Senin, 31 Januari 2022

Surat-surat dari Pedalaman [1]


Dear Tuan Hujan


Sekiranya Anda dalam keadaan sehat bahagia ketika membaca kisah-kisah yang saya tuliskan ini.

Setelah surat Tuan terakhir yang saya terima, saya jadi terkesima dengan adegan dimana Tuan mengisahkan sejarah berdirinya pasar-pasar tradisional di negeri tuan.

Khususnya tentang sebuah pasar, yang bernama Tavip, dimana nama itu mengingatkan saya pada sebuah peristiwa dimasa lampau, ketika pada HUT RI ke 19 pada 1964, Presiden Soekarno membacakan pidato kenegaraannya yang diberi judul TAVIP.

TAVIP adalah sebuah akronim dari gabungan kata Tahun dengan sebuah frasa dalam bahasa italia. Vivere Pericoloso. Yang dalam bahasa melayunya berarti Menyerempet Bahaya.

Bukan tanpa alasan Presiden itu memberikan judul pidatonya sebagai Tahun Vivere Pericoloso.

Sejak awal tahun 1960, setelah dekrit presiden dibacakan pada 5 Juli 1959, Negara benar-benar diambang perpecahan. Semangat Presiden untuk menyelamatkan negara dari bahaya yang muncul dari berbagai kelompok kepentingan justru semakin mengkerucut. Anda tahu, bak puncak piramida, situasi di masa itu menegang dan semakin meruncing di tahun 1964.

Tapi, Tuan Hujan, surat ini tidak akan membicarakan itu. Apalagi kisah lanjutannya yang berujung pada peristiwa 1 Oktober 1965. Saya terkesima dengan kisah Tuan, tentang kota Tuan yang mengabadikan tahun-tahun berbahaya itu dalam suatu monumen. 

Tuan berkisah, bagaimana kisah evolusi kata pajak menjadi pasar, dan bagaimana perubahan Pajak Bawah menjadi Pasar Tavip.

Kalau saya tak salah menukil, sejarah pajak dan penamaan di Kota Tuan, cukup panjang dan menarik untuk diurai.

Pajak pertama kali dikenal ketika pemerintah kolonial Belanda datang dan membangun kampung Tuan. Sebelumnya, di kampung Tuan, hanya mengenal kata Pekan sebagai tempat transaksi dan pertukaran barang dan jasa.

Kata Pekan itulah yang kemudian hari ini dikenal sebagai kata Pakan, atau makan. Tuan berasumsi, pada masanya, orang-orang akan bertemu di suatu tempat untuk melakukan pertukaran bahan pakan selama tujuh hari sekali. Dan Tuan pun berteori kenapa sepekan ada tujuh hari.

Pengaruh yang dibawa pedagang-pedagang asing termasuk dari Arab memang luar biasa terhadap pertumbuhan dan perkembangan Kota Tuan.

Sehingga, kata Pekan kemudian berganti menjadi pasar yang dalam bahasa arabnya bazaar.

Kampung tuan sungguh kaya. Saya melihat itu dari perbendaharaan kata yang dimiliki sebuah benda.

Meski pekan dan pasar tetap dipakai, Tuan berkata, orang di kampung Tuan tetap menggunakan kata pajak. karena itu akan mengingatkan pada penderitaan yang dilakukan pemerintah kolonial dengan politik belastingnya, memungut pajak. Dimana, sebelumnya, pajak tidak dikenal di negeri Tuan.

Saya pun terkenang dengan orang-orang Batavodrum yang enggan membayar pajak dengan koin bergambar caesar pada masa Romawi menjadi penguasa eropa. Luar biasa pembangkangan mereka untuk tidak membayar pajak, sehingga pemerintah Romawi mengabadikan kebandelan mereka kepada anak cucunya.

Batavodrum adalah sebuah wilayah yang hari ini letaknya ada diantara Belgia, Belanda, Perancis dan Jerman. Kawasan itu pada masanya pernah dihuni bangsa Jermanik. 

Konon, setiap tentara Romawi yang ditugaskan untuk mengekspansi wilayah ini, selalu pulang dengan kekalahan. Digambarkan, orang-orang bata ini kanibal dan suka memangsa orang asing.

Dongeng itu lah yang kuat dugaan saya telah menginspirasikan militer Belanda pada penumpasan pemberontakan yang dipimpin Datuk Sunggal dan kerabatnya di Kota Tuan, Timbang Langkat, dengan sandi operasi militer "Batak Oorlog" atau dalam bahasa melayunya, perang melawan orang batak.

Dan tanggal meletusnya perang selama 23 tahun itu terjadi pada 17 Mei.

Sekali lagi, Tuan Hujan, saya takzim dengan semangat yang dimiliki orang-orang di kota Tuan. Tak hanya mengabadikan peristiwa Tavip, tapi juga merayakan hari jadi Kota Tuan sebagai peringatan hari perlawanan terhadap semangat kolonialisasi. Kota Tuan pasti dihuni oleh sekumpulan patriot yang menjunjung tinggi semangat para pendahulunya.

Tuan Hujan yang budiman.

