Adil itu tak semudah menyebutkan sila kelima Pancasila. Bertahun-tahun lalu, ketika sebutir telur masih dibagi empat, kami selalu menunggu-nunggu sambil menghadap meja makan. Kiranya ada jagoan yang berani mengambil telur itu dan membaginya menjadi empat bagian.
Tapi kami, keempat anak Emak, semuanya memang tak mau rugi. Sebab, peraturan yang ditetapkan mendiang Emakku, bagi yang membelah telur, maka dia akan mendapatkan kesempatan terakhir untuk menerima bagian. Dan karena itulah, akhirnya mendiang Emakku membelah telur itu menjadi empat bagian. kami menerima bagian masing-masing. Sedangkan emak makan pakai sayur bersambal blacan.
Hari ini, setelah bertahun-tahun kenangan itu hidup di kepalaku, aku tersenyum. Ternyata Emak mengajarkan kami tiga ilmu penting. Pertama, dia ajarkan kami bagaimana menjadi orang yang adil, bahkan kepada diri sendiri. Kedua, dia ajarkan kami menjadi tertib, karena kami harus menunggu. Dan tak semua orang bisa tertib karena tak bisa menunggu. Dan Ketiga, kami diajarkan untuk menerima keadaan. Sebutir telur dan ketidakberanian kami menjadi orang yang adil.
Tapi kami, keempat anak Emak, semuanya memang tak mau rugi. Sebab, peraturan yang ditetapkan mendiang Emakku, bagi yang membelah telur, maka dia akan mendapatkan kesempatan terakhir untuk menerima bagian. Dan karena itulah, akhirnya mendiang Emakku membelah telur itu menjadi empat bagian. kami menerima bagian masing-masing. Sedangkan emak makan pakai sayur bersambal blacan.
Hari ini, setelah bertahun-tahun kenangan itu hidup di kepalaku, aku tersenyum. Ternyata Emak mengajarkan kami tiga ilmu penting. Pertama, dia ajarkan kami bagaimana menjadi orang yang adil, bahkan kepada diri sendiri. Kedua, dia ajarkan kami menjadi tertib, karena kami harus menunggu. Dan tak semua orang bisa tertib karena tak bisa menunggu. Dan Ketiga, kami diajarkan untuk menerima keadaan. Sebutir telur dan ketidakberanian kami menjadi orang yang adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan