Senin, 07 Juli 2014

Kupu-Kupu di Ruang Tamu

Oleh: Hujan Tarigan


BECAK membawa perempuan itu kembali ke jalan.  Menyusuri aspal yang basah disiram hujan. Melintasi gang-gang kumuh yang baru saja disapa malam.

Lepas maghrib tadi, Saiman,  pengayuh becak langganannya mengabarkan, bahwa malam ini dia tak bisa mengantarkan perempuan itu menuju ke suatu tempat atau beberapa tempat seperti biasa. Bondan, anak Saiman, akan melamar seorang perempuan. Sebelumnya kabar itu pernah juga mampir di telinga perempuan itu.


“Kapan itu, Bang?” tanya perempuan itu.
“Dalam waktu dekat, Ma. Calon istrinya itu orang luar kota”
“Persiapannya bagaimana?” tanya Salma
“Aku nggak tau, si Bondan mengurusnya sendiri tanpa pernah membicarakannya denganku,” jawab Saiman di tengah-tengah helaan nafasnya.

Hujan turun sepanjang sore ini. Airnya menggenangi setiap sudut gang tempat tinggal Salma.
Perempuan yang nyaris ditinggalkan kecantikannya itu berdiri menghadap jendela. Berharap hujan segera reda. Namun, harapan hanya milik Salma dan orang-orang yang berharap hujan berhenti. Sebab, hingga menjelang senja, hujan baru hanya menunjukkan tanda-tanda mereda.

Di depan cermin, Salma memperhatikan detil keriput di kelopak matanya. Tangannya meraba-raba meja rias. Mencari sesuatu. Sekotak rokok ditemukan. Salma menolehkan pandangannya. Diambilnya sebatang. Disorongnya ke bibirnya yang pucat. Senja itu, senja yang beku. Salma memperhatikan daun bibirnya. Bagaimanapun bibir tipis itu harus menyerah juga pada usia.

Senja yang beku itu mengantarkan Salma ke masa lalu. Di depan cermin dia melihat dirinya enambelas tahun sebelumnya. Tatkala dia menjadi bunga di antara teman-teman mahasiswa. Salma melemparkan senyum kepada bayangannya.

“Astaga!” seru Saiman ketika melindas polisi tidur. Salma yang duduk manis di dalam becak sempat meloncat beberapa inchi dari bangku.
“Kok bisa sih, Bang?”
“Aku tak mengerti apa yang manusia hari ini kaji” kutuk Saiman sambil menghentikan kayuh becaknya di depan pagar sebuah mesjid. Lelaki kurus itu turun dan memeriksa roda depan becaknya.

“Memangnya kenapa, Bang? Kok serius amat? Nanti aku tambah ongkos buat benerin rodanya deh,” celetuk Salma dari dalam becak.
“Bukan begitu, Ma,” jawab Saiman sambil meyakinkan bahwa roda becaknya tidak mengalami kerusakan. “Baru dua hari kita tak lewati jalan ini, tiba-tiba sudah ada polisi tidur melintang di jalan ini!”

“Terus? Kenapa Abang tampak begitu jengkel?”
“Aku kira, tadinya, jalan ini tidak akan meniru jalan lain untuk latah membuat polisi tidur di depan mesjid! Dan sekarang aku benar-benar jengkel! Merekah bahkan membuat polisi tidur yang tinggi!”

“Hahahaha... Bang Saiman, bang Saiman. Bukan kah itu hal yang bagus. Rambu-rambu agar orang seperti Bang Saiman tidak sembarangan mengebut. Apalagi di depan mesjid. Hahaha...” sambar Salma sambil terus memperdengarkan tawanya yang nyaring. Saiman semakin jengkel.

“Salma, mendiang emakku mendapat pesan dan dia meneruskan pesan itu padaku. Salma mau tau apa pesannya itu?” tanya Saiman sambil kembali duduk di atas sadel becaknya. Dan dia mengayuh.

“Kenapa tiba-tiba Bang Saiman menjadi serius? Apa pula rupanya pesan mendiang emak abang itu?”

“Mendiang emakku berkata, bila kau menemukan sepotong beling di tengah jalan, pungut. Lalu singkirkan. Bila kau menemukan sepotong duri di tengah jalan, jangan tunggu orang lain lagi untuk menemukan, segera ambil dan buang!” kata Saiman sambil mengayuh becaknya ke arah malam.

“Kalau orang mendirikan polisi tidur di depan markas TNI, aku bisa pahami. Kalau orang membangun polisi tidur di depan rumah sakit atau sekolah, aku bisa mengerti. Tapi kalau orang membuat polisi tidur di depan mesjid, aku menjadi sedih...” kata Saiman. Suaranya mengalahkan lelah nafasnya.

Salma tersentak. Dia menemukan dirinya tengah berebut oksigen dengan bayangannya di depan cermin. Diraihnya sebatang rokok yang dari tadi menempel di bibirnya. Perempuan itu meremas rokok dan membuangnya ke kotak sampah tanpa pernah membakarnya. Salma bangkit dan meraih handuk yang tergantung di salah satu sudut rumah kontrakannya yang sumpek. Azan berkumandang ketika Salma mulai mengguyur tubuhnya untuk mandi.

Senja mampir juga di gang tempat Salma dan dua anaknya tinggal. Hujan tinggal satu-satu menetes. Airnya nyangsang di bibir seng. Jatuh ke tanah. Menggenang, luber dan mengalir mencari tempat yang lebih rendah.

Malam ini, tiga mahasiswa membutuhkan jasa Salma. Siang tadi salah seorang dari mereka telah membuat janji untuk bertemu dengan Salma. Harga telah disepakati. Salma menyempurnakan polesan lipstiknya.

