Jumat, 04 Maret 2011

Puspa Indah

Oleh: Hujan Tarigan


(Dari Naif untuk Libertine)


SEPERTI aku, dirimu dan mereka, Obem pun begitu bila sudah berhadapan dengan urusan cinta. Tiba-tiba berubah menjadi sangat individualis bila bicara cinta. Bisa berubah sangat egois bila menghadapi cinta. Bisa melakukan jegilaan jenis apa saja untuk cintanya. Namun tidak begitu juga ternyata. Bagi Obem, khusunya. Cintanya bisa mendua bila di saat yang sama, Arsi, pacarnya mengajaknya jalan, menikmati malam, tetapi di saat yang sama pula konser musik Naif digelar. Hidup memang pilihan, cinta mesti memilih. Dan Obem tak perlu lagi pusing untuk memilih yang mana yang akan dilakukannya.

“Malam ini?”
“Iya…” seru suara di seberang sana.
“Aku tak bisa…”
“Mengapa? Kau selalu bisa untukku, apakah karena…”
“Iya…”
“Kalau begitu kawin sajalah dengan Naif-mu itu!”
Klak!... tut.. tut.. tut.. tut….

…bukannya aku tak suka,
ku telah ada yang punya,
dan hatiku tak mampu untuk mendua
…[1]
Malam itu Obem pergi juga ke café Z di kota J. Dengan setelan pemuda 70-an, baju gombrong berlengan panjang, celana cutbrai dan kacamata yang hampir menutupi seluruh wajah, dia pacu vespa congo kebanggaannya. Vespa yang selalu mengantarkannya pada acara khusus: menghadiri konser Naif. Dia berharap, dalam konser kali ini dia bisa mendengar Puspa Indah, langsung dari mulut David. Dia berharap bisa sedikit mengenang.
“Gimana? Kamu suka?” tanya Obem suatu waktu.
“Lagu yang barusan tadi?”
“Aha…”
“Hm… terlalu picisan. Gombal dan naif. Seperti kamu…”
“Ha? Masa sih? Tapi… meski naif, kamu suka bukan?”
“Siapa? Lagunya atau kamunya?”
“Kedua-duanya…”
“Tidak, aku hanya suka kamu…”
…Puspa Indahku, buluh perindu.
Kutakkan jemu-jemu
Tuk bersurat selalu
...[2]
“Aku mulai bosan. Ayo, ajak aku, pergi berduaan...”
“Ke mana?”
“Ke mana saja, yang pastinya keluar dari kerumunan orang-orang yang berdandan usang…”
“Sebentar lagi. Tanggung. Musiknya makin menghentak,” ujar Obem kembali tenggelam.
Bagi Obem, lagu-lagu Naif selalu mampu membuat dirinya mengalir dalam genangan kenangan. Mengenang segala kesusahan dan indahnya hidup. Mengenang keberhasilan dan kegagalan harapan. Mengenang asa dan doa yang melaju bersama-sama. Mengenang waktu-waktu lalu yang mengharu biru, ketika untuk pertama kalinya, Arsi, pacarnya yang sekarang menolaknya cintanya dengan hangat dan halus.
“Kau terlalu cinta padaku. Sementara aku tak punya rasa itu,”
“Taka apa-apa, kita coba saja. Lama-lama dirimu pasti bisa,”
“Tidak bisa,”
“Bisa… Ya? Ya? Ya?”
“Maafkan…”
… Betapa aku mencintaimu, tidakkah kau sadari itu?
Ku di depan matamu, kau tak melihatku,
Betapa ku sangat menyukaimu
…[3]
Kemudian untuk ke gagalan ketiga, Obem pun menyanyi…

…Tetaplah hidup, walau impian sirna
Anggaplah semua sudahlah biasa. Di dalam hidup kita…
[4]
Lain waktu, Arsi menyerah juga pada ketabahan Obem. Ketika itu, dengan setengah mengancam, Obem mengeluarkan jurus jitu yang didapatnya dari menonton serial sinetron di televisi.

Tengah malam, di tengah hujan, mahasiswa jurusan hukum yang kini jadi penjahit itu nekat menyambangi rumah Arsi. Kedua tangannya menggenggam. Yang kanan menjinjing seikat bunga dan yang kiri membawa botol racun serangga.
“Gila!” seru Arsi dari lantai dua.
“Iya, memanggila!”jawab Obem menahan gigil
“Sinting!”
“Bagus, kau pun tahu itu..”
“Apa maumu?”
“Cintamu...”
“Tapi aku...”
“Ini. Racun saja, bila kau tak bisa. Cara pemakaiannya ada di labelnya. Baca saja…”kata Obem sambil melemparkan botol racun serangga kepada Arsi.
“Kita bicarakan ini besok di kampus!”
“Tidak mau! Sekarang. Aku sudah tak lagi bisa menahannya…”
“Edan kamu!”
“Edan karena kamu! Kamu mesti tangung jawab!”
“Enak aja!”
“Kamu yang enak aja. Membuatku hidup seperti kerakap tumbuh di batu!” Obem berteriak-teriak gila. Aksinya menjadi tontonan tetangga Arsi.

