Rabu, 17 Desember 2014

Zakelijk

Salam

Masih ingat caranya bersikap manis ketika mendengar ceramah bapak atau ibu guru di depan kelas? Sementara pandangan mata kita pura-pura serius, isi kepala kita berputar-putar di ruang tanpa batas. Sesekali menguap dan tertunduk menahan kantuk. Lantas melihat lagi ke arah depan kelas. Badan terpasung. Mata dipaksa. Keseriusan menjadi tuntutan utama. Tentunya, bagi yang menghendaki nilai di buku report-nya tak dituliskan dengan noktah merah, wajib hukumnya untuk melewati fase itu.

Ada yang bilang, seharusnya di masa-masa sekolah, kita tak harus kehilangan masa keceriaan. Tapi ada yang bilang sebaliknya. Kita bisa tetap ketawa-ketiwi meski capek dituntut pekerjaan rumah di sana-sini. Tapi apapun itu, yang pasti, di masa sekolah primary sampai elementry adalah masa kita mengenal semuanya. Termasuk mengenal karakter guru, mengategorikannya, apakah guru kita adalah guru yang populis dan familiar, atau justru termasuk kelompok sadis dan killer.


Adalagi kok, di antara kita, meski kecewa dengan nilai jelek, namun tetap semangat pergi sekolah. Mengikuti pelajaran yang masuk kuping kiri keluar kuping kanan, hanya demi satu tujuan, melihat wajah pujaan hati.

Berbagai motif kemudian bermunculan. Bahkan, boleh percaya, sekolah rupa-rupanya telah menjadi sebuah tren dan gaya hidup formal sosial. Apa yang akan terjadi bila tidak sekolah? Yang jelas, tak mungkin bisa membaca tulisan ini.

Nah, selain sebagai gaya, sekolah juga menjadi sebuah kerinduan dan cita-cita. Bagi orang yang bertekat mencari ilmu dan rela diceramahi selama delapan jam sehari, sekolah adalah tempatnya. Meskipun ternyata ada juga sekolah yang tak menepati nilai fungsinya. Bagi yang tak punya cukup uang, ya, jangan harap bisa memilih sekolah. Bisa sekolah saja sudah baik. Apalagi sekolah hari ini memang dirancang bukan buat orang yang tak punya uang. Makanya, orang miskin dilarang sekolah.

Gimana? Masih ingat dengan masa-masa itu tidak? Dimana kita mempelajari semuanya, mulai dari buku suplemen yang kurikulumnya disusun dengan tak terperinci. Belajar olah raga, termasuk tawuran dan menonjok teman. Menipu sampai merokok di toilet. Belajar pacaran sampai berfoto bugil segala dengan telpon genggam?

Di sekolah, semua hal kita ketahui. Tapi hanya satu yang tak pernah kita pelajari. Membebaskan nalar, dan memerdekakan akal. Sekolah hanya menjadi penjara, yang memasung pikiran dan ide. Serta memaksa kita menjadi murid yang manis, yang taat pada keharusan dan kewajiban mengerjakan tugas dan mengisi daftar hadir. Itu saja. (red)


*Dimuat di jurnal sastra dan kebudayaan Kapasmerah, edisi X-4 207

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.