Perempuan yang telah ditinggalkan masa merekah itu berangkat tanpa ditemani Saiman. Becak membawanya keluar dari gang sempit yang suram. Salma menerabas malam.  Rinai hujan mengiringi perjalanannya.

“Sudah di mana ini bang?” tanya Salma sambil menyibak tirai mantel becaknya.
“Sebentar lagi kak Salma,”
Becak melambat. Salma berguncang. Tiga kali.
“Pelan-pelan, Bang. Aku tak mau dandananku rusak karena becaknya menabrak polisi tidur,” teriak Salma dari dalam.

Aku ada di tempat itu, ketika Salma dan pengantarnya tiba. Ketiga temanku itu kemudian mengajakku ikut ke dalam pesta mereka. Entahlah, apa aku harus ikut atau tidak. Tapi yang jelas aku berada di jalanan yang gelap, becek, suram dan muram. Malam memang memberikan kengerian.

Pukul 21 lebih sekian, aku pun memutuskan berjalan sendirian di tengah hujan. Menelusuri gang  becek dengan lubang-lubang yang boleh jadi memerangkapku. Aku tarik celana dan melompat memilah-pilah jalan. Ketiga temanku tengah memulai pestanya. Malam ini, mungkin sampai pagi nanti.

Salma kelelehan. Dia baru saja menghadapi pertempuran sengit melawan tiga bocah ingusan dengan berbagai macam permintaan. Dengan malas diangkatnya tubuhnya. Asap rokok dan ganja berpusing-pusing di kamar kos-kosan yang pengap itu. Salma bangkit dan membetulkan letak behanya. Perempuan itu pergi ke kamar mandi. Di tempat itu dia membersihkan tubuhnya dari luka dan dosa.

Dinihari, Salma melangkah keluar dari kos-kosan tempat salah seorang temanku itu menetap untuk menghabiskan sisa masa sekolahnya. Hujan sudah lama berhenti. Namun gemuruh sesekali masih dapat terdengar. Salma memanggil abang becak pengganti Saiman. Tak lama mereka memutuskan untuk meneruskan jalan menuju pulang.

“Kasihan Bang Saiman,” pengayuh becak membuka percakapan.
“Kenapa Bang?” tanya Salma di tengah perjalanan. Rambutnya yang basah mulai kering ditimpa angin malam.
“Tadi aku dapat SMS. Kata dia, anaknya tidak mengijinkan Saiman ikut dalam acara lamaran...” jawab si pengayuh disusul sengal nafasnya.

Salma teringat anaknya. Tiba-tiba dia merasakan kehampaan seperti yang dirasakan Saiman. Perempuan itu meringis. Giginya menggeretak. Malam benar-benar menjadi beku. Salma mengigil dalam kaku. Dia melihat dua anaknya yang tengah tumbuh menjadi gadis. Yang mekar, yang akan berkembang.  Salma melihat dirinya. Dia melihat malam. Dia melihat jalan yang basah oleh hujan. Tubuhnya berguncang. Tiga kali. Becaknya baru saja melindas polisi tidur.

“Berhenti, Bang!” perintah dia kepada pengayuh becak. Becak berhenti, di depan pagar sebuah mesjid.
“Aku turun di sini saja,” kata Salma sambil mengambil beberapa lembar uang dari dalam tas kecilnya.
“Tidak sampai rumah, Kak Salma?” kata pengayuh becak terus mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Salma menggeleng. “Terima kasih Bang,” katanya.

Udara makin menikam. Kengerian terus menghujam. Salma kehabisan nafas. Perutnya mual.
Di kamar kos yang sumpek, seorang perempuan menggeliat. Sementara seorang lelaki tengah baya terus bergerilya di balik selimutnya. Perempuan itu bahagia. Wajahnya berbinar, matanya bersinar. Seratus persen dia melakukan itu karena dia memang menyukainya. Tak ada beban apapun. Tak ada tekanan siapapun. Hampa. Perempuan itu hanya peduli pada kehampaan yang harus diisinya. Malam demi malam dia lewati dengan kegembiraan. Dia menemukan dirinya berpindah kota. Berpetualang mencari kesenangan. Dia masih segar. Dia sedang mekar.

Perempuan itu, Salma. Sekarang dia berdiri di depan pagar sebuah mesjid. Tangannya terus memegangi perutnya. Dia ingin muntah. Tapi dia menangis. Dia tak kuat berdiri. Tapi rahimnya terus dikocok tawa perempuan muda di balik selimut. Salma mengeluh. Salma mengaduh. Dia ingin masuk ke mesjid. Tapi mesjid tak menerima tamu. Sebab pintu gerbangnya tergembok. Sebab hari ini keadaan benar-benar tak aman. Bahkan di rumah Tuhan. Salma menangis. Dan dia muntah. Ampas dan sampah keluar dari mulutnya. Salma berlari dari marahnya. Tapi dia jatuh tersandung polisi tidur.

Di rumah petaknya, Saiman belum dapat memejamkan mata. Anak dan istrinya pergi ke luar kota. Dia tak habis pikir kenapa Bondan tega melarangnya ikut dalam prosesi lamaran.

“Hanya gara-gara aku seorang anjelo? Antar-jemput lonte?”

Lelaki itu terus memandangi kupu-kupu yang terbang ke sana-ke mari di ruang tamu.
Subuh hampir mampir, ketika pintu rumahnya diketok dari luar. Saiman melompat. Di depan pintu dia menemukan Salma berdiri mengigil.

“Aku sepotong kaca di tengah jalan. Singkirkan aku. Singkirkan aku,” bisiknya.

Saiman melirik becaknya. Hatinya menangis. Tapi kupu-kupu terus terbang dengan gembira di ruang tamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.