Saya membaca ulang kisah-kisah sungai yang menjadi urat nadi di Kota Tuan. Tuan berkisah bagaimana sungai memiliki peran penting sejak awal tumbuh kembangnya kota hingga selamanya.

Pasar-pasar dan dusun berdiri di sepanjang sungai. Warga sempat menjadikan sungai sebagai satu-satunya harapan dalam segala hal. Karena di sana, sesungguhnya tidak pernah terjadi perpisahan, justru penyatuan. Sungai adalah alat mempersatukan orang di hulu dan hilir. Menyambung tali persaudaraan. Melakukan ritual keyakinan, serta aktivitas perekonomian yang menunjang keberlangsungan hidup.

Saya tak kaget ketika Tuan mengisahkan, pajak bawah atau pasar Tavip itu berdiri persis di tepi sungai Bingei dan bertetangga dengan masjid tertua di Kota Tuan. Dimana peletakan batu pertamanya oleh Sultan Langkat Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah (Tengku Ngah) bin Raja Ahmad pada 1887.

Tapi saya punya pertimbangan lain tentang masjid pertama itu, Tuan.

Tanpa mengecilkan pendapat Tuan atau siapapun, saya berpikir tentulah sebelum itu, masjid sudah berdiri di kota Tuan. Sebagaimana kampung-kampung lain di tepi sepanjang aliran sungai itu. Tentulah mereka sudah lebih dulu eksis.

Sebagaimana kita ketahui, Tuan Hujan, nama itu adalah soal kesepakatan. Pujangga Inggris, William Shakespeare memang pernah berkata lewat tokohnya Romi yang mempertanyakan perihal eksistensi kepada kekasihnya Juli. Apakah seorang capulet tidak boleh jatuh cinta pada seorang montega? Apakah artinya nama? Andaipun mawar diganti nama, harumnya tetap mempesona.

Dan saya kira, itulah yang terjadi dengan kata Binjai.

Kota dimana kini Tuan Hujan yang budiman menghabiskan masa pensiun dan membunuh waktu dengan menulis kisah-kisah kepada saya. 

Binjai adalah nama sebuah pohon. Dalam kamus biologi, Binjai itu disebut sebagai caesa mangifea. Tanaman ini tanaman hutan. Sejenis asam-asaman. Saudara terdekatnya adalah mangga dan kemang.

Jikapun pada akhirnya para ahli botani menyebutnya sebagai caesa mangifera, siapa yang memberi nama tanaman itu sebagai Binjai di kota Tuan? Kenapa disematkan nama itu? 

Tentu tiada yang tau, siapa dan kapan? Dan karena itu, kesepakatan di Kota Tuan, memperingati hari jadi kota itu dengan mencari tanggal bersejarah sebagai monumen berdirinya. Benar tidak?

Tuan Hujan, saya menulis ini sambil membayangkan kita duduk berhadap-hadapan. Di depan saya duduk anakmuda yang enerjik. Yang berbicara berapi-api, mengalahkan George Washington saat mulai berkampanye menghancurkan benteng Inggris di Bunker Hill.

Ya,saya merindukan saat dimana kita menghabiskan malam menjelang pagi, dengan bersloki-sloki brandy. 

Dengan asap tembakau yang hampir takputus selama pembicaraan,saya akan membayangkan Tuan berbicara lantang sambil menunjuk-tunjuk langit. 

"Bahwa nama itu disepakati karena adanya sebuah aktivitas yang berlaku di bawahnya. 

Pohon binjai itu hidup dan banyak tumbuh di tepi sungai di Kota kami pada masa lampau. Orang bersandar, orang berdagang orang bersyiar dan bersyair di bawahnya, di tepi sungai. Dan para perlanja sira itu, pada pedagang garam dari dataran tinggi itu akan memberikan janjinya untuk kembali bertemu dengan mitra dagangnya pada suatu waktu ketika hari menjelang senja. Karaben, Jei! Kita bertemu di bawah pohon itu besok, saat senja!"

Dan pidato Tuan itu sekonyong-koyong menyadarkan saya tentang tempat dimana kita duduk dan menghabiskan brandy; Warung Demokrasi.

Tuan tentu ingat tempat itu, namanya kita sepakati bersama. Kita membayangkan cita-cita demokrasi dan semangat proklamasi 1945 di sana. Kita membicarakan Demokrasi ala Indonesia.

Semangat yang pernah dimiliki Pujangga besar Indonesia yang berasal dari Kota Tuan, Tengku Amir Hamzah serta seorang anak muda yang tewas sebagai pahlawan Ampera. Dimana namanya diabadikan sebagai nama jalan yang pendek menuju Pasar TAVIP. Dialah Zainal Zakse. 

Kecil, menyempil seperti upil di pojok kenangan Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Kota bahkan Indonesia.


Tuan Hujan yang diberkati Tuhan. 


Saya merindukan kisah-kisah Tuan yang lain. Jangan berhenti menulis kabar kepada saya. Saya menantikan kisah Tuan yang lain dengan hati yang berbunga-bunga.


Salam Hormat dari Saya, Sahabat terkasih Tuan



Murti Latia

Maardathillah, 31/1/2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.