Senin, 28 Februari 2011

Penggalan Kisah di Atas Ranjang

Oleh: Hujan Tarigan

 (Untuk sahabat termanisku: Teratai)

DIA ingin dibaringkan di dipan itu, Nanti ketika dia mati. Seperti yang kerap mucul di bayangan masa depannya yang pasti. Dia berharap, apapun kondisi yang terjadi pada jasadnya kelak, dia ingin dibaringkan di ranjang yang telah menjadi saksi rentetan sejarah hidupnya. Enam puluh tahun, melewati hari-hari yang luber kenangan. Enam puluh tahun menghabiskan sisa cerita kehidupan.

Dia tak bosan-bosan memberikan peringatan kepada anak-anaknya mengenai permintaannya itu. Dan tak jemu untuk kembali mengulang-ulangnya meskipun kisah itu sudah disampaikan beratus kali.

“Kisaku bermula dari atas ranjang itu dan harus kututup di sana. Jadi, di antara kalian, dengarlah permintaan yang sudah kuawali sejak dini ini, aku ingin ditidurkan di sana untuk terakhir kali,” demikian dia berwasiat kepada anak-anaknya, Syarip, Matuloh dan Ambar.

Itu diutarakan Umar kepada ketiga anaknya ketika dia menginjak usia 45 tahun. Ketika itu dia telah menjadi petani sukses yang memiliki empat mesin traktor dan beberapa puluh hektar tanah. Meski jelas kehidupan ekonominya sudah jauh lebih baik, namun dia tetap tidur di atas ranjang tua peninggalan bapaknya. Sebuah ranjang pegas yang hanya diselimuti kain tipis, serta kaki-kaki jati yang sudah mulai keropos oleh waktu. Ranjang itu mendapat tempat kehormatan di ruang tidurnya, sebuah ruang paling privasi yang tak semua anaknya bisa mengakses keluar masuk dengan mudah.

“Mestinya kita ganti, Pa. Lihat ranjang ini sudah ketinggalan jaman, sudah lapuk dimakan usia. Aku takut nanti ketika kita tidur, ranjang ini roboh dan kita jatuh. Aku mulai kuatir dan tak nyaman,” demikian mendiang istrinya, Zuleha kerap merisaukan. Namun Umar tak menghiraukan ketakutan istrinya. Keyakinannya pada ranjang warisan itu sungguh tak tergoyahkan. Dan malam itu seperti juga malam-malam yang sudah dilalui, menjelang sepasang insan itu tidur, Umar kembali mengisahkan mengenai sebuah legenda: ranjang.

Ajaibnya, ketika paginya terbangun, Zuleha yang nyaris saban malam meragukan kekuatan ranjang, bangun dengan wajah sendu namun memancarkan kekuatan jiwa yang luar biasa dari hari sebelumnya. Demikinlah setiap pagi, wanita itu dengan tertib merapikan seulas kain tipis yang menyelubungi per pegas yang sudah berkarat dari ranjang kesayangan suaminya. Terkadang dengan senyum manja, dia membayangkan wajah suaminya ketika mengisahkan riwayat ranjang warisan orang tuanya. Ada kekuatan baru yang dia peroleh di hari baru dari kisah-kisah lalu.

Sampai suatu ketika, Zuleha tak lagi mengeluh dan mendengarkan tentang riwayat ranjang yang selalu diulang-ulang suaminya saban malam.

Umur Umar 40 tahun ketika itu. Dengan sendu dan kekuatan luar biasa dari sepasang matanya, dia menatap istri yang paling dicintainya terbaring kaku di atas ranjang. Dia menatap kelembutan wajah istrinya untuk terakhir kali. Sama seperti dia menatap sisi kelembutan orang-orang terkasihnya yang pernah dibaringkan di atas ranjang itu sebelum Zuleha: ayah, ibu, adiknya Muchtar.

“Jadi, kakek membopong ranjang itu ke pengungsian?” tanya Ambar dengan ekspresi wajah berubah-ubah. Dia selalu bertanya setiap kali Umar mengulang kisah mengenai ranjang kesayangannya. Dan khusus Ambar, anak perempuan Umar satu-satunya itu, selalu tampak serius menanti penggalan-penggalan cerita yang sudah didengarnya.

“Iya. Tentu. Coba bayangkan, ketika itu dia melakukannya sambil menggendong paman Muchtar. Sementara papa dan nenek menggendong perbekalan. Kami menyeberangi Sungai Deli,” jawab Umar.

