Rabu, 06 Maret 2019

Paradoks Pengamanan Pilpres Di Sumut

Oleh: Hujan Tarigan


KINERJA Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam mengantisipasi potensi konflik menjelang Pilpres sungguh patut diacungi jempol. Kericuhan yang muncul saat  peringatan Hari Lahir Nahdlatul Ulama ke-93 pada Rabu (27/2) di Tebing Tinggi itu langsung dipadamkan dengan cepat dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Harapannya, dengan reaksi cepat bak pemadam kebakaran itu, Polda Sumut menjadi role model bagi kepolisian di daerah lain untuk penanganan keributan yang muncul di tengah masyarakat yang tengah terjebak di dalam situasi binary opposition.


Benar saja, banjir pujian pun mengalir kepada kinerja penegak hukum berseragam coklat ini. Banyak dukungan dan sanjungan dialamatkan kepada khususnya Kapolda Sumut, Irjen Pol Agus Adrianto.

Belakangan, pujian kepada Kapolda Agus Adrianto terdengar sumir. Gerindra Sumut lewat Romo Center yang dikelola oleh anggota DPR RI, Muhammad Syafi'i  menggugat sanjungan warga terhadap kesigapan sang Kapolda. Kok?

Prestasi dan ketangkasan kepolisian daerah Sumut itu dinilai melukai suasana kebhatinan warga yang tengah terjebak dalam polarisasi pilihan.

Kalimat yang dilontarkan sang Kapolda beberapa saat setelah upaya pemadaman kericuhan yang disebabkan oknum FPI di acara Harlah NU itu menjadi paradoks.

Bagaimana tidak paradoks, disaat upaya dan tindakan tegas terhadap segala bentuk dan potensi kericuhan muncul menjelang 17 April, Kapolda Agus malah membangun dan menancapkan pemahaman bahwa binary opposition itu memang nyata.

"Belum berkuasa saja mereka sudah sewenang-wenang," demikian kata Irjen Pol. Agus Adrianto yang potongan videonya viral dan memenuhi jagad maya.

Sepotong kalimat inilah yang menjadi sumbu baru ledakan di tengah masyarakat yang memang sedang bergejolak menghadapi Pilpres.

Belum lagi hilang ingatan kolektif warga dengan kasus mantan Wakapolda Maluku, Brigjen Pol. Hasanuddin yang dinilai tidak netral pada suksesi kepala daerah di Maluku 2018 lalu, kini Kapolda Sumut menggunakan istilah "Mereka" dalam keterangannya kepada wartawan yang viral di media sosial.

Nasib Hasanuddin berakhir dengan mutasi karena dinilai tak netral dalam Pilkada Maluku lalu.

Persoalan yang muncul dari insiden, katakanlah keselip lidah atau sebuah ekspresi yang meledak saat berhasil menyelesaikan sebuah kasus, dari Kapolda itu yang kemudian dipotret oleh pendukung pasangan 02 dalam hal ini tentu saja Gerindra Sumut sebagai bentuk ketidaknetralan Kapolda.

Diluar dari kericuhan, apa dan mengapa, lantas siapa dan menimbulkan apa, agaknya Romo Syafei merasa Kapolda harus meluruskan kalimatnya yang menggunakan kata-kata yang menambah runyam "mereka" dan "kami" di Sumut.

Kalau saya boleh berkata, dalam sebuah puisinya berjudul "Sajak Pertemuan Mahasiswa" yang ditulis penyair WS Rendra pada Desember 1977 dan masuk dalam kumpulan puisi pamfletnya "Potret Pembangunan dalam Puisi", Si Burung Merak itu berkali-kali mengingatkan bahwa niat yang baik harus disampaikan dengan cara yang baik.

"Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya:
Maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yang mana?”

Demikian sepotong puisi yang dituliskan WS Rendra mengingatkan bangsa ini agar memulai satu kebaikan dengan cara yang baik dan komunikasi yang baik.

Kini, masyarakat Sumut semakin terbelah karena paradoks pengamanan yang dilakukan jajaran kepolisian di Sumut beberapa waktu lalu.

Satu hal, Kapolda dan jajarannya pantas dan layak diberi apresiasi yang bukan sekadar tepuk tangan atau jempol di media sosial. Niat baik dan reaksi cepat yang dipertontonkan kepolisian di Sumut adalah kerinduan rakyat ini kepada kesigapan instrumen negara untuk hadir dalam persoalan yang sedang dialami warga.

Namun persoalan baru, akibat kalimat yang dilontarkan Kapolda mengenai "mereka yang belum berkuasa" itu sungguh menjadi hal lain yang bisa jadi bukan sebuah ancaman main-main bagi posisi Irjen Pol Agus pribadi. 

"Di bawah matahari ini kita bertanya:
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita berdiri di pihak yang mana!" kata Rendra.

Kalau saya hanya berpesan, berniat baiklah seperti Pegadaian. Yang menyelesaikan masalah tanpa masalah. ***

*Penulis Fiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.