Seperti aku, dirimu dan mereka, begitu pula Obem. Ketika gayung bersambut, dunia serasa milik berdua. Bagi dia, salah satu kesuksesan besar karena sudah merebut hati sang Puspa Indah.

Waktu berlalu, cinta pun tumbuh. Arsi sudah bisa menerima Obem tanpa unsur tekanan cinta. Dia bisa menerima Obem apa adanya, menerima cinta sang kekasih dengan tulus nyaris sempurna. Begitu pun ada satu hal yang tak bisa diterima Arsi: waktunya untuk berdua dengan sang kumbang mesti tercuri setiap kali Naif mengadakan konser.

Setelah tujuh tahun, malam ini mereka ribut lagi. Sekarang keributannya demikian dahsyat, berbeda dari yang lewat.
“Kau tak punya nyali!”
“Apa yang kau tahu tentang nyaliku? Sudah kubuktikan tujuh tahun lalu…”
“Tidak itu bukan nyali, itu gila,”
“Lha? Tidak semua orang dalam kehidupan nyata nekat melakukan kegilaan. Nyali macam apa lagi yang mesti kubuktikan?”
“Nikahi aku!”
“Menikah?”
“Iya… seluruh keluarga sudah menanyakan itu. Dan aku pun kian ragu. Kau serius tidak sih?”
“Aku serius...”
“Bagus, kalau begitu, besok datang ke rumah dan bicara pada Ayah…”
“Tapi..”
“Bernyali tidak?”
“Iya, tentu. Aku laki-laki. Selalu punya nyali…”
“Obem, aku serius. Dirimu dimana? Kita bertemu untuk membicarakannya.”
“Demikian mendesakkah? Tak bisa besok?”
“Tidak!”
“Malam ini?”
“Iya…”
“Aku tak bisa…”
“Mengapa? Kau selalu bisa untukku, apakah karena…”
“Iya…”
“Kalau begitu kawin sajalah dengan Naif-mu itu!”
Klak!... tut.. tut.. tut.. tut….

Obem membanting telepon. Sesaat sesal dan dongkol hatinya mereda. Di luar vespa congo yang sdah berganti cat sudah menantinya. Siap mengantarkan Obem pergi ke café Z di kota J.

Seperti aku, dirimu dan mereka, begitu pula Obem. Suka dan duka bisa berganti dengan seketika. Kerisauan hatinya pada kecemasan Arsi segera berubah. Obem akan selalu berbunga-bunga setiap kali melangkah menyaksikan aksi panggung grup band kecintaannya. Namun untuk kali ini, dia tak bisa gantikan bara yang baru saja dilempar Arsi kepadanya. Belum nyangkut pada akal pemuda itu, bahwa Arsi, kekasihnya, baru saja membicarakan soal nyali. Nyali.

...Tuhan beri aku nyali,
untuk mengucapkan janji sehidup semati
Aku tak ingin lagi
membuatnya menunggu untuk sesuatu yang tak pasti
...[5]
Obem tersentak. David sang vokalis baru saja menutup lagu itu. Di tempat itu suasana kian ramai. Namun Obem merasa jauh dari damai. Dia semakin risau. Dia mengenang Arsi. Dia mengenang apa yang sudah pernah mereka lalukan. Mengitari monas tujuh kali, safari menuju laut, liburan di hari minggu dengan vespa congo, mengukir nama di batang pohon. Obem mengingat kencan pertamanya.

Di panggung David kembali menyanyi. Dia membawakan sebuah lagu. Namun Obem buru-buru pergi berlalu.

Diambilnya telpon genggam. Dicarinya nomor sang pujaan.
“Halo,”
“Ada apa lagi?”
“Dengar ini…” kemudian Obem mendekatkan telpon genggammnya ke pengeras suara.

Saat senja berlalu, kucari dirimu
Karena ku selalu senang bersamamu…
…Apa mungkin diriku, tanpamu, rasanya semu
...[6]
Obem menyampaikan rasa penyesalannya. Tapi dia tak punya nyali mengatakannya, hingga lewat suara David, dia memutuskan untuk mengutarakan isi hatinya pada Arsi.

Di kamarnya, Arsi sesenggukan menahan tangis. Telpon genggamnya diletakkan di atas kasur. Arsi menutup telinganya dengan bantal guling.

Binjai, 8 Januari 2010

Catatan
[1] Tak Mampu Mendua, Naif
[2] Puspa Indah, Naif
[3] Takkan Pernah Melupakanmu, Naif
[4] Jual Pesona, Naif
[5] Nyali, Naif
[6] Senang Bersamamu, Naif

1 komentar:

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.