusia Indonesia mabuk cahaya. Mereka berlompatan merayakan kebebasan diri dari kegelapan. Mereka berjingkrak dan berpesta. Mereka berdiri sebagai mayat.
Di sudut lain, ada sekelompok manusia yang hidup sederhana bermandikan cahaya sebatang lilin. Mereka sadar, dengan sebatang lilin itu tentu tak dapat membantu mata mengoptimalkan penglihatan. Namun mereka bisa melihat lebih jelas, karena kesadaran yang diberikan sebatang lilin berbeda dengan kesadaran yang diberikan matahari.
Mereka inilah penggenggam cahaya ilahi yang sejati. Yang berupaya terus menyempurnakan doanya, menggapai harapannya di bawah sinar lilin yang redup. Mereka menghayati sinar kecil itu dan berdiri menjadi hayat.
-salam dari bawah pohon asam Binjai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan