Minggu, 16 Februari 2014

Beringin Hutan

Di belakang rumah Syeh Zainal Abidin, ada sebatang beringin hutan yang akarnya mampu merusak lantai keramik rumah tetangganya yang berjarak 200 meter dari pohon itu. Nah, seingatku, duapuluhtahunan yang lalu, pohon itu demikian angker. Rimbun daunnya dan akar-akar yang menjuntai dari batangbatangnya mengisyaratkan bahwa pohon itu bukan sembarang tumbuh.

Duapuluhan tahun yang lalu, banyak orang yang percaya bahwa beringin hutan yang tinggi besar itu dihuni jembalang dan mambang. Aneka mahluk goib menghuni dan kerap mengganggu orang yang ingin berbuat jahat di tempat itu. Sehingga akhirnya oleh kesepakatan bersama, kawasan belakang rumah Syeh ZA dikenal sebagai kawasan larangan dan pantangan. Dua puluhan tahun lalu, kalau Anda melintasi beringin hutan itu, Anda mesti tabik-tabik kepada si penunggu.


Dua hari lalu aku menyempatkan diri singgah ke kampung masa kecilku. Usai jumatan, aku bertandang ke rumah Syeh ZA dan menemukan bahwa penghuninya sudah bertukar wajah. Syeh ZA sudah meninggal delapan tahun lalu dan kini anaknya yang bungsu -yang kukenal sebagai Bang Uncu- yang mendiami rumah yang memiliki sejarah bagiku.

Kampung masa kecilku itu sudah banyak berubah. Ruko dan tempat perniagaan berdiri megah. Mulai dari kede sampah sampai ADIRA juga ada. Hingar-bingar pesta demokrasi pun agaknya sudah tercium jelas di tempat ini. Baliho, spanduk dan bendera partai politik yang beraneka macam serta wajah calegnya menghiasi titik-titik sepanjang jalan yang terlihatku.

Usai bertukar kabar dengan Bang Uncu, kami pun melepas lelah di ladangnya yang kini sudah ditumbuhi rumah. Seingatku, sebelum ada sepetak rumah, di atasnya dulu menjadi tempat yang paling asik untuk bermain perang-perangan. Sambil mengulum buah seletup, dulu kami biasa mengincar lawan dan terus mengarahkan tulup. Tapi kini, anak perempuan Bang Uncu sudah mendirikan sebuah rumah di area pertempuran kami. Usai singgah di rumah itu, Bang Uncu pun kemudian mengajakku kembali menjiarahi sejarah. Dia mengingatkan aku, tentang masa kecilku yang pemalu, penakut dan gemar bertanya. Sampai akhirnya kami berhenti di depan sebatang pohon yang dulu pernah menjadi teror.

Bang Uncu tersenyum. Dia bertanya padaku, apakah aku masih suka menanyakan sejarah beringin hutan yang membuat banyak orang lebih memilih menghindari apabila berpapasan. Aku pun tersenyum. Guruku, Syeh ZA pernah berkata kepada kami, bahwa tak ada hal yang paling menakutkan di bumi ini kecuali diri sendiri. Dan aku memahami kalimat Syeh ZA itu jauh waktu setelah menerima ilmu itu dari beliau (semoga ilmu Syeh ZA menjadi cahaya yang menerangi jalan kepulangannya kembali bersatu kepada Pemilik ruh).

Kuperhatikan pohon besar rimbun yang akarnya telah merusak lantai keramik rumah 200 meter dari tempatnya berdiam itu. Mataku mengedar. Sampai akhirnya aku dapat menangkap citra yang samar-samar muncul dari balik akar-akar yang saling membelit di batangnya. Dan aku tertawa.

Dengan menahan kekeh, aku menjawab pertanyaan Bang Uncu. "Barangkali dulu aku menyimpan banyak pertanyaan untuk pohon ini, Bang. Dan karena aku takut untuk mengetahui jawabannya, maka kuputuskan untuk tidak menanyakannya. Tapi kini tidak. Wajah caleg dan gambar Prabowo Subiyanto yang ada di poster itu meyakinkan padaku, bahwa pohon ini dua kali lebih angker dari yang dulu," kataku sambil menunjuk sebuah poster milik seorang caleg yang dipaku di batang beringin hutan.

Bang Uncu tersenyum. "Kami pendukungnya," kata dia meyakinkan aku. Aku tak pernah mau terlibat perdebatan dengan keyakinan orang lain. Almarhum guru mengajiku, Syeh Zainal Abidin pernah berkata: "Keyakinanmu adalah untukmu. Kau tak bisa membandingan dua pisau yang memiliki fungsi berbeda," begitu kira-kira kata beliau ketika memberikan ceramah mengenai keyakinan.
Beringin hutan di belakang rumah Syeh Zainal Abidin itu mungkin sebentar lagi akan ditumbang. Pasalnya, yang kudengar dari mulut Bang Uncu, dia berencana membangunkan rumah untuk anak perempuannya yang nomor empat.

Kalau begitu, tabikku kepada pohon beringin hutan dan penunggunya. Sebentar, kukira sekarang penghuni pohon angker itu adalah si caleg dan Prabowo. Ya, tak apalah. Tabik juga untuk caleg dan Prabowonya.

Binjai, 16 Pebruari 2014.



p.s: di jaman demokrasi ala facebook ini, ternyata para caleg dan parpolnya tidak saja mengisi tempat angker seperti media sosial. aku baru tahu, kalau tempat bersemayamnya jin ifrit pun dijadikan ajang menampakkan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.