“Luar biasa. Tak bisa terbayangkan olehku, Pa” bisik Ambar, suaranya nyaris tak terdengar. “dan hanya itu yang diselamatkan kakek ketika dalam masa pelarian?” lanjut Ambar bertanya. Umar mengangguk. Seulas senyum mengembang dari jawaban yang mengambang.

“Tapi mengapa kakek hanya sempat berpikir membawa dipan itu lari? Bukankah harta yang berhasil kakek kumpulkan lewat partainya jauh lebih berharga?” demikian Ambar kembali mengulang pertanyaan. Seolah dia ingin mempertegas sebuah rahasia yang belum juga dikuak Umar, ayahnya. Bila sampai pada adegan itu dan menerima pertanyaan Ambar yang selalu diulang-ulang, Umar hanya mendehem. Matanya kembali menerawang menembus waktu dan ruang.

“Dia terbaring di sana. Dengan luka cukup parah. Aku masih kecil ketika itu. Aku dan kakekkmu yang merawatnya,” kenang Umar pada cerita mendiang ayahnya.
“Masa sih, Yah?”
“Hm…”
“Dan lelaki itu…”
“Iya. Dia Si Pacar Merah,”

Tercekat jantung Umar. Dia meragukan kisah ayahnya sekaligus bisa menerima dengan perasaan yang dia sendiri tak bisa mengenalinya.

“Dia sempat datang kembali dan bermalam di rumah kita. Dia tidur di sana,” “Dia kembali lagi? Dan tidur di sana?”
“Hm… dia nekat menembus barikade tentara Belanda hanya untuk menemui kekasihnya.”

Banyak cerita, banyak berita yang diterima namun hanya berputar-putar di udara. Mengambang lepas dengan topeng seribu wajah. Memunculkan kesimpang siuran yang mengasikkan untuk dipecahkan kebenarannya. Umar selalu mempertanyakan kisah itu, sama halnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut si bungsu, Ambar, mengenai alasan kakeknya yang hanya membawa lari sebuah ranjang usang ketika tragedi 65 terjadi. Dan Umar tak perlu menjawab apapun untuk pertanyaan si Bungsu.

***

Setelah enam puluh tahun berseliweran di atas bumi, Umar kembali mengutarakan wasiatnya. Namun hanya ada satu penggalan yang tidak dikisahkanya kepada Ambar dan kedua kakak lelakinya, Syarip dan Matuloh. Kisah itu hanya diceritakannya kepada Zuleha, kepada perempuan yang sepanjang 12 tahun lebih 143 hari menjadi temannya berbagi ranjang. Kisah yang paling romantis yang selalu ingin didengar langsung Zuleha dari mulut Umar. Mengenai Si Pacar Merah dan kekasihnya yang malam itu singgah di rumah kakek Umar.

“Benarkah si Pacar Merah pernah melakukan hal yang paling konyol demi seorang perempuan?” tanya Zuleha suatu masa ketika kedua pasang manusia itu hendak tidur untuk kemudian sepuluh bulan setelahnya, lahirlah Syarip, buah cinta Umar dan Zuleha.

“Heroik tepatnya,” jawab Umar yang ketika itu baru keluar dari tahanan karena usahanya dalam perjuangan pembebasan lahan petani.

“Konyol. Seperti kamu. Dan kurasa-rasa semua lelaki memang begitu,”

“Hm… apakah semua perempuan seperti kamu, Bu, menganggap kepahlawanan cinta seorang lelaki sebagai perbuatan konyol bin gombal?” tantang Umar sambil menatap tajam mata istrinya. Zuleha menarik nafas dan menghembuskannya dengan pelan sekali, sehingga Umar dapat mendengar irama hati sang istri.

Dan kisah itu adalah adegan yang paling disukai Zuleha. Seperti pengakuannya kepada Umar beberapa tahun lalu sebelum meregang nyawa di atas ranjang pegas karena kanker ganas.

Umar Baihaki dilahirkan di atas ranjang itu dengan segala harapan dan cinta. Pada usia ke 69 tahun lebih sekian hari, tepatnya dua minggu setelah percakapannya dengan Ambar, lelaki itu terbaring beku di atas ranjang pegas. Dan sesuai dengan amanah ayahnya, Ambar meletakkan jenazah Umar di atas ranjang kebanggaannya. Sambil tersedu meratapi saat-saat terakhir bersama sang ayah, si bungsu kesayangan mencoba kembali mengingat setiap kisah yang diketahuinya tentang Umar.

