Kamis, 28 Maret 2019

Sandi Satu Kartu Dari Sandi Mentahkan Ribuan Kartu Janji

 Oleh: Hujan Tarigan


SELAIN semua kartu program yang dijanjikan oleh Pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden Petahana memerlukan Kartu Tanda Penduduk sebagai pengantar kepengurusannya, KTP yang kini berada di saku pembaca semua memiliki makna yang luar biasa berkali-kali hebat dan nyata-nyata dahsyat.

Saya akan ilustrasikan kehebatan KTP, yang barangkali Anda tak sadari, lewat sebuah karya fiksi.

Tahun 2001, Saya menonton sebuah film karya sutradara Iran kesohor yang mahsyur dengan karya-karya humanisnya. Judulnya adalah Baran. Dalam bahasa Parsi, Baran berarti Hujan. Film besutan Majid Majidi ini menjadi film terbaik di Montreal Film festival (Kanada) 2001. Berkisah mengenai perjuangan cinta seorang pemuda Iran dengan seorang imigran, pengungsi dari Afghanistan.

Film yang biasa diputar di saat lebaran ini berlatar belakang pada masa perang Afghanistan melawan Uni Soviet pada 1990.


Adalah Latif seorang pemuda yang bekerja sebagai buruh bangunan yang dimandori seorang Kurdi bernama Memar.

Memar mempekerjakan buruh cabutan yang berasal dari penampungan warga pengungsian Afghanistan. Pada proyek sebuah bangunan, Memar mempekerjakan para pencari suaka itu dengan harga yang murah.

Pada suatu ketika sebuah insiden terjadi. Najaf salah seorang pengungsi mengalami kecelakaan saat bekerja. Agar keberadaan pekerja imigran gelap tidak terendus, Memar kemudian meliburkan pekerjaan pasca kecelakaan yang dialami Najaf.

Setelah aman, beberapa waktu kemudian, Memar kembali membuka pekerjaan, seorang pekerja baru datang kepadanya. Didampingi kepala rombongan para imigran, bernama Soltan, Memar menerima pekerja pengganti Najaf itu yang ternyata merupakan anak dari Najaf.

Anak itu bernama Rahmad, yang bila ditafsirkan lebih dalam berarti hujan. Majid Majidi membangun konflik sosial saat membangun percintaan antara Latif, pekerja termuda di proyek itu dengan Rahmad pengganti Najaf yang belakangan setelah terbongkar, diketahui bahwa Ramhad adalah seorang perempuan.

Mulai dari ketidaksukaan Latif dengan kehadiran Rahmad, hingga Latif harus kehilangan pekerjaannya sebagai utusan Memar yang berbelanja ransum di kota, Rahmad yang lemah, akhirnya mengambil semua hak ekslusif Latif.

Tatkala akhirnya Latif mengenali identitas asli Rahmad, lelaki itu pun berubah drastis. Antara rasa bersalah, simpati hingga rasa ingin melindungi muncul silih berganti.

Puncaknya dari itu semua adalah, ketika perang Afghanistan selesai, dan keluarga Najaf memutuskan untuk pulang.

Latif yang ingin membantu Najaf dan Rahmad kemudian menyumbangkan satu hal yang paling berharga yang dimilikinya.

Setelah semua gaji yang niatnya untuk membantu Najaf dibawa lari Soltan, Latif hanya punya KTP.

Surat ekslusif yang bisa dibanderol dengan harga mahal di pasar gelap itu, pun akhirnya dilepasnya hanya untuk menolong orang yang akan pulang dan meninggalkan negerinya, Iran.

Dengan niat ingin melindungi, Latif menjual KTP nya di pasar gelap dan menyerahkan semua hasil penjualannya kepada keluarga Najaf dan putrinya Rahmad.

Dan film ditutup. Penonton silakan memikirkan nasib Latif kemudian. Ingat, tanpa KTP, Latif sama nilainya dengan imigran gelap. Barangkali pula, seperti namanya, Latif yang berarti halus, pemuda yang berperasaan halus itu pun tentu saja menjadi mahluk halus karena kehilangan hak warganya.

Pada debat Calon Presiden yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3), Sandiaga Uno menegur bangsa ini tentang hakekat negara, warga negara lewat sesuatu yang dikeluarkannya dari dompet di sakunya.

Pesan nyata lewat sandi yang disampaikan Sandi saat memberikan closing statementnya, bahwa, Indonesia adalah sebuah negara yang dihuni oleh sekumpulan manusia yang berikrar untuk setia menjadi warga negara.

Dan karena keinginan untuk tetap berada dalam bingkai negara kesatuan, maka sudah sewajarnya bahwa negara sebagai pemilik regulasi memberikan jaminan, bahkan lebih dari tujuh jenis kartu yang sudah disiapkan paslon 01.

Jaminan-jaminan kewarganegaraan tentang apapun itu sudah wayahe diatur dan diurus oleh pemangku kebijakan yang diberikan amanat untuk mengurus negeri.

Sandi dari Sandiaga Uno itu agaknya selama ini tersingkir dari ingatan kolektif, sehingga lagi tak menyadari, bahwa KTP adalah kartu sakti dalam konteks kenegaraan. Pengakuan hak-hak seorang warga. Yang seharusnya dengan bermodalkan itu, kesejahteraannya, kesehatannya, pendidikannya, hak-hak bersuara dan berpolitiknya diakui oleh mereka yang mengeluarkan KTP.

Sandi tak perlu mengeluarkan banyak kartu untuk mengingatkan segala jenis janji serta rancangan program untuk membujuk rayu dan meyakinkan orang-orang bahwa Indonesia ini adalah sebuah negeri dimana segala rakyatnya diberikan jaminan sesuai dengan amanat preambule UUD 1945 sebagai cita-cita bersama kemerdekaan.

Satu kartu yang bahkan ingin dimiliki mereka yang bukan warga negara agar bisa memberikan  suaranya di Pilpres 17 April mendatang itu, adalah kartu yang paling berharga. ***

*Penulis Fiksi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.