Oleh: HT
Dia
tak pernah lelah menjadi saputangan. Walau pekerjaan yang dilakukannya
kadang terlampau menjijikkan. Bukan itu saja, perlakuan tak pantas malah
acap kali dia terima. Setelah menepis ingus, menahan ludah, dia
disembunyikan di saku belakang. Di pantat!
Sekali waktu dia hampir menyerah menjadi saputangan. Sebab dia tak kuasa menahan bobot sang tuan yang menindihnya di atas kursi berbahan jati. Dia menangis. Tapi hanya dia sendiri yang mendengar. Dia ingin berhenti menjadi sapu tangan, tapi ingatannya melarang.
"Jangan! Sekali waktu kau pernah terhibur oleh tangisan seorang perempuan yang ditindih sang tuan. Dan kau hadir di sana sebagai penyeka air mata"
Meski menangis, saputangan membatalkan niat untuk menyerah. Sambil menahan sakit dia umbar senyuman dan berkata: "aku adalah pahlawan"
Sayangnya sang tuan tak pernah bisa mendengar. Dia tetap duduk manis di atas kursi berbahan jati. Dan saputangan harus menerima kenyataan itu.
Binjai, 17/9
Sekali waktu dia hampir menyerah menjadi saputangan. Sebab dia tak kuasa menahan bobot sang tuan yang menindihnya di atas kursi berbahan jati. Dia menangis. Tapi hanya dia sendiri yang mendengar. Dia ingin berhenti menjadi sapu tangan, tapi ingatannya melarang.
"Jangan! Sekali waktu kau pernah terhibur oleh tangisan seorang perempuan yang ditindih sang tuan. Dan kau hadir di sana sebagai penyeka air mata"
Meski menangis, saputangan membatalkan niat untuk menyerah. Sambil menahan sakit dia umbar senyuman dan berkata: "aku adalah pahlawan"
Sayangnya sang tuan tak pernah bisa mendengar. Dia tetap duduk manis di atas kursi berbahan jati. Dan saputangan harus menerima kenyataan itu.
Binjai, 17/9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan