Senin, 04 Juli 2016

Belajar Mengarang

-Sebuah Monolog-

Saya dibesarkan di antara barak tentara dan kamp pengungsian. Setiap pagi menuju sekolah, saya melintasi orang latihan baris berbaris. Itu adalah orang orang yang tengah mempersiapkan diri untuk mati. Di sudut yang lain, saya pun melihat pemandangan ajaib. Berpuluh-puluh keluarga berebut hunian dan antre makanan. Itu adalah kumpulan orang-orang yang kabur dari kematian.


Dua pemandangan ini pada awalnya merupakan suatu pemandangan biasa saja. Sampai pelan-pelan, dia menjelma menjadi pemandangan yang menakjubkan. Saya mulai terkesima dengan kepiawaian tentara menyiapkan serangkaian skenario kematiannya. Saya mulai risih dengan antrean panjang pengungsi, menerima jatah hidup. Terakhir, dua pemandangan kontras ini menjadi mimpi buruk bagi saya yang masih dalam masa pertumbuhan.

Sebagai remaja, yang tengah mengidentifikasi diri, saban malam sebelum tidur saya selalu merangkai karangan indah di benak saya. Yah, semata-mata, agar mimpi buruk tak muncul lagi dalam tidur saya.

Saya mengarang, bagaimana nasib tentara-tentara yang usianya masih muda belia itu di medan pertempuran, apakah mereka telah menerima kecupan terakhir dari gadis-gadisnya? Atau meneruskan surat-suratan cinta dari tengah pedalaman? Lalu, saya pun mengarang indahnya hidup para pengungsi sebelum konflik menyandera kampung mereka. Apakah dulu mereka punya ternak yang banyak? Tanah yang luas, sekolah yang bagus, dan guru mengaji yang mumpuni?

Namun, meski sudah susah payah saya mengarang sebelum tidur, tetap saja mimpi buruk itu datang lagi. Dan lagi, dan berulang kali.Terus terang, sejak saya mulai menyadari pemandangan yang saya temui sepanjang jalan menuju sekolah adalah sebuah teror, saya jadi malas ke sekolah.

Saya tak mau bersapaan dengan pemandangan itu lagi. Kedua hal yang saya lihat itu sungguh membuat saya muak dan ingin muntah. Saya ingin menjadi remaja normal yang punya mimpi seperti kebanyakan remaja yang suka dengan mimpi indah.

Mimpi buruk membuat saya menjadi remaja yang keras pada kenyataan. Sampai suatu ketika saya temukan diri saya berkubang di lumpur ganja.

Hidup adalah pilihan, kata iklan. Dan saya ikuti iklan, kemudian saya pilih ganja sebagai jalan keluar dari mimpi buruk yang saban malam datang berulang-ulang.

Malangnya, apa yang saya idamkan, tak juga didapatkan. Pemandangan yang saya lihat sepanjang menuju sekolah terlanjur sudah menjadi sedimen. Mimpi buruk terus mengendap bertumpuk-tumpuk. Sialnya dia muncul kapan saja! Bahkan ketika saya sedang tergaga! Kampret! Sejak itu saya menyadari, bahwa saya tak bisa lari dari tuntutan.

Kemudian, dengan mantab, di akhir masa sekolah tingkat atas, saya berkonsentrasi untuk menyerahkan hidup saya pada nasib yang bergulir. Yah, saya memilih satu dari dua pemandangan yang saya lihat sepanjang menuju sekolah.

Pikiran dan tenaga sudah saya niatkan untuk diwakafkan kepada negara. Saya bercita-cita menjadi Tentara! Menjadi tentara untuk mengusir mimpi buruk saya! Kalian boleh tertawakan ini, tapi saya bisa jamin, niat itu, dulu lahir dari hati dan kepentingan pribadi!

Fisik dan fikiran, telah saya persiapkan. Olah raga dan matematika menjadi santapan. Kubangan ganja saya tinggalkan. Saya tengah bersiap menjadi taruna yang mensano inkorporesano.

Masa sekolah selesai. Pemandangan mengerikan pun sudah pasti saya hindarkan. Bagi saya itu cukup menjadi obat tatkala, di lain sisi, saya gagal jadi teruna. Pendek cerita, tak mengapa tak jadi tentara, toh, pemandangan yang saban hari meneror saya, tak akan saya lihat lagi mungkin untuk selama-lamanya.

Namun, alangkah sialnya saya, manakala pada sutu malam, mimpi buruk kembali memberondong saya dengan berbagai macam pertanyaan dari penderitaan kaum yang hidup di kamp pengungsian! Sambal lado! Mimpi buruk belum selesai rupanya!

Kenapa kalian yang bertikai harus melibatkan aku? Melibatkan seorang remaja yang lugu? Yang hanya tau pertikaian melalui dua pemandangan yang memuakkan?

Mimpi jadi tentara sudah hilang seiring waktu yang melaju.

Di bangku kuliah saya memproklamirkan diri, kalau memang saya tak ditakdirkan menjadi tentara, maka saya pasti ditakdirkan untuk menjadi musuh tentara! Dan demikianlah. Saya kembali ke rumah lama. Berkubang kembali dalam genangan ganja. Menjadi apa yang saya yakini sebagai takdir saya. Yakni musuh negara dan aparatnya!

Sayangnya, menjadi musuh tentara juga tak membuat keadaan jadi lebih baik. Mimpi buruk terus menghajar saya sampai saya terpuruk. Saya mulai yakin, bahwa pilihan menjadi musuh negara dan aparatnya, bukanlah hal tepat.

Hari ini, saya duduk di sini. Di depan laptop ini. Saya yakin sekali saya bukan junkies. Untuk menghadirkan mimpi indah, tak perlu berkubang di genangan ganja. Tapi, pemandangan masa sekolah terus mendesak saya. Mereka ikut kemana pun saya pergi. Saya ke WC, mereka ikut. Saya ke disco, mereka turut, saya ke pengajian, pun mereka tak mau lepas.

Saudara, kalian tau, begitu banyak keyakinan yang sudah kita tanamkan untuk keadaan yang lebih baik. Sudah banyak yang kita lakukan untuk menciptakan kedamaian. Namun mimpi buruk tetap datang dan datang.

Hari ini, saya duduk di sini. Di Depan laptop ini. Dan pemadangan yang saya lihat di masa SMA terus membuntuti saya. Mereka tengah menagih sesuatu dari saya. Adakah diantara kalian yang sudi menjabat tanganku ini, membantuku mengusir jauh mimpi burukku itu? Aku sudah lelah mengarang...

T.A.G

24 Ramadhan 1437 H.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan

Disclaimer

Selamat datang di C3 Hujan Tarigan. Semua tulisan yang ada di blog ini dapat diapresiasi secara bebas. Silakan mengutip sebagian atau seluruh tulisan asal dengan catatan menyebutkan nama penulis dan alamat Catatan Catatan Cacat. Terima kasih atas kunjungan Anda. dan jabat erat dari Saya.