Kematian ayahnya memang bukan kehilangan pertama yang dirasakannya. Namun bagi Ambar kematian ayahnya adalah sebuah kehilangan besar yang mungkin dia takkan kembali merasakan hal yang sama di masa datang. Kehilangan ayahnya berarti kehilangan kata-kata dan kematian kisah-kisah. Kematian sebuah pengulangan. Kematian pengorbanan seorang lelaki yang sekian puluh tahun bertahan hidup dengan kenangan. Kematian seorang teman yang sekian puluh tahun melawan jaman dengan kesetiaan. Kematian seorang guru yang sekian puluh tahun tak lelah memberi wejangan.

Setelah 40 hari kematian Umar, resmilah ikatan yang sudah dirajutnya seumur hidup putus berserakan. Matuloh yang sejak lama paham dengan perkembangan pemikiran memilih berseberangan dengan abangnya, Syarip. Ladang dipecah dengan sengketa. Traktor dijual dan buruh diberhentikan. Reaksi pun diberikan. Syarip yang juga hobi menjual harta, menyeret adiknya sendiri ke meja hijau dan terciptalah babak baru dalam tradisi di rumah Umar.

Sedang Ambar….

Ambar tidak tahu banyak soal kelembutan jiwa yang dimiliki ibunya, Zuleha. Di hanya dapat meraba-raba dari kenangan yang dikuak Umar lewat cerita. Dia tak paham betul kedalaman hati yang dimiliki Zuleha serta kesabaran jiwanya menghadapi waktu dan soal-soal ujian yang diberikan kehidupan. Ambar kecewa kepada dua saudara lelakinya yang bersengketa karena warisan.

Dia tak sanggup menerima kenyataan bahwa pada akhirnya kerekatan keluarga pecah begitu gampang hanya karena persoalan harta yang diberikan. Bersama suaminya, dia mengepak koper dan berniat mandah ke lain daerah. Dengan kesedihan yang paling sepi dia melangkah keluar dari rumah yang sudah dengan susah payah Umar dirikan.

Hari ini, Ambar berdiri di tepi kenangan. Dia menatap hampa ke dalam ruang tidur ayahnya. Satu-satunya ruangan yang dahulu tak bisa dengan mudah dimasukinya. Dipandanganginya potret buram Umar dan Zuleha muda. Ambar menepis air matanya. Kenangan tinggal kenangan. Awet di dalam cerita membatu bersama waktu. Sampai suatu ketika ada yang memecahkannya sekeping atau berkeping-keping. Cerita tinggal derita yang senafas pada untaian peristiwa.

Ambar menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Dicobanya kembali mengingat setiap nukilan yang diceritakan Umar mengenai ranjang itu. Kisah-kisah yang selalu diulang-ulang namun tak pernah jelas ditangkap maksud dan tujuan. Cerita-cerita yang selalu menimbulkan hasrat bertanya untuk dijawab dengan pertanyaan baru yang lebih berat.

Dicobanya mengingat bagaimana raut wajah Umar berkisah. Tidak dapat. Dia lupa. Umar menghilang bersama cerita, Ambar tenggelam dalam derita. Ambar tak bisa mengingat wajah ayahnya yang tulus memberikan cerita dan cinta. Ambar tidak ingat bagaimana ayahnya memberikan jawaban-jawaban ulangan karena pertanyaan ulangan pula. Ambar hening dalam kesepian yang asing.

“Sudah beres-beresnya, Dik?” tiba-tiba Saiman, suaminya muncul dari balik pintu kamar tidur Umar. Ambar tersentak. Didapatinya dirinya kembali beredar dalam pusaran waktu yang menggulung rentak.

Sambil menepis air matanya dan memulihkan luka masa lalunya, Ambar bangkit beranjak. Dengan suara pelan dia berpesan kepada Saiman. “Kita bawa ranjang ini pergi, rasa-rasanya aku pun ingin dibaringkan di sini, suatu hari nanti,”

***

Syarip dan Matuloh, dua orang bodoh itu hingga kini masih terus berdebat di ruang sidang. Mereka memang tak pernah menyangka bahwa peninggalan kesayangan ayahnya, ranjang reot, tua dan busuk itu punya sebuah cerita. Mereka tak pernah tahu, kalau Si Pacar Merah pernah berbaring di situ untuk beberapa waktu.

Binjai, 18 Januari 2011 dinihari.

Dimuat pertama kali di Rumah Kaca, Rakyat Merdeka Online, http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=17570

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.